Beberapa hari berlalu, aku mencoba kembali meghubungi ibuk, aku ingin tau alasannya kenapa ibuk memilih minggat dari rumah, apa benar yang seperti Lita katakan, bahwa ibu sudah mulai benar-benar jengah pada Rani.
Siang ini di hari libur aku duduk di teras rumah sembari tetap mencoba menghubungi ibuk, diluar pagar aku melihat buk Ratih yang tampak bersiap hendak ke pasar.
"Anggga, bagaimana? apa sudah ada kabar tentang Ibumu?" soraknya, aku megangguk dan menyahut
"Sudah buk, katanya kerumah teman,"
"Oh, gitu. Ya udah saya kepasar dulu ya. Kabari ntar kalo ibumu sudah pulang ya," ujarnya.
"Iya buk silahkan."
Kembali aku tertegun, tak biasanya ibuk pergi berhari-hari begini dan sekarang nomornya kembali tidak aktif, dalam lamunan itu aku tersintak Karna mendengar bunyi mobil mendekat, gegas aku berdiri dan menyambut Bima dan istrinya datang.
"Angga, ini si Dian katanya kangen Rani," ucapnya di atas mobil saat aku berusaha membuka pagar.
"Iya silahkan, itu Rani ada didalam. Kayaknya butuh teman," ujarku, Bima memarkirkan mobil di garasi dan turun. Dian keluar dari mobil dan langsung bertanya.
"Rani baik-baik aja kan?" tanyanya spontan, aku mengangguk.
"Ya baik, tapi kayaknya dia butuh teman gitu, semalam dia gak henti nangis krna aku marahin dia, abis kepala Algi lebam," ujarku, dian berdesih.
"Itu makanya, kamu jangan suka bentak dan kasarin dia, gak gampang lo ngurus anak kecil. Kamu kadang sama aja tu kayak Bima, Tiap wanita itu punya mental dan psikis yang beda-beda," jelas Dian.
"Iya Bro, dan gua beruntung dapat Dian yang mental baja," timpal Bima bercanda, istrinya sontak kesel.
"Yeay, kamu belum tau aja kalo sabar aku habis. Bisa bahaya!" hardiknya, aku hanya tersenyum.
"Ya sudah masuk, Paling Rani udah masak. Kalian udah makan siang?" tanyaku.
"Kebetulan belum," sahut Bima, aku masuk dan di buntuti oleh pasutri itu.
"Rani...., " sorak Dian melihat temannya itu, namun Rani tidak menyambut Dian lebih girang, dari istri Bima, biasanya Rani sangat senang kedatangan Dian
"Ran kamu kenapa? kamu sakit ya? Angga sudah cerita katanya kamu sedih karna Di bentak, tenang aja ada aku. Biar ntar Angga ku marahin. Kamu yang sabar ya," guyonnya, Rani menghela nafas dan sedikit menarik ujung Bibirnya untuk tersenyum.
"Tak apa Dian, aku sudah tidak sedih lagi," ucapnya pelan, Dian hanya bisa melirik kami sesekali.
"Apa kalian sudah makan? Ayo makan," titahnya dengan senang hati Dian dan Bima mengikuti Rani ke Meja makan.
Sesampai di meja makan,
"Wah Rani, kamu masak daging banyak banget. Ada acara apa?" tanya Dian, aku juga melihat semua hidangan itu.
"Gak ada acara apa-apa, biar daging ibuk cepat habis," ucapnya sembari melirik sup.
"Daging ibuk?" tanya Dian spontan.
"Ya daging yang di beli ibuk, sebelum pergi. Menuhin kulkas jadi tak masak sering sering biar cepat habis kebetulan kalian datang, silahkan makan," ajaknya, Dian dan Bima duduk.
"Aku kangen kamu tau gak Ran, Mas Bima semalam bilang bagaimana kalo kita pinjam Algi buat pancingan, supaya aku bisa hamil. Kata orang sih gitu, lagian aku juga kangen Algi," jelas Dian, Rani mendegup.
"Tapi, Algi pasti rewel. Kalian bisa tinggal disini untuk beberapa hari," ujarnya, Bima terkekeh.
"Gak gitu juga, tadinya sih bukan pengen tinggal disini Algikan dan biasa tu sama Dian," timpal Bima, Rani tersenyum hambar dan berkata.
"Aku tidak bisa," ujarnya, Dian sedikit menggaruk tengkuk dan berkata.
"Ya udah gak apa, lupakan saja. Tadinya aku fikir sih kamu bolehin pinjamin Algi," tutup Dian, Rani kembali diam, Dian tampak memperhatikan Rani yang sikapnya tak hangat seperti biasanya, aku juga merasakan itu, yang aku fikir Rani seperti itu hanya pada diriku saja ternyata tidak.
" Ran, ini kok rasanya aneh ya. Kamu gak tambahin penyedap?" tutur Dian, Aku paham pasti Dian gak suka karna masakan Rani sama sekali gak enak.
"Kebetulan habis, aku Pakai garam aja," sahutnya santai.
"Oh pantes," tutup Dian
Sore harinya setelah mereka pergi, Rani kembali bersikap dingin padaku, dia mengajak Algi bermain di taman belakang, sembari berdendang pelan menidurkan anaknya dengan penuh kasih, sesekali aku mendengar Rani menangis, sekarang Rani tampak tak menghiraukan aku, mungkin Di kesal karna aku sudah tak pedulikan dia dan fokus mencari ibuk, terlebih sekarang dia juga terlihat jorok dan kucel, bahkan dari kemaren dia tidak mengganti pakaiannya, mandi bahkan berdandan untukku.
Drrrrrrt...
Bunyi ponselku berdering, sontak aku rogoh saku celanaku dan melihat Lita yang menelpon.
"Hallo," sapaku sembari tetap melihat Rani yang berdiri membelakangiku sembari menggendong Algi, sedikit aku kecilkan suara dan bicara dengan Lita di telpon.
"Ya Lita, ada apa?" tanyaku.
"Kamu punya waktu gak? kita jalan Yuk," ajaknya, aku berdesih dan berkata.
"Gak Bisa Lita, kita ketemu besok di kantor aja," tolakku, Di terdengar kecewa
"Udah ya, aku tutup dulu-"
"Eh Angga bentar, aku di kabari ibuk semalam," cegatnya, aku megurungkan niat untuk.memutuskan panggilan.
"Ibuk bilang apa?" tanyaku.
"Kamu temui aku, aku akan cerita," jawabnya, denga terpaksa aku bilang.
"Baiklah," ujarku beranjak mengambil kunci mobil, bisa aku lihat Rani menoleh padaku yang bersiap hendak pergi,
"Aku keluar sebentar," singkatku dan beranjak pergi, tak ada sahutan sepatah katapun dari Rani, dan aku tetap berlalu pergj.
Sesampai disana, aku memencet bel rumah Lita, Di membuka pintu rumah dengan pakaian minim, aku mendegup liur melihat boop Lita yang indah, ini wanita apa maksudnya menyambutku dengan pakaian yang minim.
"Ibuk bilang apa? aku susah menghubunginya dari semalam," ujarku, Lita menuntunku ke kursi dan berkata.
" Bentar Angga, aku buatin kamu minum ya," ucapnya dengan senyum hangat, darahku terasa memanas melihat tubuh indah ini berdiri dekat dengan mataku.
"Iya buruan..," gegasku, tak butuh waktu lama, Lita kembali dengan segelas air dingin.
"Kata ibuk, dia akan pulang, kalau kamu bilang mau nikahin aku dan ceraikan Lita," ucapnya meletakkan minuman di meja, aku coba mengalihka pandangan saat Lita merunduk, Aku normal dan aku paling tidak bisa melihat bagian boop Lita yang menggiurkan.
"Masak iya, ibuk ngomong seperti, kamu pasti bohongkan?" tanyaku lagi, Di duduk mepet denganku dan berkata.
"Ya udah kalo gak percaya, kamu coba deh telpon atau tulis pesan, kalo kamu mau nikahin aku. Pasti ibuk pulang," ujarnya, aku sedikit manyun dan coba melihat ponselku.
"Ayo Angga, telpon! " titahnya, aku Coba menghubungi ibuk tersambung tapi tidak di angkat.
"Gak di angkat," tuturku.
"Ya udah, kamu coba kirim pesan," ujar Lita lagi, aku coba mengetik pesan yang seperti wanita itu bilang. Bukan apa-apa akuhanya ingin buktikan apa benar ibu pergi karna kesal aku tak kunjung mau menuruti keinginannya.
"Buk, ibuk pulang ya, Angga siap. Jika harus nikahin Lita," tulisku tentu saja Lita sangat girang melihat itu. Tak butuh waktu lama pesan itu di balas.
"Ya baik lah,"
Aku sangat lega sekali, Karna ibuk Akhirny mau pulang juga,
"Aku benar kan mas, aku bilang Juga apa," girang Lita lagi, mendekap dan memelukku aku haya bisa diam dengan sedikit lega akhirnya ibuk membalas pesan,
Pov Lita
Setelah menghabiskan sore bersama, Angga pulang sudah cukup malam, Dia begutu Naif mencoba tahan melihat kemolekan tubuhku, tapi tak apa, hari ini sudah sangat berkesan, aku tau Angga dia hanya pria yang sopan dan coba menghormatiku, pkoknya aku tidak akan bisa tenang sebelum aku bisa rebut dia dari Rani,
Satu jam setelah Angga pergi, kembali bell rumah berbunyi, aku fikir Angga kembali dan gegas aku bukakan pintu, namun aku tidak melihat siapa-siapa selain mendengar suara anjing pelihaaraanku mengonggong. Perlahan aku periksa karna terdengar ada sesuatu yang menganggu nya,
Sesampai disana, Aku teperanjat dan berteriak hebat
Arrrrrghk.....