Kilas Balik
4 tahun yang lalu.
Hingga sebulan berlalu. Mengingat kondisinya nge-drop parah. Aldebaran ditemukan pingsan dikamarnya. Karena sudah dua hari tidak ada sedikitpun makanan yang masuk kedalam tubuhnya. Sehingga membuat dirinya dilarikan ke rumah sakit segera.
Tut..Tut..Tut..
"Hmm.. Tidak diangkatnya. Apakah sesibuk itu." Gumam Hendriko.
Pria paruh baya itu sejak tadi menelpon istrinya namun tidak kunjung di angkat.
"Silakan duduk Tn. Bagaskara." Tutur Dokter Joni kemudian. Dokter Joni ialah dokter kepercayaan keluarga Bagaskara.
"Bagaimana dok, apakah anak saya cukup serius?" Tanya Hendriko yang sedikit tegang.
"Begini tuan. Kondisinya sangat menghawatirkan. Namun tuan membawa putra tuan tepat waktu sebelum terlambat. Dia kehilangan banyak cairan. Den Aldebaran sendiri hanya butuh support dari keluarganya pelan-pelan. Ia butuh didampingi. Den Aldebaran sendiri seperti mengalami gejala depresiasi, untungnya masih gejala ringan. Jika saya perhatikan putra anda merasa sangat kesepian. Tentu sangat beresiko buat kedepannya, salah satu faktornya itu, bisa membuatnya menjadi remaja yang murung, tidak suka keramaian, mogok makan, enggan berbicara dll sebagainya. Selalu luangkan waktu kalian berdua Tuan dan nyonya tentunya. Sebelum kalian menyesalinya. Jangan terlalu sibuk bekerja. Saya maupun dokter yang lain akan melakukan yang terbaik demi kesembuhan putra tuan. Sejauh ini, mari kita lihat lagi perkembangan kedepannya." Jelas Dokter Joni mengakhiri.
"Ahh, baiklah dok. Sekali lagi terimakasih." Ucap Hendriko seraya menjabat tangan dokter tersebut.
Di tempat yang berbeda. Seorang wanita cantik sesekali memperhatikan layar ponsel miliknya. Usianya yang terbilang hampir menginjak 40 tahun-an namun masih menampakkan aura cantiknya. Mematikan ponselnya. Kemudian meletakkannya di atas nakas.
"Hmm.. Ada apa ini. Sepertinya perasaan ku tidak begitu enak." Gumam wanita itu.
Cklek.
Pintu kamar mandi terbuka. Tampaklah sosok pria tampan disana. Meskipun usianya hampir menginjak 40 tahun. Namun aura ketampanannya sangat intens sekali. Usia mereka tampak tidak terlalu jauh.
Pria itu bertelanjang dada. Tampaklah roti sobek yang begitu indah terpampang nyata disana. Ia mengenakan handuk di pinggangnya. Seraya mengeringkan rambut miliknya dengan handuk kecil.
"Ada apa sayang. Sepertinya sangat gelisah?" Ucap suara sexy itu dengan nada lembut. Lalu duduk di samping wanita itu.
"Tidak ada sayang." Tuturnya. Lalu tersenyum menatap pria itu.
"Apakah Hendriko menelepon mu." Tanya nya kembali.
"Hmm.. bukan apa-apa. Tidak begitu penting." Tutur Mutia kembali seraya merebahkan kepalanya kedada bidang pria itu.
"Cepat atau lambat aku rasa Hendriko bakal tahu hubungan kita sayang. Apakah kita memberi tahu dirinya lebih cepat. Aku bosan sembunyi-sembunyi begini denganmu." Ucap Erick seraya menciumi pucuk kepala wanita dipelukannya itu.
"Ahhh.. Kau jangan gila." Sentak Mutia seraya menjauhi kepalanya.
"Apakah kau tidak berfikir bahwa hubungan kita ini sudah lebih gila. Cukup seperti ini saja untuk saat ini. Jangan bertindak lebih ekstrim lagi." Dengusnya seraya menggelengkan kepala.
"Memangnya kenapa? Bukankah kita saling mencintai. Kamu jelas tahu bukan, bahwa perjuangan ku mendapatkan mu sangat tidak mudah." Ucap Erick yang kemudian bangkit.
"Kau tidak mengerti. Bagaimana jika Hendriko tau? Keluarga mu juga pasti tau? Aku masih punya malu untuk berhadapan dengan mereka. Bahkan keluarga ku sangat dekat dengan keluarga mu." Tutur wanita itu dengan perasaan tak menentu.
"Dan... Aku juga memiliki seorang anak. Apa yang dia pikirkan nanti jika diriku menghianati papanya. Aku tidak begitu tega." Lanjutnya kembali.
"Aku tidak peduli. Mau mereka terima atau tidak. Yang menjalani itu kita. Bukan mereka." Dengusnya dengan nada kesal.
"Soal anakmu.. Bukankah dia sudah ku anggap sebagai anakku juga." Ucap Erick kembali.
"Kau sungguh gila Erick. Aku tidak mungkin menjalin hubungan ini dalam jangka waktu yang lama denganmu." Hembus nafasnya kasar.
"Aku dengan keluargamu begitu dekat. Bahkan Hendriko sahabat baiknya Rangga kakak tertua mu. Bagaimana jika mereka tahu aku selingkuh denganmu. Terlebih lagi Rangga mengetahui itu. Jelas ini sudah diluar nalar Erick. Dimana muka ku taruh." Teriak wanita itu. Seakan udara dihirupnya terasa sesak.
"Kau tidak perlu membalikkan fakta seakan-akan hanya aku yang tergila-gila denganmu Mutia. Bukankah kita sama-sama menginginkannya. Kita sama-sama mencintai bukan!!". Sentak pria itu dengan nada naik satu oktaf.
"Apa itu salah? Apa aku salah mencintai mu. Kita saling cinta. Saling sayang. Lagian diriku sekarang juga sudah sendiri. Tidak ada lagi yang menghalangi." Ucap pria itu.
"Apakah kau sungguh tidak berpikir ingin bersama dengan ku dalam waktu yang lama." Tekan pria itu.
"Ah... Bukan begitu. Maksudku bagaimana bisa kau tidak memikirkan kedepannya. Tidaklah sangat konyol jika kau gegabah." Jelas Mutia seraya memijit pelipis matanya.
"Kau sungguh gila ya Rick.. Tidak bisa berkompromi sedikitpun." Lirih Mutia.
"Kalau memang gila kenapa? ku gila karena kamu Mutia." Seringainya penuh maksud.
"Aku sungguh mencintaimu sayang." Iirihnya seraya membelai bibir merah delima itu.
"Sungguh aku merasa sangat bersalah kepada Hendriko." Lirihnya.
Erick seraya menghentikan tangannya. Menurunkannya. Lalu menatap wanita cantik didepannya itu.
Mutia langsung bangkit dari duduknya.
Namun Erick menahan pergelangan tangan wanita itu.
"Mau kemana, hmm.." Ucap Erick.
"Bagaimana kalau kita tidak berjumpa dulu dalam kurun waktu dekat ini. Kita saling introspeksi diri saja. Siapa tau setelahnya kita saling ikhlas melepaskan." Tutur wanita itu kemudian.
"Aku akan terbang ke Jogja sore ini." Tuturnya, kemudian berlalu dari sana.
"Ahh.. shit.." dengus Erick.
Menatap punggung Mutia yang sudah berlalu.
"Tidak akan aku biarkan. Jangan pernah berfikir mau lari dariku Mutia sayang." Lirihnya kemudian.
Di sebuah brankars kamar rumah sakit. Remaja tampan itu tampak terlihat pulas dari tidurnya.
"Ahh.. seharusnya mama mu sudah kembali sekarang." Ucap Hendriko seraya melirik arloji nya.
Sesekali ia menggeserkan bangku tersebut mendekat ke arah ranjang Aldebaran. Dan mengotak-atik Atik ponselnya. Seraya memerhatikan panggilan masuk.
"Pa..pa.." lirih Aldebaran.
"Sudah sadar.. Mau minum?" Tanya Hendriko.
Aldebaran mengangguk.
"Minumlah.." seraya Hendriko memberikan minum itu kepada putra semata wayangnya itu.
"Ya sudah.. istirahat saja. Agar kondisimu lekas membaik." Tutur Hendriko seraya meletakkan gelas minum itu kembali di atas nakas.
"Mama.. kemana?" Tanya Aldebaran.
"Ah mama masih dalam perjalanan bisnis sayang. Maklum mama sekarang kan sudah menjadi designer terkenal. Jadi sangat padat jadwalnya." Ucap Hendriko menjelaskan.
Drttt.. drtt..
Panggilan masuk dengan id calling Romi sang asisten pribadinya.
"Halo tuan.." ucap diseberang sana.
"Ia Rom.. Apakah ada hal penting?" Tuturnya.
"Maaf Tuan.. Bisakah tuan check email yang barusan saya kirim." Ucap Romi kemudian.
"Baik." Kemudian ia mengotak-atik ponselnya seraya memeriksanya.
Deg.
Ia sontak terkejut. Matanya terbelalak. Seakan jantungnya berdetak lebih kencang. Seketika pandangannya sedikit buram.
Lalu ia meraih pegangan tangan sofa yang berada di ruangan rumah sakit itu. Dan mendudukkan dirinya di sana.
"Tu..tuan.. Baik-baik saja." Tutur Romi yang sangat khawatir di seberang sana.
"Berani sekali dia menghianati ku seperti ini." Ucap Hendriko dengan Emosi di ubun-ubun. Darahnya yang tiba-tiba saja mendidih.
"Tenangkan diri tuan dahulu. Hembuskan nafas dan buang seketika." Tutur yang disana.
Hendriko pun menuruti saran asistennya itu. Ia menghembuskan nafasnya lalu membuangnya pelan.
"Baiklah. Apa rencana mu selanjutnya Rom?" Ucap Hendriko yang sudah bisa mengatur nafasnya.
"Kita tidak perlu gegabah tuan. Mari kita selidiki pelan-pelan. Tuan berlaku seperti biasa saja. Biar nyonya tidak curiga." Ucap pria itu lagi.
"Hmm.. Baiklah. Kita biarkan saja dia sekarang. Sampai keadaan Aldebaran sudah membaik. Baru kita ambil keputusan." Pungkas Hendriko.
Seraya memutuskan panggilan tersebut.
Tutt..Tut..Tut..
"Huhhh.. Aku masih tidak percaya engkau menghianatiku seperti ini Mutia." Lirih Hendriko. Seraya memijit pelipis matanya.
Rasanya masalah yang satu belum selesai malah ditambah masalah satunya lagi.
Di dalam pesawat. Seorang wanita cantik tengah melamun seraya menatap ponselnya dengan perasaan tak menentu.
Drrt.. drttt..
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Ya halo.." jawabnya.
......
"Apa.. di rumah sakit. Kau bercanda?" Sontak ia sangat terkejut.
.......
"Hemm.. baiklah. Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang." Pungkasnya. Lalu mematikan ponselnya.
"Ahhh.. yang benar saja. Kenapa harus serumit ini." Gumamnya, dengan hati yang bertalu-talu.
Wanita cantik itu sedang menyusuri koridor rumah sakit. Ya setelah mendarat di bandara setengah jam yang lalu. Mutia langsung bergegas menuju rumah sakit tempat Aldebaran dirawat.
"Permisi sus, kamar atas nama Aldebaran Bintang Bagaskara dikamar no berapa ya? Saya mama nya." Ucapnya kepada salah satu perawat di meja resepsionis.
"Sebentar ya bu." Tutur perawat itu seraya memeriksanya.
"Dikamar Citrus no 3021 f. Lantai 15 VVIP Bu." Ucap perawat itu kemudian.
"Ahh.. terimakasih banyak sus." Ucap wanita itu kemudian berlalu.
Setelah pintu lift tersebut terbuka ia langsung bergegas mencari kamar putranya.
"Ahh, ini dia pikirnya."
Cklek..
Sontak matanya menyapu seluruh ruangan yang tampak luas tersebut. Dan mendapati sosok yang sedang berbaring dengan muka yang tampak pucat.
Ia mengulurkan tangannya lalu mengelus pucuk kepala tersebut dengan lembut.
"Ma..ma.." ucap remaja putra itu seraya menatap mamanya.
"Ah mama menganggu tidur mu. Istirahat lah." Ucap Mutia dengan tersenyum.
Tak..tak..
Cklek..
"Kau sudah kembali?" Ucap Hendriko yang baru saja tiba.
Sontak saja suara tersebut membuat Mutia terkejut dan menoleh ke asal suara tersebut.
"Hmm.. hai.. Iya begitu mendarat aku langsung bergegas kemari." Seraya beranjak menciumi pipi Hendriko.
Hendriko membeku. Ia tidak membalasnya. Seketika hatinya kembali bertalu-talu. Dia ingin marah, namun mengingat perkataan Romi tadi. Ia mengesampingkan egonya. Terlebih lagi tidak mungkin ia harus bertengkar disaksikan putra semata wayangnya. Jelas bakal beresiko buruk buat Aldebaran mengingat kondisinya.
"Oh, baiklah. Kau lelah bukan. Pulanglah dulu. Istirahat dan bersihkan dirimu. Lalu setelahnya kembali lagi kesini." Tutur Hendriko seraya menjauhi tubuh mereka.
"Hemm.. sejujurnya aku masih sangat rindu dengan kalian berdua. Namun sekarang aku sedikit lega sudah bertemu. Kau tahu aku begitu khawatir tadi." Ucapnya seraya tersenyum. Meskipun sejujurnya dihatinya sangat merasa bersalah kepada Hendriko.
"Pulanglah." Ucap Hendriko.
Mutia mengangguk. Lalu berlalu menjauhi ruangan tersebut.
"Ya sudah nak, kau istirahat saja. Papa akan merebahkan tubuh sejenak di sofa." Tutur Hendriko seraya mengelus pucuk kepala putranya.
Ia menatap nanar foto dilayar handphone nya itu. Terlihat disana seorang wanita yang sangat ia kenali. Sedang bergandengan tangan dengan mesra di sebuah bandara. Slide kedua menampakkan keduanya saling berpelukan hangat. Slide ketiga tampak pria itu sedang menciumi pucuk kepala wanitanya.
Betapa teriris nya ulu hatinya saat ini. Ia tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya sangat hancur. Ingin sekali ia melampiaskan itu. Lagi-lagi ia masih berfikir sehat. Jika ia kehilangan akal bisa saja sangat tidak terkontrol lagi.
"Mengapa harus Erick." Lirih Hendriko getir.
Ya Erick Nugroho adalah adik dari rekan bisnis sekaligus sahabat dekatnya. Yaitu Rangga Nugroho. Keluarganya dan keluarga Nugroho sudah menjalin kerjasama bisnis sejak turun-temurun. Dimana mereka juga sudah bersahabatan sejak lama. Sejak dari masa SMA hingga sekarang. Yang dia tidak habis pikir. Bagaimana bisa persahabatan dan kerjasama bisnis yang sudah terjalin sejak lama itu bakal berakhir begitu saja. Jika saja keluarga mereka saling mengetahui. Otaknya sungguh sangat buntu saat ini. Ingin rasanya ia melampiaskan semuanya.
Setelah dirawat tiga bulan lamanya. Akhirnya hari ini Aldebaran resmi diperbolehkan pulang ke rumah. Karena hasil pemeriksaan terakhirnya. Dia sudah mengalami kemajuan yang pesat. Ia sudah mau banyak bicara. Sudah ingin berinteraksi dengan banyak orang. Ya meskipun sudah pulih, namun ia tetap harus di dampingi oleh orang terdekatnya.
"Ayo.. sayang papa bantu ." Tutur Hendriko. Seraya membantu sang putra masuk kedalam mobil.
"Mama.. masih sibuk ya pa?" Ucap Aldebaran membuka keheningan.
"Iya sayang.. katanya hari ini mama pulang." Tutur Hendriko seraya tersenyum ke arah putra semata wayangnya itu.
"Perasaan mama baru saja kembali kemudian pergi lagi. Selalu saja seperti itu. Mama sekarang berubah. Tidak pernah ada waktu buat Al lagi. Apa mama gak sayang sama Al ya pa." Ucap Aldebaran seraya menatap mata Hendriko.
"Ahh.. tentu saja itu tidak benar sayang. Jelas mama sangat sayang sama Al." Tutur Hendriko tetap dengan wajah tersenyum. Meskipun sebenarnya didalam hatinya sangat berkecamuk.
'Tega sekali kamu seperti ini kepada kami mut. Bahkan anakmu sampai berpikiran begitu.' batin Hendriko getir.
Akhir-akhir ini tampak hubungan kedua orangtuanya sangat renggang. Sering berdebat. Bahkan cukup sering. Tanpa sengaja Aldebaran sering mendapati keduanya berdebat dan adu argumen.
Namun kali ini tidak seperti biasanya. Untuk pertama kalinya, bahkan papa nya yang biasanya sangat lembut dan tidak pernah marah itu. Membentak mamanya dengan nada yang cukup keras.
Dan melemparkan sebuah amplop yang berisikan foto itu bertebaran ke lantai. Bersamaan dengan itu pula papanya pingsan.
Dan seketika papanya dilarikan ke rumah sakit.
"Papa.. hiks..hiks.." lirih Aldebaran seraya memegang lengan sang papa yang terbaring lemah itu.
Lalu ia beranjak keluar ruangan. Dan duduk mengamati sekelilingnya ditaman rumah sakit itu. Ia menghirup udara dan sekilas memandangi kedua orangtua yang sedang tertawa bahagia menyuapi putrinya.
Aldebaran melihatnya dengan tersenyum getir. Tampak ia mengeluarkan foto yang ia ambil tak kala papanya pingsan beberapa jam yang lalu. Ia memandangi foto tersebut dengan perasaan campur aduk. Dia tidak habis pikir. Dengan mamanya yang berani menghianati sang papa. Terutama dengan pria yang sangat ia kenali. Yang dahulu kala sering ia panggil dengan sebutan om itu. Ia bahkan begitu dekat dulunya dengan pria itu.
"Jika terjadi apa-apa dengan papa. Aku tidak bakal memaafkannya." Gumamnya kembali.
"Apalagi mama dan papa sampai berpisah. Sampai mati aku tidak akan memaafkan itu." Lirih nya lagi. Dengan suara tercekat.
"Mengapa harus kenal mereka. Mengapa harus kenal keluarga itu. Karenanya keluarga ku banyak menderita. Terlebih lagi kamu Kejora." Gumamnya kemudian.
"Sungguh aku membencimu sekarang." Tuturnya seraya menelungkupkan kepalanya dengan tumpuan tangan di tangan kursi tersebut.
"Kenapa tidak aku saja. Kenapa keluarga ku juga menjadi cukup sial setelah bertemu kalian.
2 Minggu berlalu. Setelah Hendriko kembali ke rumah. Dan benar-benar pulih.
Lagi sesuatu yang tidak terduga terjadi. Tampak kedua orangtuanya berantem hebat sore itu. Namun Aldebaran yang menyaksikan pertengkaran orang tua nya itu. Hanya menutup telinga nya seraya mengenggam buku tangannya yang mulai memerah.
"Cerai.. tidak." Batinnya.
"Papa dan mama tidak boleh bercerai." Batin Aldebaran seraya menutup pintu kamarnya dengan perasaan yang sangat tidak menentu.
Dan puncaknya setelah kejadian sore itu. Esoknya sekitar pukul 15:30 dini hari. Mamanya di temukan tergeletak dikamarnya dengan penuh busa di area mulutnya. Ketika dibawa kerumah sakit, mamanya tidak tertolong lagi. Dan dinyatakan meninggal dunia.
Dan hari ini dendam nya begitu mendarah daging terhadap keluarga Nugroho. Yang membuat keluarganya sangat kacau balau.
Ia hanya menatap nanar wajah damai sang Mama. Hanya sesekali ia menghapus sudut matanya. Dan para pelayat berdatangan tidak henti mengucapkan kata bela sungkawa. Bahkan keluarga yang membuat keluarganya hancur tidak menampakkan dirinya.
Hari itu seakan-akan dunia menyaksikan bahwa betapa hancurnya keluarganya. Melihat sang papa yang tidak sanggup membendung kesedihan nya. Membuat dirinya sangat tidak tega melihat papanya. Seorang pria baik hati. Hangat dan bahkan sangat menyayangi keluarganya itu. Harus disakiti oleh manusia yang tidak memiliki hati. Dan mamanya pergi dengan cara yang mengenaskan. Dia berpikir bahwa dunia sangat tidak adil terhadap dirinya.