Laki-laki itu memandangi perempuan dihadapannya dengan tatapan tidak percaya. Tangannya perlahan terkepal diatas meja tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Seandainya mata bisa berbicara, kedua matanya seolah menyemburkan kalimat-kalimat yang berputar dalam kepalanya. Tapi tidak, kali ini lidahnya kelu. Bibirnya mendadak biru.
"Ara…" suaranya tercekat di tenggorokan, seolah ada seseorang yang menyurukkan timah panas di tenggorokannya hingga dia tersedak dengan suara keras.
Perempuan yang berdiri di depan meja besar itu hanya bersedekap memandangi laki-laki yang kesakitan itu. Dia terlihat tenang, terlalu tenang. Seakan menikmati setiap menit penuh penderitaan laki-laki itu.
Sebelah lengan laki-laki itu menggapai-gapai, dia megap-megap seperti seekor ikan kehabisan nafas, bibirnya semakin biru dan wajahnya memutih. Mulutnya terbuka lebar, berusaha menarik udara ke dalam paru-parunya yang terasa panas membakar.
Perlahan, perempuan itu berjalan mendekat dan menundukkan kepalanya hingga dia bisa mendengar nafas pendek-pendek dari laki-laki itu "Do not hesitate, sir." Bisiknya manis di telinga "Semua akan berakhir sebentar lagi."
Mata laki-laki itu membelalak lebar, refleks tangannya mencengkeram lengan perempuan itu "A… ra…"
Perempuan itu menyentakkan lengannya hingga terlepas dari genggaman laki-laki yang sedang sekarat di depannya, dia memandangnya jijik "Cepatlah mati, pria tua! Kau tidak berguna lagi!"
Seiring dengan kalimatnya, kepala laki-laki itu ambruk ke atas meja dengan bunyi keras. Lengannya terkulai lemas di sampingnya.
Senyum puas menghiasi wajah perempuan itu, dia merunduk mengamati wajah laki-laki yang sudah mati itu "Good bye, Sir."
Dia meraih dokumen diatas meja dan berlalu dari tempat itu. Meninggalkan mayat laki-laki itu dalam ruangannya yang tertutup. Mata laki-laki itu masih terbuka lebar, setetes air mata mengalir membasahi secarik foto.
Sebuah foto seorang anak kecil berambut hitam berumur lima tahun yang tersenyum ceria.
"Ara…"