Chapter 5 - KECEWA

" Apa kakak iparmu sudah datang?" tanya Keisha.

" Belum!" jawab Daffa lalu menatap Briana.

" Sepertinya dia sedang meeting, Dok! Apa ada yang serius?" tanya Briana.

" Ustadzah Zahirah tidak mau melahirkan jika suaminya tidak ada disini!" kata Keisha.

" Apa? Jadi gimana?" tanya Daffa.

" Saya khawatir akan terjadi sesuatu yang membahayakan mereka berdua!" kata Keisha.

" Astaughfirullah! Tapi kenapa?" tanya Daffa lagi.

" Air ketuban beliau sudah pecah, jika beliau tidak segera melahirkan, anak yang ada di dalam kandungan akan mengalami keracunan dan..."

" Dan apa, Dok?" tanya Daffa dan Briana bersamaan.

" Bisa-bisa dia meninggal di dalam!" kata Keisha dengan nafas panjang.

" Astaughfirullah!" sahut mereka berdua.

Briana menutup mulutnya dengan kedua tangannya, matanya sudah berkaca-kaca.

" Please, Dok! Tolong kakak ipar saya!" kata Briana.

" Iya, Dok! Apa yang harus kami lakukan?" tanya Daffa frustasi.

" Daffa! Briana!" panggil kedua orang tua mereka yang datang secara bersamaan.

" Bagaimana kakakmu?" tanya ummi Fatma.

Daffa dan Briana menyalimi mereka berdua saat sudah berdekatan.

" Ummi! Abi!!" sapa Daffa dan Briana bergantian.

" Air ketuban Kak Fatma sudah pecah, Ummi! Tapi kak Fatma tidak mau melahirkan tanpa Kak Brian disampingnya!" kata Daffa dengan nada khawatir.

" Masya Allah!" kata ummi dan abi Fatma bersamaan.

" Brian kemana?" tanya papa Brian yang tiba-tiba telah ada di sekitar mereka.

" Kak Brian sepertinya sedang meeting penting, Pa!" jawab Briana.

" Apa tidak bisa dihubungi?" tanya papa Brian, wajahnya berubah marah akibat ulah putranya yang terlalu mementingkan pekerjaannya.

" Sudah, pa! Tapi tidak bisa!" jawab Briana.

" Telpon kantornya!" kata papa Brian.

" Sudah! Kata mereka Kakak sedang meeting penting di luar dan tidak bisa di ganggu!" kata Briana.

" Biar Ummi yang masuk!" kata Ummi Fatma.

" Silahkan Ummi!" kata Keisha membawa Ummi Fatma masuk ke ruang bersalin.

" Benar-benar keterlaluan anak itu! Bisa-bisanya dia mengabaikan istrinya yang sudah hamil tua begitu!" gerutu papa Brian sangat marah.

" Sabar, Mas! Mungkin pekerjaan Bria memang tidak bisa ditinggal!" kata Abi Fatma berusaha mencairkan suasana.

" Memang putraku yang nggak bener, Mas!" kata papa Brian.

" Kita tunggu saja!" kata abi Fatma.

Sementara itu di dalam ruang bersalin, Fatma menunggu kedatangan Brian dengan sabar.

" Assalamu'alaikum, Fatma!" sapa ummi Fatma saat melihat putrinya.

" Wa'alaikumsalam! Ummi?" jawab Fatma terkejut melihat umminya yang datang.

" Kenapa tidak mau melahirkan?" tanya ummi Fatma mengusap wajah putri semata wayangnya itu.

" Fatma menunggu abinya anak-anak, Ummi!" jawab Fatma sambil menahan agar anaknya tidak keluar.

" Kamu membahayakan nyawa kalian berdua, Fatma! Kamu tahu jika air ketubanmu terus keluar dan hampir habis. Apa kamu siap bertanggung jawab pada Allah jika sesuatu terjadi pada buah hatimu?" tanya ummi Fatma.

" Tapi ummi..."

" Ummi anggap kamu siap!" sahut ummi Fatma dengan wajah kecewa.

" Biarkan dia menunggu suaminya, Dokter! Assalamu'alaikum! Ummi tunggu diluar!" kata Ummi Fatma lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Fatma termangu melihat kepergian umminya, dia menatap perawat dan dokter Keisha yang menatapnya penuh kekhawatiran.

" Ini sudah terlalu lama, Bi!" kata ummi Fatma dengan nada khawatir.

" Sabar, Ummi! Kita do'akan saja yang terbaik!" kata Abi Fatma menghibur istrinya, padahal dia tidak kalah khawatirnya dengan istrinya.

" Dokter Keisha!" panggil Briana saat melihat Keisha keluar dari ruang bersalin.

" Bagaimana keadaan anak dan cucu saya, dokter?" tanya ummi Fatma.

" Ustadzah Zahirah sehat, hanya saja..."

" Hanya saja apa? Apa ada yang serius?" sahut ummi Fatma.

" Putra Ustadzah keracunan dan sekarang dalam keadaan kritis!" kata Keisha dengan nada sedih.

" Innalillahi! Bi! Cucu kita! Hikssss!" tangis Ummi Fatma pecah saat mendengar penuturan Keisha.

Begitu juga dengan Briana dan mamanya yang baru saja datang.

" Ya Allah! Hanya Engkau Dzat yang bisa menghidupkan dan mematikan kami. Hamba mohon agar Engkau memberikan keselamatan dan kesehatan pada cucu hamba! Aamiin Ya Robbal Alamiin!" ucap abi Fatma yang di amini oleh seluruh keluarga.

Fatma melahirkan seorang putra yang di beri nama Zibran. Zibran sempat mengalami kritis selama 10 hari dan harus dirawat selama sebulan di rumah sakit. Sejak peristiwa kelahiran Zibran, hubungan Brian dan Fatma seakan tidak lagi mesra. Fatma menyalahkan Brian karena tidak menepati janjinya untuk mendampingi dirinya melahirkan, sedangkan Brian menyalahkan Fatma karena dianggap lalai hingga menyebabkan keadaan Zibran seperti itu.

Keduanya saling menyalahkan dan tidak berusaha untuk bicara dari hati ke hati. Ego mereka sudah menutup pintu hati mereka. Fatma memilih tinggal di rumah sakit selama Zibran belum diperbolehkan pulang dan Brian membiarkan saja istrinya melakukan semua itu.

Fatma pulang setelah kembali membawa putra bungsunya terapi ke rumah sakit yang ada di Singapore. Dia pergi bersama Briana karena Brian sedang sibuk dengan pekerjaannya.

" Bre langsung pulang, ya, Kak!" pamit Briana.

" Iya, Bre! Hati-hati!" jawab Fatma yang menggendong Zibran yang sedang tertidur pulas.

" Iya, Kak! Salam untuk anak-anak!" kata Briana lagi.

" Iya!" jawab Fatma.

" Assalamu'alaikum!" pamit Briana setelah mereka saling mencium pipi.

" Wa'alaikumsalam!" sahut Fatma.

Fatma melangkahkan kakinya memasuki rumahnya.

" Ummiiii!" panggil Zab dan Iza yang melihat Fatma masuk ke dalam rumah.

" Assalamu'alaikum!" sapa Fatma dengan senyum yang merekah dan merasa sesak karena harus meninggalkan kedua anaknya dengan baby sitter.

" Wa'alaicumcalam!" jawab mereka bersamaan.

" Sshhhttt! Adek Zib lagi bobok! Ngomongnya pelan-pelan aja, ya!" kata Fatma dengan senyuman.

Mereka berdua menganggukkan kepalanya, lalu Fatma memeluk mereka dan menciumi wajah mereka berdua.

" Assalamu'alaikum Ustadzah!" sapa Nisa, babysitter Zibran.

" Wa'alaikumsalam, Nis! Tolong bawa Zibran ke kamarnya!" kata Fatma.

" Iya, Ustadzah!" jawab Nisa lalu menerima Zibran yang diberikan Fatma padanya.

Setelah Nisa pergi, Fatma menatap kedua anaknya dan langsung memeluk mereka lagi satu persatu.

" Ummi! Eliii!" kata Iza yang tertawa kegelian karena Fatma menciumi lehernya.

" Ummi! Apa ummi au pelgi agi?" tanya Iza dengan logat cadelnya.

" Nggak, sayang! Adek Zib baru saja di terapi biar sehat, Ummi minta maaf kalo harus meninggalkan kalian berdua di rumah, karena kalian harus sekolah!" jawab Fatma mengusap wajah putrinya.

" Jib ujah cembuh?" tanya Iza lagi.

" Iza berdo'a terus buat adek, ya! Kalo abis shalat, Iza dan Zab do'ain adek, ya!" kata Fatma memeluk putrinya.

" Iya, mmi!" jawab Iza dan Zabran bersamaan.

Zabran hanya menatap umminya dengan sedih. Sebagai anak yang dianggap tertua, dia bisa merasakan ketidak rukunan kedua orang tuanya. Meskipun masih kecil, Zabran memiliki pemikiran yang dewasa. Dia bisa melihat jika sikap kedua orang tuanya berubah, entah itu di meja makan atau saat mereka bertemu.

" Abi cemalam nggak puyang, MMi!" kata Zabran yang menyusul Fatma ke kamarnya.

Fatma tertegun mendengar ucapan putranya, dadanya berdetak kencang dan terasa sesak. Belum pernah selama mereka menikah, Brian tidak tidur di rumah jika tidak pergi keluar kota.

" Abi mungkin pergi keluar kota!" kata Fatma mencoba menanggapi ucapan putranya.

Fatma membuka walk in closetnya dan melirik ke ruang tas suaminya, semua masih di tempatnya. Berati semalam dia...

" Jab cama Ija temalin di jemput ante Eyo!" kata Zabran yang membuat jantung Fatma seakan terlepas dari tempatnya.

" Tante...Ver...ro?" tanya Fatma menebak.