"Ma..maksud lo apa?" Lirih Kejora dengan suara bergetar.
"Biar gue beri tau. Agar nalar ataupun pemikiran Lo bisa terbuka dan mengerti. Apa yang udah gue laluin selama ini." Lirih Bintang dengan nafas yang menderu.
Tatapan lelaki itu makin tajam. Gemuruh amarahnya seketika bergelora. Ingin sekali dia menghabisi sosok perempuan yang ada di hadapannya ini. Dendam yang mendarah daging bahkan dapat menutup mata sosok remaja lelaki itu.
"Katakan mau mulai dari mana dulu!!" Smirk lelaki itu seraya mendekati Kejora perlahan.
"A.. apa.. mau mu.." tutur gadis itu dengan suara bergetar.
"Tidak usah berlagak sok polos!!" Tekan lelaki itu.
Hening.
"Lo berubah ya.." desah Kejora dengan senyuman miris.
"Berubah? Lo gak lupa dong apa yang udah Lo lakuin ke gue hahh.." teriak lelaki itu kembali.
"Keluarga gue berantakan karena lo berengsek!!!" Tekan Bintang kembali.
"Harusnya kita tidak saling mengenal sejak awal."
"Gue gak kenal lo. Gak kenal keluarga Lo. Mungkin semuanya gak bakal terjadi.."
Tegasnya sambil mencengkram bahu Kejora.
"Lo tahu, apa aja yang sudah terjadi beberapa tahun lalu. Semenjak Lo pergi tanpa pamit. Tanpa sepatah kata pun ke gue!!" Bentak Bintang yang seketika emosinya memuncak.
Nafasnya menderu dan seolah emosi lelaki itu tidak dapat terkontrol.
Hingga.
Bughhh..
Kejora terlempar ke lantai. Dengan beberapa lebam di lutut dan sikunya. Bibir merah jambu itu seketika mengeluarkan darah.
"Lo tahu, betapa hancurnya gue. Betapa hancurnya keluarga gue hah.. sialan."
Kejora tergugu, tidak bisa berkata-kata lagi. Mata gadis itu semakin memanas.
"Gu..gu..gue minta ma..af.." Tutur gadis itu dengan suara tercekat.
"Maaf.. Cihh.. Maaf Lo gak bakal balikin keadaan breng**k.. Paham!!!" Teriak Bintang yang kemudian maju ke arah Kejora.
Dan seraya mengamati mata gadis itu dengan seringai tajam.
"Lo pikir dengan Lo minta maaf.. nyokap gue bakal balik lagi.. hah.. Keluarga gue bisa utuh lagi!! Gak kan!!" Seringai lelaki itu dengan mata yang memerah.
"Ma..af.. lepasin gue.." lirih Kejora seraya menggenggam buku jemarinya.
"Apa lo bilang..!" Perlahan Bintang semakin maju ke arah Kejora yang terkulai lemah dilantai.
"Enak banget Lo bilang kayak gitu, bang*t!!" Seraya menarik kerah kemeja gadis itu.
"Lo gak ngerasain apa yang gue rasain set*n!!" Teriak lelaki itu yang semakin brutal.
Dia mencengkram dagu Kejora. Dan menekan bibir gadis itu yang darahnya semakin mengucur. Lalu menghempaskan nya dengan kasar.
"Harus mulai dari mana dulu. Buat membayar semuanya." Tegas lelaki itu.
Dengan mata yang masih menelisik seluruh tubuh Kejora dari atas sampai bawah.
"Atau dengan tubuh Lo!!" Tunjuknya seraya menekankan telunjuknya ke kening gadis yang tampak lemah itu.
Hening
"Jawab!!!" Teriaknya.
"Ma..af Al.. Tolong lepasin gue, gu..gue mau pulang. Gue belum hubungin sepupu gue." Lirih Kejora yang semakin panik.
"Aa.. Sepupu kesayangan Lo itu juga ada dalam pengawasan gue." Jawabnya seraya bibirnya melengkung bak psycopat.
"Di..a gak salah Al.. cukup gue aja. Jangan bawak-bawak Deigo.." teriaknya semakin panik.
Lalu Bintang berjongkok seraya mengelus pucuk kepala Kejora dengan penuh makna. Dengan tatapan yang sangat sulit di artikan.
"Maka tenang lah baby.. Cukup bersikap manis dan ikuti semua perintah gue. Semua keluarga Lo termasuk sepupu kesayangan Lo itu bakal baik-baik aja." Tutur Bintang dengan penuh peringatan.
Lalu lelaki itu meninggalkan gadis itu dikamarnya. Kemudian beranjak ke luar. Karena ia rasa udara yang dia hirup semakin sesak disana. Dan membanting pintu kamarnya dengan cukup keras.
Hingga ia memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu letaknya sangat tersembunyi. Ia berada diantara pembatas kamar tamu dan ruang belajar lelaki itu. Lalu ia meraih sebuah pigura besar. Yang sangat terlihat hangat dan harmonis sekali di dalamnya. Sang Papa yang menggunakan tuxedo berwarna hitam dengan senyuman teduh dan berkharisma. Sang Mama menggunakan gaun berwarna putih selutut, dengan senyuman termanisnya dan hangat. Dan dirinya yang berada di tengah-tengah mereka memakai pakaian senada. Aldebaran kecil memakai kemeja putih dengan rompi hitam kotak-kotak, dan memakai dasi kupu-kupu. Sangat tampan dan lucu.
Seketika air matanya perlahan tergenang. Kisah lampau yang amat menyakitkan itu kembali berputar di benaknya.
'Flashback on'
4 tahun lalu di kediaman keluarga Bagaskara. Anak laki-laki tampan itu sedang duduk di taman belakang rumahnya. Sesekali menatap ring basket yang berada tidak jauh dari tempat itu.
Sudah 4 hari pikirnya Kejora tidak main kerumahnya dan biasanya mereka menghabiskan waktu bersama di setiap kesempatan.
Lalu lelaki itu berlari memasuki rumahnya.
"Ma.. Kejora ada kesini tidak hari ini??" Ucap bocah lelaki tampan itu.
"Belum ada sayang.. Mungkin Kejora lagi sibuk kali atau ada acara di tempat saudaranya, makanya belum datang." Senyum wanita paruh baya itu sambil tersenyum mengelus pucuk kepala sang putra nya.
"Tapi kok tumben.." gumamnya.
"Udah 4 hari loh ma.." jelas bocah tampan yang beranjak remaja itu.
"Tenang sayang, bentar lagi juga pasti main kok.." tutur Mutia menenangkan hati putranya.
Bintang hanya mengangguk-angguk.
"Bye.. Mama pergi dulu ya sayang mau jumpa client. Bentar lagi papa kamu pulang loh.." pamit Mutia kepada putranya.
"Bye ma.. Hati-hati ya ma.." ucapnya seraya mencium tangan sang Mama dan melambaikan tangannya ketika sang Mama berlalu pergi.
Seminggu berlalu
"Apa.. pa.. Kejora pindah ke Manado?" Tutur nya sontak terkejut.
"Iya sayang. Mungkin keluarga nya sedikit ada problem sehingga tidak sempat pamit kepada kita." Jelas sang papa Hendriko Bagaskara.
"Setidaknya dia mengucapkan sepatah kata saja pada Al pa.." teriak Aldebaran yang beranjak remaja itu.
Kemudian ia berlalu kekamarnya. Seraya membantingkan pintu dengan keras.
Brughhh.
"Kenapa Rara tidak mengucapkan salam perpisahan kepada Al." Ucapnya seraya mengamati pigura mini berwarna biru pastel itu ditangannya.
"Padahal kita kan udah saling janji bakal saling menjaga." Lirihnya seraya tangisnya tumpah.
Karena mereka sedari kecil bahkan waktu ditaman kanak-kanak sudah berteman dengan baik. Bahkan Menurut Al, Kejora lah cinta pertama nya.
Moments bersama Kejora seketika berseliweran dibenaknya. Masa-masa dimana mereka berdoa dikatedral bersama. Natalan bersama keluarga besar mereka. Dan acapkali setiap hari raya natal dan tahun baru tiba mereka bersuka-cita menghias pohon natal bareng. Berfoto ria. Dan bernyanyi bersama di gereja.
Sebulan kemudian.
Aldebaran sudah hampir tiga minggu tidak keluar kamar. Terakhir kali semenjak ia mengetahui Kejora pindah ke Manado tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadanya. Dia enggan ke sekolah, mogok makan, tidak mau berinteraksi kepada siapapun, dan mengurung dirinya terus-menerus dikamarnya. Hingga kedua orangtuanya, khususnya sang papa bolak-balik mendatangkan dokter dan psikolog buat sang putra semata wayangnya. Dan pada akhirnya sang putra di larikan kerumah sakit. Dan menjalani perawatan berbulan-bulan.
Disebuah ruangan VVIP rumah sakit. Seorang pria paruh baya memasuki ruangan tersebut. Kondisi sang putra sudah mulai membaik.
Cklek.
"Sudah bangun??" Ucap Hendriko kepada sang putra.
"Sudah pa." Sahut anak laki-laki tampan itu dengan suara yang masih lemah.
"Rara apa kabar pa?" Tutur nya lagi.
Yang selalu saja terus menerus menanyakan dan berbicara perihal anak perempuan itu.
"Hemm.." lirih Hendriko seraya menghela nafasnya.
"Sayang.. Kamu harus sembuh dulu ya. Baru nanti kita hubungi Rara lagi. Mungkin sekarang dia sedang sibuk sekolah dan belajar. Kamu juga harus segera sembuh dulu supaya bisa sekolah lagi. Dan bisa telponan dengan Rara" Ujar Hendriko seraya menenangkan anaknya.
Hendriko adalah sosok kepala keluarga yang sangat hangat dan lembut. Sosok pria yang sangat baik hati dan menyayangi keluarganya.
Hingga satu tahun berlalu. Bintang telah sembuh total dari sakitnya. Ia sudah mau berinteraksi lagi dan sudah kembali kesekolah seperti biasanya. Meskipun dirinya harus mengulang kelas VII kembali. Tapi tidak mengurangi kemampuan nya yang sangat pesat dalam belajar. Berkat support dari kedua orangtuanya. Khususnya sang papa yang sangat perhatian terhadap dirinya.
Akibat sang papa yang terus-menerus memperhatikan dirinya. Tanpa peduli tentang sang Mama yang tengah sibuk menggeluti karirnya sebagai seorang designer. Sehingga acapkali sang Mama pulang pergi keluar kota guna menemui sang client dan kolega kerjanya. Katanya.
Akhir-akhir ini kedua orangtuanya sering kali bertengkar meskipun itu masalah sepele sekalipun. Namun kali ini sepertinya perbincangan mereka cukup serius. Karena kali pertama dirinya mendengar sang papa meneriaki sang mamanya.
Brughhh.
Hingga Hendriko tiba-tiba jatuh kelantai seketika. Akibat shock setelah ia mengeluarkan map yang berisi foto-foto itu kepada Mutia sang istri dan melemparkannya tepat di wajah wanita itu. Tiba-tiba penyakit jantung nya kumat dan pingsan seketika. Aldebaran yang mengintip sejak tadi dibalik pintu kamarnya, sontak saja berlari ke arah papanya yang terkulai lemah dengan wajah pucat pasi itu. Matanya kian menganak sungai menatap nanar sang papa.
"Pa..pa.. bangun.. hiks..hiks" lirihnya yang sangat histeris melihat tubuh Hendriko yang pucat pasi.
Mamanya Mutia sibuk menelepon seseorang dari seberang sana.
Lalu dia tanpa sengaja melihat foto bertebaran di bawah kaki sang papa. Kemudian dia mengambil salah satunya. Dan matanya terbelalak. Ia cukup kaget dengan foto yang dilihatnya.
Deg.
Dan beberapa menit kemudian ambulance datang membawa papanya ke rumah sakit terdekat. Dia sangat bersyukur sekali hari itu mengingat mereka membawa papanya tepat waktu sehingga papanya dapat terselamatkan.
Akhirnya setelah Hendriko kembali pulih. Tepatnya setelah dua minggu berlalu. Papanya menalak sang Mama.
"Aku tidak mau mas.." tutur Mutia seraya menatap mata Hendriko dalam.
"Bukankah, kau yang menginginkannya. Akan kukabulkan ke inginanmu buat bersama selingkuhan mu itu." Tegas Hendriko dingin.
"Gak mas.. kita bisa memulainya dari awal lagi." Lirihnya dengan mata yang sudah menganak sungai.
"Aku tidak mau. Sekalinya berkhianat. Tetap berkhianat." Tekan Hendriko dengan suara bergetar.
"Aku sudah berakhir dengannya. Tolong mengertilah mas.. kau sadar tidak, selama Aldebaran sakit kau tidak pernah memperdulikan ku." Ucapnya dengan suara tercekat.
Hening.
"Aku pikir waktu itu aku bakal bermain-main sebentar saja tidak untuk bersama dalam waktu yang lama. Aku khilaf mas. Sekarang aku sudah sadar. Aku mau kembali lagi dengan mu.. hiks..hiks.." lirih Mutia dengan mata yang sudah basah.
"Tetap saja. Kau sudah kelewatan batas Mutia. Kita sudah berakhir. Kita tetap bercerai." Jelasnya dengan suara yang amat berat.
"Kau tidak perlu khawatir. Kau tetap bisa bertemu dengan anak kita. Kapanpun. Aku tidak akan membatasi nya." Ucap Hendriko seraya ingin beranjak pergi.
"Aku tidak mau. Kuharap kau bakal menyesal mas setelah menalakku. Sampai kapanpun aku tidak mau kita bercerai!!" Teriak Mutia seraya membanting pintu kamarnya.
Hendriko tercekat. Seraya langkahnya terhenti. Lalu ia menoleh ke arah bayangan Mutia yang sudah berlalu masuk kedalam kamar mereka.
Tak jauh dari sana Aldebaran sejak tadi ia memperhatikan pertengkaran kedua orangtuanya. Ia hanya memeluk lututnya dan membenamkan kepalanya.
'Tidak..
Mama dan papa tidak boleh bercerai..hiks ..hiks' batinnya. Seraya sesekali menghapus air matanya itu.
Sejak semalam mamanya tidak kunjung keluar dari kamarnya. Sehingga membuat seisi rumah khawatir termasuk papa dan dirinya. Sejak pertengkaran kedua orangtuanya kemarin sore. Mutia tidak keluar kamar sampai dini hari tepatnya sudah siang menjelang sore.
Dan tiba-tiba pintu kamar itu didobrak sangat kencang oleh Hendriko.
Brughhh..
Tampaklah sosok wanita paruh baya yang masih kelihatan paras cantiknya itu terkulai lemah. Dengan keadaan wajah yang sangat pucat dan mulutnya yang mengeluarkan buih.
"Ma..ma..hiks..hiks.. mama.." tangis anak lelaki itu.
"Mutia.." teriak Hendriko yang sangat panik.
Langsung mengangkat tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Meletakkan tubuh itu di kursi belakang tepatnya dibelakang supir seraya memeluk tubuh lemah itu. Dan Aldebaran duduk tepat disebelah supir.
"Cepat jalan pak.." lirih nya kepada pak Yanto supir pribadi Hendriko.
Mereka sudah tiba di rumah sakit sekitar setengah jam yang lalu. Namun takdir berkata lain. Mutia tidak dapat diselamatkan lagi. Karena terlalu banyak obat-obatan yang ia konsumsi. Menyebabkan wanita itu banyak kehilangan cairan. Hingga tidak bisa diselamatkan lagi. Pihak Keluarga sibuk mengurusi kepulangan jenazahnya.
Hendriko begitupun dengan Aldebaran sangat terpukul. Mereka harus kehilangan orang yang sangat disayanginya secepat ini. Mereka saling berpelukan dan menguatkan satu sama lain.
Para pelayat tidak berhenti mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya. Begitu pun dengan karangan bunga yang tidak berhenti berdatangan di rumah duka tersebut.
Aldebaran tidak berhenti menangis seraya menatap peti sang Mama. Sangat hancur dan terpukulnya perasaannya saat ini.
"Ma.. bangun.. hu..hu.. jangan tinggalin Al mah.." lirihnya.
Hendriko yang berada disampingnya tidak berhenti menepuk-nepuk pundak sang putra supaya dapat menenangkannya. Padahal hatinya jauh lebih sakit lagi. Saat menatap wajah sang istri yang tertidur damai. Ingin sekali ia merutuki segala tindakan bodohnya kemarin. Andaikan waktu dapat diputar kembali.
'Maafkan aku.. Andai waktu dapat di ulang kembali. Andai aku menerima usulan mu itu untuk memulai semuanya dari awal lagi. Aku menyesal sayang.." sesal Hendriko dalam hatinya.
'flasback off'
"Tenang mah, pah.. aku akan balas semuanya yang sudah keluarga kita lalui selama ini." Lirihnya, seraya mengusap pelan pigura tersebut.
Drttt.. drttt..
Id calling tertera ..
Ia langsung mengangkatnya.
"Sudah lo urus gadis ingusan itu." Ucap wanita diseberang sana.
"Ya, sekarang gue sedang bersamanya." Lirihnya.
"Bagus. Akhirnya ucapan gue didengerin juga.. Lo lakuin sesuai rencana kita." kekeh suara diseberang sana.
"Oke. Lo, terus awasi dia. Jangan sampai curiga. Hingga waktu yang tepat." Ucapnya kembali.
"Haha.. tenang aja. Semuanya lo serahkan sama gue." Tutur suara diseberang sana.
"Baik. Gue tutup." Ucapnya kemudian.
Tut..tutt..
Sambungan terputus.
"Mari kita mulai dari mana dulu." Seringai tajam itu kembali.