Orpheus telah selesai menyiapkan makan siang di meja makan. Kini, ia tengah pergi berburu, untuk pasokan hari esok.
Sebenarnya, semua itu tidak perlu ia lakukan.
Sebab, hanya dengan tatapan matanya saja, rusa-rusa di hadapannya sekarang, dapat terkapar tidak berdaya.
Namun, Orpheus sangat bosan di rumah. Apalagi yang dapat ia lakukan selain menyibukkan dirinya dengan berburu. Hidup di hutan seperti itu, membuatnya tidak lagi membutuhkan harta atau apa pun.
Setelah panahnya melesat cepat menembus tubuh hewan bertanduk itu. Orpheus bergegas pulang.
Ia berjalan gontai dengan jaket yang masih tertudung rapi. Rumahnya tampak bersahaja, dengan asrinya pepohonan, dan asap yang mengepul dari tungku pembakaran.
Orpheus membuka pintu, memasuki rumah, matanya mengamati seluruh ruangan dengan tajam.
Ia melotot, terkejut, tetapi tetap santai. Melihat seluruh rumahnya dalam keadaan berantakan. Makanan dan minuman di meja yang telah ia siapkan lenyap, semuanya tampak kotor, berceceran tidak karuan.
"Siapa yang melakukan ini?! Bahkan, aku saja belum sempat menyentuhnya. Jika hewan yang melakukannya, itu adalah suatu ketidakmungkinan! Karena, selama ini tidak pernah ada satupun hewan yang berani mendekati rumahku, atau mereka, akan kulempar keluar dalam keadaan bangkai," pikir Orpheus.
Orpheus mendengus marah. Merenggangkan bibirnya yang bak pinang terbelah pada bagian tengah itu.
"Aish!" Ia menatap piring-piring di meja, membuatnya jatuh berhamburan, gelas-gelas pecah, dan api di tungku pemanas seketika padam total.
Ia semakin kesal. Rasanya semua saraf otaknya ingin mendidih.
Bragh!
Pot bunga di samping meja itu pecah bersamaan dengan langkah kakinya naik ke tangga atas yang menuju kamarnya.
Orpheus membuka pintu yang terbuat dari kayu berbentuk buku itu.
"Sebenarnya itu tidak aneh. Di hutan ini, kejanggalan adalah hal biasa. Di sini, apa pun dapat terjadi. Bahkan, ibu angkatku, penyihir rendahan itu juga masih tinggal di hutan ini. Cih! Mengapa aku harus memikirkannya!" sesal Orpheus.
Pintu kamarnya terbuka lebar. Orpheus berdiri kokoh dengan tubuh jangkungnya. Pandangannya menangkap sebuah kebodohan!
"Siapa dia?! Ada manusia di sini?! Semua itu tidak mungkin. Hampir sudah sepuluh tahun aku hidup, dan tidak pernah melihat orang lain. Bahkan, aku hampir lupa, bahwa bentuk yang sedang tidur di ranjangku itu adalah seorang wanita!" pikir Orpheus.
"Aish..." desahnya, tambah geram melihat gadis yang dia amati itu masih terlelap, mengasyikkan dirinya dalam dunia mimpi.
"Hhh!" Orpheus langsung saja menatap buruk padanya.
Brugh!
Gadis itu terjatuh dari ranjangnya.
"Mampus!" batin Orpheus, dengan tangan masih terlipat di dadanya.
"Auuw..." sang gadis mengaduh keras, memegangi pantatnya yang kesakitan menghantam lantai.
Ia mendongakkan kepalanya.
"Kyandra! Apakah kamu sedang bermimpi?! Siapa dia?" gadis itu melotot menatap Orpheus, seperti melihat hantu atau pangeran dari negeri dongeng.
Kyandra mengedarkan pandangannya.
"Sepertinya... dia memang seorang pangeran, kulitku hitam manis, matanya bak cahaya purnama. Dia lucu, alis kirinya mengapa tergores di tengah? Tapi sungguh…. Dia tampan sekali Ya Tuhan…" batin Kyandra yang belum juga bangkit. Bola matanya pun masih bergerak mengamati setiap jengkal pria yang berdiri di atasnya.
"Bangunlah! Siapa kau?!" hardik Orpheus dingin. Yang kedinginannya itu, justru malah semakin membuat Kyandra membeku tidak bergerak.
Orpheus menghela napas marah,
"Tidak ada manusia yang pernah sampai di sini! Katakan! Siapa dirimu, dan bagaimana kau bisa sampai di kamarku!"
Kyandra seperti sebuah es krim yang meleleh, menatap rambut Orpheus yang mengembang berwarna kemerahan, dengan poni yang sedikit menjulur menutupi mata.
Orpheus semakin geram sekarang. Dia menatap tajam pada sebuah lukisan yang terpajang di dinding.
Pctar!
Lukisan itu jatuh, hancur berkeping-keping.
Wajah Kyandra sekarang utuh. Ia sadar, pria ini bukan pria biasa, hidupnya dalam bahaya. Payah! Sekarang apa yang harus dia lakukan?!
"Hah! Iya! A-a-aku berasal dari menembus lukisan," ungkapnya terbata-bata.
"Cih!" Orpheus mendengus, tertawa sinis.
Kyandra buru-buru bangkit.
"Be-be-benar aku berasal dari kota, dan aku datang kemari melalui, melalui menembus lukisan," jelasnya lagi, masih gelagapan. Ia kini semakin ketakutan.
Orpheus tidak meladeni jawabannya. Ia langsung saja menyambar tangan Kyandra.
"Heh! Mau dibawa kemana aku?!"
"Keluar dari kamar dan rumahku!" Orpheus terus menyeret tangan Kyandra menuruni tangga.
"Siapapun engkau, maafkan aku. Aku tidak tahu. Oh! Ya! Aku tidak sengaja menghabiskan makananmu!" mohonnya.
"Tidak sengaja menghabiskan makanan, tidak sengaja menembus lukisan. Dasar wanita pembohong!" geram Orpheus dalam hati. Ia semakin tidak berperasaan menariknya keluar rumah.
"Maafkan aku, aku tidak tahu aku di mana. Aku tersesat."
"Pergi!" titah Orpheus melemparkan tangan Kyandra setelah berada di ambang pintu.
"Aku tidak dapat pergi, aku tidak tahu harus kemana. Ini hutan, bukannya disini ban—"
"Aku bilang pergi! Apa kau tuli!" pekik Orpheus marah.
Jangan bertanya kasian. Tinggal di hutan bersama hewan, membuat Orpheus tidak lagi mengenal kata itu.
"Tapi—" Muka Kyandra tampak memelas, baju coklat dan roknya terbang mengikuti angin kencang, yang menandakan hendak hujan.
"AKU TIDAK PEDULI!" Orpheus membanting keras pintu rumahnya.
Kyandra tersentak, "Aku mohon, biarkan aku bersamamu, sebentar lagi hujan. Aku takut petir," teriak Kyandra berharap pria itu mau berbaik hati kepadanya.
Orpheus tidak sebaik itu, dia tetap tidak perduli. Hingga benar. Sebuah suara petir terdengar bersahutan dengan teriakan Kyandra dan suara sebuah benda yang dijatuhkan ke air.
Orpheus baru sadar. Jika, rumahnya itu dikelilingi oleh sungai deras yang berasal dari air terjun bawah kaki gunung.
Ia refleks keluar rumah. Mengedarkan pandangannya ke sekitar yang tidak membawakan hasil.
"HEY!" teriak Orpheus. Tidak ada siapa-siapa di sana.
"Apa gadis itu terjatuh ke dalam sungai deras itu?! Sial!" umpat Orpheus, matanya memecahkan batu besar yang berada di pinggir sungai itu dengan sekali tatapan.
Langit semakin gelap. Hujan akan segera turun. Orpheus berlari mengikuti arus terakhir sungai yang akan kembali terjun.
Kyandra tidak tahu mengapa. Tetapi, air di sana seperti dapat ia ajak bicara dan kendalikan.
Ia tidak tenggelam. Semua air itu seakan mengerti perintahnya.
Kyandra bangkit dari dalam air. Melihat ke atas sungai, ada pria itu lagi.
"Aku tidak percaya. Selain gila, ternyata gadis bodoh itu juga seorang penyihir!" pikir Orpheus memaki dirinya sendiri. Ia berjalan kembali ke rumah.
"Hey, tunggu aku!"
Seth!
Dari jarak yang ada. Tubuh Kyandra seketika memaku, lututnya seperti dihujami batu, saat Orpheus menatapnya intens.
Kyandra hanya mendesah, mengerang kesakitan.
"Tolong aku…" pinta Kyandra dengan parau.
"Terserah dia mau apa. Penyihir tidak akan mati hanya karena serangan kutukan Auge-ku!" gumam Orpheus.
"Dasar Batu! Pria tidak berperasaan!" maki Kyandra, melihat Orpheus berjalan menjauh.
Hujan lantas turun sangat lebat.