Winda dan Alina besahabat sejak lama. Mereka bersahabat sejak kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Kini mereka sudah kelas kuliah semester tiga. Bersahabat sejak lama, membuat mereka mengerti dan paham sifat masing-masing. Winda adalah anak yang feminim, anggun, terkadang rusuh, lembut, suka bercanda dan mudah berbaur. Sedangkan Alina adalah anak yang sedikit tomboy, cuek, jarang memperhatikan penampilan, apa adanya dan sedikit canggung dengan orang baru. Mereka memiliki kepribadian yang sangat berbeda, namun mareka tetap bersahabat.
Winda dan Alina kuliah di kampus yang sama. Winda mengambil jurusan Ekonomi Akuntasi dan Alina mengambil jurusan MIPA Biologi. Meski berbeda jurusan, mereka tetap meluangkan waktu sama lain untuk hangout bersama.
Di hari Minggu yang sangat cerah, Winda mengajak Alina untuk jogging di lapangan Elang Raya. Winda menjemput Alina di rumahnya yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ia menggunakan sepeda motornya untuk menjemput Alina.
"Ma, aku pergi dulu ya sama Winda." Alina pamit pada mamanya yang sedang menyapu teras.
"Iya, jangan kelamaan ya." Ujar mamanya sambil tersenyum padanya dan Winda.
"Iya, bu. Gak lama kok. Jogging pagi aja."
"Paling abis itu Winda ngajak makan bakso." Samber Alina.
"Heh itu mah elu." Winda menunjuk sahabatnya Alina.
Sementara mama Alina hanya bisa tertawa melihat kelakuan anaknya dan sahabatnya itu.
"Hati-hati ya." Sahut mamanya Alina.
"Iya, ma." Jawab Alina.
Mereka pun berangkat ke lapangan yang biasa digunakan untuk sepak bola itu atau biasa disebut lapangan Elang Raya. Dalam perjalanan mereka bersendau gurau hingga perjalanan tak terasa kalau sudah sampai.
*****
Saat jogging, mereka tidak mau saling mendahului melainkan selalu bersamaan dalam berlari kecil. Alina memberikan salah satu headsetnya pada Winda karena Winda penasaran dengan lagu yang sedang didengarkan Alina. Saat menarik salah satu tali headset, Winda menariknya terlalu kencang sehingga handphone yang diletakkan Aline di saku jaketnya terjatuh.
"Aduh sorry Lin. Sorry banget." Winda langsung merasa bersalah pada sahabatnya itu.
"Iya, nggak apa-apa kok." Alina justru tertawa.
Winda mengambil headset yang terjatuh itu, namun ada tangan yang lebih dulu mengambil headset itu. Seketika Alina dan Winda terkejut. Ia seorang lelaki yang ternyata mengambil headset Alina tersebut. Ia segera bangkit dari bawah dan memberikannya pada Winda.
"Ini headsetnya, mbak." Ucapnya dengan senyum manis.
"I-iya. Makasih." Jawab Winda dengan agak malu-malu dan gugup.
"Iya sama-sama. Saya lanjut lari dulu ya." Ia menganggukan sedikit kepalanya lalu melanjutkan larinya.
Alina memahami apa yang sedang dirasakan Winda. Ia tahu bahwa Winda sedang terpesona dengan pria yang tadi menolongnya mengambilkan headset.
"Memang tuh cowok ganteng, Win?. Kok lo segitunya banget ngeliatinnya?." Tanya Alina sambil mengambil headsetnya dari tangan Winda.
"Iyalah. Lo gak liat tadi senyumnya yang manis, ganteng, tinggi lagi, badannya tegap, gagah. Duh." Jawabnya sambil masih memandangi pria itu yang masih berlari.
"Biasa aja kali. Banyak cowok yang kayak gitu."
"Menurut lo, dia kayak polisi atau tentara gitu gak sih?"
"Mana gua tahu, gua gak peduli. Yuk lanjut jogging!."
"Ih lo gak seru banget deh. Lo makanya cobainlah pacaran, Lin."
"Ya gua tahu, gua jomblo dari lahir. Tapi, gua juga pengen pacaran nanti langsung dapet yang baik dan serius. Dah, sekarang mau jogging atau mandangin tuh jantan aja?."
"I-iya iya bosku." Winda tersenyum lebar pada Alina. Ia sadar sahabatnya itu sudah mulai naik darah karena ucapannya.
*****
Sesudah jogging, Winda dan Alina pulang. Mereka ke parkiran untuk mengambil motor Winda. Terlihat dari jauh, ada seorang pria yang melihat mereka berdua. Ia adalah pria yang tadi mereka temui. Pria itu memperhatikan Winda dan Alina dari kejauhan tanpa sepengetahuan mereka berdua.
*****
Hari Minggu berikutnya, Winda kembali mengajak Alina untuk jogging di tempat yang sama. Alina pun nurut akan permintaan sahabatnya itu.
Benar saja, mereka kembali bertemu dengan pria yang mereka temui minggu lalu. Kali ini pria itu mulai melakukan pergerakan yang lebih pada Winda. Seolah ia mengerti bahwa Alina bukan tipe yang mudah dirayu jadi pria itu terlihat mendekati Winda.
"Hai ketemu lagi." Sapanya. Dengan senyuman- tentu itu adalah senjatanya.
"Hai. Wah gak nyangka yah bisa ketemu lagi." Jawab Winda dengan senyuman.
"Belum kenalan ya kita. Namaku Bimo Yudhistira. Aku tinggal di Kamawara."
"Winda Utami. Aku tinggal di deket sini, Kampung Baru. Kamu jauh juga ya, dari Kamawara."
"Hai Winda. Wah, iya bisa dibilang gitu."
"Kamu jogging setiap minggu di sini?. " Tanya Winda.
"Iya. Hampir tiap hari. Soalnya aku lagi persiapan masuk tentara." Ujar Bima sedikit malu.
"Gak usah malu gitu bilangnya. Semoga sukses ya." Winda mengangguk sambil tersenyum.
"Makasih."
Alina mulai bosan menunggu mereka bercengkrama satu sama lain. Ia memilih bermain meski hanya menekan menu dan kembali. Alina melihat sepertinya mereka bertukar nomor WhatsApp, namun ia hanya berpura-pura tidak tahu saja.
*****
Satu tahun kemudian....
Pagi yang cerah di hari Minggu, Alina mengambil handphone dan tas kecilnya yang ia sandangkan di bahunya. Mengenakan sepatu olahraganya di depan cermin lemarinya. Setelah selesai mengikat tali sepatunya, ia melihat lurus ke cermin. Ada tatapan penuh emosional namun tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata dari dalam mata Alina.
Alina pergi ke lapangan Elang Raya, lapangan stadiun yang dulu ia dan Winda sering kunjungi untuk jogging di minggu pagi. Ia berlari mengelilingi lapangan itu satu kali kemudian beristirahat di pinggir lapangan. Sambil menyeka keringatnya, ia membayangkan bagaimana dulu ia dan Winda berlari bersama di sini. Membayangkan dirinya dan Winda bertemu pria yang dulu disukai oleh Winda. Membayangkan Winda dengan ceroboh menarik headsetnya serta membayangkan dulu mereka pernah makan bakso yang ada di depan stadiun itu. Momen-momen indah itu terasa nyata. Sangat nyata. Meski kini Alina sendirian tanpa kehadiran sahabatnya, Winda untuk selamanya...
*****
"Alina, kamu gak bisa terus-terusan minum obat tidur begini." Ujar mamanya saat ia ketahuan mengonsumsi obat tidur di malam hari. Mama Alina mengambil obat tidur itu setelah anaknya mengambil satu pil obat tidur itu. Ia membaca tulisan yang tertera di dalam botol obat itu.
"Ma, aku sering gak bisa tidur akhir-akhir ini. Mama kan tahu, aku masih belum bisa terima kenyataan kalau Winda udah gak ada."
"Alina, kamu harus bisa terima kenyataan. Mama tahu, dia pergi belum ada seminggu, tapi inilah kenyataan. Kamu harus terima dengan lapang dada."
"Ma, gimana aku bisa terima kenyataan kalau Winda pergi dengan cara-." Ucapan Alina terpotong karena emosinya yang memuncak.
Mama Alina mengerti perasaan putrinya itu. Ia memeluk Alina dan mengelus kepalanya lembut. Alina tak mampu menyembunyikan kesedihannya lagi, hingga air mata terjatuh dari matanya.
*****
Malam itu, sebelum ia tertidur...
Alina membuka galeri di handphone-nya. Ia melihat foto-fotonya bersama Winda. Perasaan campur aduk saat melihat foto kebersamaan mereka berdua.
Ada satu foto dimana foto itu ada Bimo, Winda dan dirinya. Saat memandang wajah Bimo, perasaan emosional Alina memuncak. Ia langsung menutup handphone-nya. Tidak ada satupun di dunia ini yang lebih mengenal dan tahu tentang sahabatnya dan Bimo. Mau tidak mau, Alina akhirnya flashback mengenai apa yang terjadi pada sahabatnya itu....
*****
Setelah pertemuan di stadiun lapangan itu, Winda dan Bimo jadi sering berkomunikasi lewat WhatsApp. Alina mengetahui semua itu saat mereka bertemu di kantin kampus.
"Win, kenapa sih senyam senyum sendiri?. Pasti karena Bimo yang lo tuker-tukeran WA itu kan?."
Terlihat Winda sedang chat dengan seseorang sampai membuatnya senyum-senyum sendiri saat duduk di kantin bersamanya. Mereka duduk di kursi panjang sambil menunggu pesanan mereka datang.
"Ah nggak kok." Winda berusaha menutupinya.
"Win, siapa sih yang lebih tahu tentang lo dibanding gue?."
"Ya.. ya oke karena Bimo."
"Tapi tunggu deh, selera lo kan bukan tipe tentara begitu. Mantan lo aja anak basket, pemusik, sampe yang terakhir itu asisten dosen. Mantan lo ada tiga semuanya jauh dari kata tentara atau cowok berseragam gitu kan."
"Alin, nih ya gua kasih tahu. Namanya jatuh cinta nggak ada yang namanya liat latar belakangnya."
"Lo tuh sering banget jatuh cinta tanpa alasan gitu. Mudah tertarik sama cowok. Lo harus sadar juga, hidup ini harus realistis, Win."
"Maksud lo?. Kan jatuh cinta. Selebihnya kalau udah kenal banget baru deh gua seleksi bisa gak jadi pacar gua atau nggak."
"Tapi lo harus janji, kalo lo harus kenal banget banget banget sama Bimo baru putuskan untuk jadian sama dia atau nggak."
"Iya-iya. Tenang aja. Gua pasti kenal banget sama dia baru gua bisa memutuskan jadian atau nggak sama dia."
Alina mengangguk sambil tersenyum. Ia harus membuat Winda berpikir realistis sebelum memilih apa yang harus ia pilih. Ia tidak mau sahabatnya itu menjadi budak cinta yang tidak memiliki akal yang sehat karena dibutakan cinta sesaat.
Setelah makan siang, Alina harus kembali ke fakultasnya, sementara Winda tetap di kantin karena ia masih ada waktu istirahat satu jam lagi.
"Win, gua cabut dulu ya. Ada matkul siang ini. Sampe ketemu nanti ya, bye!." Ujarnya.
"Oke, belajar yang rajin ya bestie." Jawab Winda sambil nyengir lalu mendekatkan segelas jus jeruknya dan meminumnya.
"Iye." Jawab Alina singkat. Ia langsung pergi dari kantin fakultas ekonomi tersebut untuk menuju fakultasnya.
*****
Seusai kuliah, Alina melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 3 sore. Mata kuliah terakhir di hari itu telah selesai, sudah saatnya ia pulang. Sore itu Alina tiba-tiba ada niatan untuk menjemput Winda. Ia berpikir kalau mata kuliah Winda juga telah selesai karena mata kuliahnya tadi lewat satu jam karena keterlambatan dosen. Ia pun berinisiatif mengendarai motornya ke fakultas ekonomi untuk menemui Winda.
Setelah sampai di depan fakultas ekonomi, Alina mengirim chat pada Winda.
"Win, gua di depan fakultas lo nih. Lo udah kelar kuliahnya?. Biar balik sama gue aja."
Namun tak lama setelah mengirim pesan itu, Alina dari kejauhan melihat Winda keluar dari gedung kampusnya. Ia terlihat berbeda dengan riasan wajah yang lebih tebal, tidak seperti biasanya yang tipis saja. Winda berjalan tidak lurus hingga depan fakultasnya, melainkan berbelok ke sisi kiri gedung kampus kemudian berjalan menuju ke halte fakultas. Ia sibuk dengan handphone-nya namun tidak membalas chat dari Alina.
Hal ini membuat Alina bingung, ia hendak menelpon Winda namun tidak bisa karena suara operator itu berkata Winda sedang berada di panggilan lain. Benar saja, saat Alina melihat Winda di halte fakultas, ia sedang berbicara dengan seseorang lewat HP-nya.
"Pasti si Bimo. Cepet banget pergerakan dia." Gumam Alina. Ia hendak melajukan motornya ke halte fakultas, namun sebuah mobil melintas tepat di depan Winda. Benar saja, Winda masuk ke dalam mobil itu di pintu paling depan. Alina melihat itu dari kejauhan dan ia merasa sahabatnya itu telah mengabaikannya demi Bimo.
Alina mengurungkan niatnya untuk kembali menghubungi Winda. Ia merasa kesal dengan kelakuan Winda yang tiba-tiba tidak menjawab chat-nya dan memilih mengabaikannya demi Bimo, orang yang baru beberapa hari ia kenal.
*****
"Winda, gimana kuliah kamu?." Tanya Bimo pada Winda yang baru saja masuk ke dalam mobil.
"Baik. Sedikit capek sih, karena semalem begadang nyelesain tugas." Winda mendengus.
"Kamu jangan sering begadang, itu gak baik buat kesehatan." Ujar Bimo.
Itu adalah kali pertama Winda menaiki mobil Bimo. Ia memandangi yang ada di dalam mobil Bimo. Winda mencium wangi pengharum mobil yang kurang ia sukai, yaitu bau jeruk. Ia sedikit terganggu dengan wangi itu. Sesekali ia memberi kode seperti mengibaskan tangannya untuk menghalau bau itu.
"Kenapa?. Bau ya?." Tanya Bimo sambil melirik ke Winda.
"Ah, nggak. Aku kurang suka aja sama pengharum jeruk." Ia terkekeh sedikit agar terlihat tidak begitu serius.
"Oh, yaudah aku copot aja ya." Bimo mengambil pengharum jeruk itu dan langsung membuangnya ke jalan dengan sembarangan.
"Bim- jangan-." Winda berusaha mencegah Bimo untuk membuang pengharum itu.
"Kenapa?. Kan bau. Aku nggak mau kamu merasa gak nyaman, Win." Ucap Bimo dengan lembut dan hangat. Terasa berusaha mengerti kemauan Winda.
"Iya aku tahu, Bim. Tapi janganlah buang di jalan juga. Bahaya buat pengemudi lain."
"Peduli banget sama orang lain, yang penting kamu nyaman dulu. Apapun aku perbuat supaya kamu nyaman, Win." Bimo tersenyum pada Winda sembari mengemudikan mobilnya.
"I-iya.. oke." Jawab Winda singkat.
Mobil yang dikendarai Bimo melaju dengan normal. Rencananya, mereka akan pergi ke tempat makan untuk menikmati waktu bersama. Ini semua adalah keinginan Bimo sendiri. Kemarin malam, ia chat Winda untuk bersiap-siap saat pulang kuliah agar ia jemput dan pergi makan dan menikmati sore bersama.
*****
Beberapa jam setelah chat Winda pada sore itu, Alina tidak kunjung mendapatkan balasan apapun dari sahabatnya itu. Ia pun mulai kesal dan merasa masa bodoh dengan Winda. Ia memilih mengerjakan tugas kuliahnya daripada mengkhawatirkan Winda. Namun tak berapa lama saat ia belajar ia melihat notifikasi di HP-nya. Alina mengeceknya dan benar saja, chat dari Winda.
"Maaf baru bales Lin. Gua tadi dijemput sama Bimo tadi."
Alina yang sudah tahu akan hal itu tidak kaget lagi, tapi ia kesal karena Winda mengabaikannya meskipun ia sedang menggenggam HP-nya tadi. Alina memilih tidak membalasnya dan memutuskan untuk membalasnya setelah ia selesai mengerjakan tugas.
*****
Bimo dan Winda yang sedang dalam perjalanan tempat makan kaget karena turunnya hujan yang tiba-tiba. Winda melihat keluar jendela mendapati hujan yang sangat deras.
"Bim, kalau mau ke tempat makan yang kamu bilang itu masih jauh, sedangkan ini udah sore. Kayaknya lebih baik kita cari tempat makan yang lain aja atau mall yang di depan itu aja, gimana?." Anjur Winda.
Terlihat raut wajah Bimo yang langsung masam. Ia memegang tengkuk belakangnya sambil tesenyum kemudian berkata, "Oke yaudah kalau gitu." Jawab Bimo singkat.
"Ka-kamu nggak marah kan?." Tanya Winda. Ia merasa tidak enak pada Bimo yang sudah antusias membawanya ke tempat makan kesukaannya.
Bimo menggeleng cepat dan tersenyum pada Winda. Dari raut wajahnya, terlihat Bimo seperti berpura-pura senang-senang saja tapi sorot mata tidak dapat dibohongi.
"Nggak, santai ajalah." Jawab Bimo.
Kini mereka menuju mall terdekat untuk makan dan menikmati waktu bersama. Winda dan Bimo memang belum jadian dan masih dalam tahap pendekatan, namun Bimo memberikan dan memperlakukan Winda sebaik mungkin.
"Bimo, kamu sejauh ini terlihat baik banget sama aku. Tapi entah kenapa, aku merasa kurang nyaman ya sama kamu?." Gumam Winda dalam hati.
*****
Malam itu Alina memutuskan untuk tidur setelah meminum obat tidur dan melihat foto-fotonya bersama Winda. Ia tidak mau kesulitan tidurnya justru membawa penyakit dan membebankan dirinya. Setelah puas flashback, ia pun memejamkan kedua matanya, berusaha rileks dan tidur.
*****
Ini adalah awal sebuah kisah. Kisah yang dimana semua orang yang memiliki sahabat tidak ingin terjadi dalam persahabatan mereka. Inilah kisahnya....