VIAN: Berpisah Lagi!
"Waktu kematian... Selasa... Tiga belas Juni dua ribu dua puluh satu... Pukul dua belas lewat dua puluh satu. Waktu Surabaya"
Sungguh berat sekali aku mengatakan kalimat itu. Sesak dada ini. Terbayang bagaimana bik Sana ini di apartemen tuan Dani. Sendirian. Harap-harap cemas menanti kabar bahagia. Namun faktanya, suaminya telah tiada. Dan aku sendiri yang mengumumkan waktu kematiannya.
Detik itu juga ku dengar isak tangis Silvi. Berlari menghampiri ayahnya dan lantas menangis tersedu. Dipeluk dan diremasnya ayahnya yang telah tiada itu dengan keras. Sementara aku, tak sanggup lagi aku melihat semua ini. Niar lantas meraih tubuhku dan memeluk ku. Jatuh pula air mataku dalam pelukannya.
"Sstt! Tidak apa, Mas! Tenang ya!" Bisik Niar menenangkan ku.
Aku mengangguk. Seraya ku remas kedua bola mataku.