Chereads / Ataksia / Chapter 4 - 3. Vonis

Chapter 4 - 3. Vonis

Hari kedua Yasmina di rumah sakit, pagi ini dia akan menjalani CT Scan, tes genetik dan tes pungsi lumbal—pemeriksaan cairan serebrospinal—untuk melihat adanya kondisi abnormal seperti infeksi yang menyebabkan gejala yang sama dengan ataksia. Kemarin Javier tidak jadi menemani Yasmina karena dia sendiri juga harus melakukan pemeriksaan, awalnya cowok itu marah pada Yusuf, namun tidak jadi karena ibunya datang membawakan makanan kesukaannya yang sebenarnya dilarang untuk Javier makan saat ini. Yusuflah yang akhirnya mengalah agar anaknya itu tidak lagi marah.

Jam masih menunjukkan pukul delapan saat ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya, Ayu yang kebetulan membukakan pintu. Kakak Yasmina itu sedikit terkejut saat mendapati seorang cowok seusia adiknya tengah berdiri di depan kamar adiknya itu dengan kondisi kepala di perban dan membawa tiang penyangga infus lengkap dengan botol dan selang infusnya.

"Siapa ya?" tanya Ayu bingung.

"Saya Javier, Kak! Temennya Yasmina, apa Yasminanya ada, Kak?" tanya Javier ramah.

"Yasmina, ada lagi ganti baju! Masuk yuk!" ajak Ayu ramah.

"Saya tunggu di luar aja, Kak!" tolak Javier sopan.

"Masuk aja nggak pa-pa! Yasmina ganti bajunya di kamar mandi kok, sama bunda!"

"Eh, i-iya, Kak!" Javier salah tingkah. Padahal kan dia tidak berpikir kalau Yasmina ganti bajunya tidak di kamar mandi. Javier memasuki ruang rawat Yasmina, mengikuti Ayu yang berjalan di depannya.

"Duduk dulu, sebentar lagi juga selesai!" Ayu mempersilahkan Javier duduk di sofa. Cowok itu mengangguk. Ayu tampak berpikir sejenak, wajah teman adiknya ini seperti tidak asing. "Kamu punya kakak cowok?" Ayu yang hendak menuju kamar mandi membantu ibu dan adiknya berganti baju berbalik lagi menatap ke arah Javier yang sudah duduk di sofa.

"Kakak kenal sama kakak saya?" Javier balik bertanya. Javier yakin kalau kakak Yasmina ini tahu Javier punya kakak dari wajahnya. Wajah Javier dan kakaknya mirip dan banyak teman kakaknya yang langsung tahu kalau Javier adik Titan.

"Kamu adiknya Titan?"

"Emang mirip banget ya, Kak aku sama kak Titan?" Javier ini masih sering tidak percaya kalau dia mirip dengan kakaknya itu.

"Lho, beneran adiknya Titan?"

"Iya, Kak! Aku adik kandungnya kak Titan!"

"Pantes kayak pernah lihat! Tapi bukannya kamu anak STM ya, kok bisa kenal sama Yasmin?" kini Ayu sudah duduk di depan Javier.

"Sekolah kita kan tetanggaan, Kak! Tapi kenalnya justru di rumah sakit ini, kebetulan juga yang jadi dokternya Yasmina itu papa, Kak!"

"Om Yusuf? Kakak malah baru tahu kalo Titan anaknya om Yusuf! Terus kakakmu ke mana? Kok kamu sendirian?"

"Kakak lagi di kamarku, tidur. Tadi malem begadang ngerjain tugas sambil jagain aku, Kak!"

"Kamu kabur ini ceritanya? Awas dimarahin om Yusuf kamu nanti!"

"Kan aku mau nemenin Yasmina, nggak bakal dimarahin, Kak!" jawab Javier dengan percaya diri.

Mereka terlihat akrab sekali, siapa pun yang melihat mereka berdua pasti mengira kalau mereka sudah lama kenal padahal pada kenyataannya mereka baru bertemu hari ini. Tak lama kemudian Yasmina keluar dari kamar mandi bersama Liliana, hanya Liliana saja yang terkejut dengan kehadiran Javier, Yasmina tidak. Tadi sebenarnya Yusuf sudah memberitahu kalau Javier akan datang menemani Yasmina untuk tes.

"Dari tadi?" sapa Yasmina dengan senyum di wajahnya.

"Barusan kok!" Javier ikut tersenyum. Senyum Yasmina itu menular.

"Temennya Yasmina ya?" tanya Liliana ramah.

"Iya, Tante!" Javier berdiri ingin menyalami tangan wanita paruh baya itu namun Liliana lebih dulu mendatanginya.

"Anaknya om Yusuf, Bun!" sahut Ayu.

"Javier ya?" tanya Liliana sambil menerima uluran tangan Javier yang kini sedang mencium punggung tangannya itu.

"Iya, Tante!"

"Tante jarang ketemu sama kamu, ternyata makin gede makin ganteng! Kepalanya kenapa?"

"Kena lemparan batu, Tante! Yasmina pasti udah cerita kalo STM depan sekolah dia diserang STM lain?"

"Oh iya, tante inget! Ternyata sekolah kalian deketan! Pantes aja kenal! Tapi nggak pa-pa kan itu?"

"Cuma dapet lima belas jahitan aja kok, Tante!" jawab Javier enteng. Tidak tahu saja yang mendengar bergidik ngeri. Ini anak satu memang tahan banting.

Liliana yang seharusnya membantu Yasmina malah mengobrol berdua dengan Javier sehingga mau tidak mau Ayu yang membantu adiknya itu. Setengah jam kemudian Yusuf datang bersama seorang perawat, mereka akan membawa Yasmina ke ruang CT Scan lebih dahulu. Atas permintaan Javier, Yasmina berjalan bersama Javier di depan lalu diikuti seorang perawat agak jauh dari keduanya. Baru paling belakang ada Yusuf, Liliana dan Ayu.

"Takut?" tanya Javier tiba-tiba. Yasmina menggeleng. Cewek itu sudah sangat siap dengan segala kemungkinan.

"Semua itu udah dituliskan sama Tuhan, Jav! Gue udah sangat siap dengan hasil terburuk dari semua tes yang gue lakukan dari kemarin. Gue udah curiga aja pas pertama nyokap bawa gue ke bokap lo bukannya ke yang lain! Gue juga sadar kalo ada yang nggak beres sama tubuh gue!" Yasmina terlihat tegar.

"Lo nggak bakal kenapa-napa, Yas! Bokap gue pasti bakal ngelakuin yang terbaik buat lo! Percaya sama gue!" Javier berusaha menenangkan Yasmina. Cowok itu tak peduli jadi bahan tontonan orang-orang di sepanjang koridor yang mereka lewati. Bagaimana tidak, saat ini dia sedang berjalan bersama seorang cewek sambil mendorong tiang penyangga infus.

"Awalnya gue juga berharap begitu, Jav! Tapi gue nggak bisa berharap banyak saat ini, takut kecewa sama hasil yang nggak sesuai ekspektasi gue!"

Javier terdiam, dia sangat ingin menguatkan Yasmina tapi dia sendiri tidak yakin bisa berbuat apa untuk cewek ini saat cewek ini saja tidak ingin berharap terlalu tinggi. Tiba-tiba saja Yasmina oleng ke kanan, untung saja Javier dengan sigap memegangi cewek itu agar tidak jatuh padahal Yasmina tidak tersandung kakinya sendiri atau apapun.

"Lo liat sendiri kan? Gue nggak kesandung apa-apa tapi gue jatuh!" Yasmina terdiam dalam posisi tubuhnya didekap erat oleh Javier.

"Nggak pa-pa, Yas! Lo nggak pa-pa! Ada gue!" Javier semakin mengeratkan kedua tangannya yang melingkar pada tubuh Yasmina.

"Kenapa, Sayang? Kamu nggak pa-pa?" Liliana panik melihat putri bungsunya hampir jatuh. Javier langsung melepaskan tubuh Yasmina setelah memastikan kalau cewek itu sudah bisa berdiri lagi dengan tegak.

"Kamu pusing, Yasmin? Atau ngerasain apa?" Yusuf ikut panik.

"Yasmin nggak pa-pa, Bunda, Om!" Yasmina tersenyum. Javier menunduk tidak berani menatap manik mata cewek yang tengah menatap ke arahnya itu. Kalau Yasmina terlihat kuat, justru Javier yang terlihat rapuh. Takut sesuatu yang buruk terjadi pada cewek itu. Javier tidak tahu perasaan apa yang sedang dia rasakan kini, yang Javier tahu dia tidak rela kehilangan Yasmina. Tidak rela jika hal buruk terjadi pada cewek itu.

***

"Ngapain sih? Dari tadi gue liatin diem aja, bukan lo banget deh, Dek!" Titan sedikit heran saat melihat adiknya itu melamun di atas ranjangnya dan itu bukan Javier banget.

"Kak, emang penyakit ataksia bener-bener nggak bisa disembuhin ya?" tanya Javier balik.

"Emangnya yang sakit ataksia siapa? Temen lo? Apa gebetan lo?" Titan menarik kursi di bawah tempat tidur Javier dan mendudukinya.

Javier menceritakan bagaimana pertemuan pertamanya dengan Yasmina bahkan Yasmina yang ternyata adik dari teman Titan, awalnya Titan terkejut mendengar kalau adik Ayu mengidap ataksia. Vonis Yasmina memang belum keluar tapi Javier tidak bodoh, meskipun cowok itu anak SMK tapi Javier tahu banyak tentang beberapa penyakit termasuk ataksia. Javier kalau sedang bosan suka membaca buku kedokteran milik papa dan kakaknya. Titan yakin kalau adiknya itu sedikit menaruh hati pada adik dari temannya itu.

"Kak, menurut lo, perasaan gue ini apa? Apa gue cuma peduli dan kasihan sama dia atau gue bener-bener tertarik sama dia? Lo tau kan kalo gue nggak pernah deket sama cewek, tapi sejak kenal sama dia gue jadi pengen selalu ada di samping dia!"

"Gue nggak bisa jawab, Dek! Yang tau perasaan lo ya lo sendiri, tapi kalo lo beneran care sama dia, gue harap lo nggak bakal ninggalin dia! Lo harus selalu ada buat dia, nguatin dia akan penyakitnya! Lo juga harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi sama dia nantinya! Gue sebagai kakak cuma bisa support lo!" Titan menepuk pelan bahu adiknya.

"Kak, anterin gue ke kamar dia!" pinta Javier. Tadi pagi saat dia bertemu dengan Yasmina, cewek itu mengatakan kalau hasilnya akan keluar malam ini dan besok dia akan pulang. Sekarang masih pukul tujuh malam, semoga saja hasilnya belum keluar.

"Beneran mau ke sana?" tanya Titan memastikan. Javier mengangguk mantap, Titan tersenyum sebelum membantu adiknya itu untuk turun dari tempat tidurnya.

***

Liliana dan Johan sudah berada di ruangan dokter Yusuf untuk mendengarkan penjelasan dokter Yusuf tentang penyakit yang diderita oleh Yasmina. Johan beberapa kali mencoba menenangkan Liliana yang terlihat cemas akan kondisi putrinya itu. Dokter Yusuf sedang memeriksa hasil tes yang dilakukan oleh Yasmina saat Johan dan Liliana masuk ke dalam ruangannya.

"Bagaimana hasilnya, Suf?" tanya Johan saat dirinya dan Liliana sudah duduk di kursi yang berada di depan kursi kerja Yusuf.

"Saat pertama kali Yasmina datang bersama Liliana beberapa hari yang lalu, aku udah curiga tentang satu hal yang dialami oleh Yasmina, Han. Tapi aku belum terlalu yakin saat itu makanya aku minta Yasmina untuk melakukan beberapa tes. Dan ini hasilnya, aku harap kalian tidak terlalu terkejut dengan hasilnya," Yusuf menyerahkan beberapa berkas  hasil tes yang dilakukan oleh Yasmina.

Johan menerima berkas itu dan membacanya secara hati-hati. Johan tampak membaca dengan seksama dengan Liliana yang penasaran di sampingnya yang tidak berani mengganggu suaminya. Lebih tepatnya Liliana belum siap membaca hasil tes Yasmina. Begitu selesai membaca berkas hasil tes yang dilakukan oleh Yasmina, Johan meraih tangan Liliana dan menggenggamnya erat, Liliana yang seolah tahu apa maksud dari Johan langsung menangis begitu saja.

"Lil, kamu harus kuat demi Yasmina! Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk mencegah kondisi Yasmina memburuk, jadi aku harap kamu juga berusaha kuat di depan Yasmina! Kita sama-sama berusaha yang terbaik untuk Yasmina! Yasmina itu anak yang kuat, aku yakin dia tidak akan menyerah begitu saja pada penyakitnya.

"Ataksia, Suf? Kenapa harus Yasmina yang merasakan itu?" Johan mencoba menahan air matanya di depan istrinya. Dia harus kuat demi Yasmina dan juga Liliana meskipun hatinya juga sama sakitnya dengan Liliana.

"Mas, apa nggak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Ataksia ini? Aku rela melakukan apa saja untuk kesembuhan Yasmina, Mas! Aku mohon, lakukan sesuatu untuk Yasmina!"

"Untuk saat ini belum ada obat untuk penyakit itu, tapi kita bisa mencegah kondisinya memburuk. Hanya itu satu-satunya cara untuk mengurangi risiko terburuk yang akan dialami oleh Yasmina. Kita juga harus memantau semua kegiatan yang dilakukan Yasmina mulai saat ini. Kalau bisa lebih baik Yasmina home schooling saja untuk menghindari hal yang tidak kita inginkan."

"Ayah setuju dengan Yusuf, Bun! Lebih baik Yasmina home schooling aja!"

Sepertinya home schooling adalah pilihan terbaik untuk Yasmina mengingat penyakit yang kini diderita oleh Yasmina itu. Tapi ibu mana yang mau anaknya dipisahkan dengan teman-temannya di saat seperti ini, bukan karena Liliana tidak sayang pada Yasmina, Liliana sangat khawatir akan kondisi putrinya itu namun Liliana juga tidak tega untuk memisahkan Yasmina dari teman-temannya.

***

"Kepala lo udah nggak pa-pa?" tanya Yasmina pada Javier. Mereka berdua sedang mengobrol dengan Yasmina terbaring di tempat tidur dan Javier yang duduk di kursi samping tempat tidur Yasmina. Kalau dilihat sepertinya posisi mereka tertukar karena Javierlah yang kepalanya masih diperban sedangkan Yasmina baik-baik saja, tadi Yasmina ingin mengobrol di sofa saja namun Javier menolak dan meminta Yasmina untuk berbaring saja di tempat tidurnya. Ayu dan Titan mengobrol di sofa sambil sesekali memperhatikan adik mereka berdua.

"Besok udah dilepas perbannya, nggak betah gue lama-lama pake perban!" jawab Javier sambil cengengesan. Cowok itu memang tidak kenal sakit, percuma saja menasihatinya.

"Besok gue udah boleh pulang, kita nggak bisa sering ketemu lagi!" entah kenapa Yasmina mulai merasa nyaman bersama dengan Javier.

"Kata siapa? Kita bakal sering ketemu setelah ini, sekolah kita tetanggaan kalo lo lupa!" Javier mengingatkan.

"Tapi kan nggak mungkin ketemu tiap hari! Emangnya cewek lo nggak marah kalo lo sering ketemuan sama gue?"

"Gue belum punya cewek! Kenalin sama temen lo dong!"

"Bohong! Nggak percaya gue kalo lo belum punya cewek! Modelan cowok kayak lo itu pasti ceweknya banyak!"

"Ih, orang gue serius belum punya cewek! Apa lo aja yang mau jadi cewek gue?" goda Javier yang anehnya membuat kedua pipi Yasmina jadi panas, Yasmina tidak menyangka Javier akan berkata seperti itu.

"Ngaco lo!" Yasmina ingin memukul kepala Javier kalau saja tidak ingat saat ini kepala cowok itu tengah terluka.

Mereka berdua akhirnya bercanda dengan meminta dikenalkan pada teman mereka masing-masing, Javier yang meminta dikenalkan pada anak SMA teman Yasmina dan Yasmina yang ingin dikenalkan pada anak STM teman Javier. Tawa mereka baru terhenti saat kedua orang tua mereka datang. Sekar—ibu dari Javier dan Titan—entah bagaimana ceritanya bisa bersama kedua orang tua Yasmina. Yasmina mencoba untuk duduk saat melihat keempat orang itu mendekat ke arahnya dan Javier sedangkan Javier membantu Yasmina untuk duduk padahal cewek itu masih bisa untuk duduk sendiri.

"Halo, Cantik!" sapa Sekar ramah pada Yasmina. Jujur, ini pertama kalinya Yasmina bertemu dengan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.

"Halo, Tante!" jawab Yasmina tak kalah ramah. Cewek itu menatap ke arah Javier seolah meminta penjelasan tentang siapa wanita itu.

"Nyokap gue!" sahut Javier seolah cowok itu tahu apa isi pikiran Yasmina.

"Tante nyariin Javier ya? Anaknya emang bandel, Tante! Disuruh diem di kamar nggak mau!" adu Yasmina pada ibunda Javier itu.

"Bukan Javier namanya kalo nggak bandel, Sayang! Enggak kok, Tante nggak nyariin Javier! Tadi nggak sengaja ketemu sama bunda sama ayah kamu terus sekalian ikut mereka, katanya kamu lagi di rawat juga di rumah sakit ini!" ibunda Javier itu terlihat akrab dengan Yasmina seolah mereka sudah lama kenal, bahkan wanita cantik itu kini sudah duduk di tepi tempat tidur Yasmina, berhadapan dengan Yasmina.

"Mama jangan buka kartu dong!" protes Javier.

"Ya emang kamu bandel! Coba kalo nggak bandel, nggak mungkin kena lemparan batu itu kepala!" Sekar beralih pada anak bungsunya itu yang berdiri di sampingnya. Yasmina tertawa mendengar perdebatan kecil antara ibu dan anak itu.

"Bunda! Bunda kenapa?" tanya Yasmina saat beralih menatap Liliana dan melihat mata sang bunda sembab.

"Bunda nggak pa-pa, Sayang!" Liliana terlihat jelas sedang menahan diri agar tidak menangis di hadapan putrinya itu.

"Hasil tes Yasmin jelek ya, makanya bunda nangis?"

Liliana tak habis pikir dengan putri bungsunya itu, bagaimana putrinya itu masih bisa tersenyum saat dirinya saja bahkan tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Liliana yang tak kuat lagi akhirnya menangis membuat Ayu yang melihat sang bunda menangis di depan adiknya langsung menghampirinya.

"Bunda!" Ayu memegangi lengan sang bunda menguatkan, berharap bisa mengurangi beban kesedihan sang bunda.

"Yasmin cantik, bunda nangis bukan karena hasil tes kamu jelek, Sayang! Kamu nggak pa-pa! Kamu baik-baik aja!" Sekar membelai kepala Yasmina sambil tersenyum.

"Bunda!" panggil Yasmina pada ibundanya yang sudah mulai tenang bersama Ayu.

"Maafin Bunda, Sayang!" sesal Liliana.

"Javier, om boleh titip Yasmina sebentar? Om sama tante mau keluar sebentar sama mama sama papa kamu!" Johan datang menghampiri mereka. Sebenarnya ingin menenangkan istrinya agar tidak menangis di hadapan putrinya itu.

"Iya, Om! Javier akan nemenin Yasmina!"

"Sayang, kamu di sini dulu sebentar ya sama Javier! Ayah, bunda sama kakak mau ke ruangan om Yusuf sebentar!" Johan menghampiri Yasmina, mengecup kepala putrinya sekilas.

"Iya, Yah!" Yasmina tersenyum walaupun sebenarnya dia tahu kalau hasil tesnya pasti buruk, entah apa penyakitnya yang sebenarnya. Kedua orang tua mereka pergi diikuti oleh Ayu dan Titan, jadi hanya Yasmina saja dengan Javier saat ini.

"Gue sakit parah ya, Jav? Penyakit gue nggak bisa disembuhin ya?" Yasmina menatap cowok yang sudah kembali duduk di kursi yang tadi sempat dia tinggalkan.

"Yas, nggak ada penyakit yang nggak bisa sembuh! Semua penyakit itu pasti ada obatnya! Lo akan baik-baik aja! Percaya sama gue!" Javier meraih tangan Yasmina untuk menguatkan cewek itu.

"Gue takut, Jav! Mata bunda nggak bisa bohong, gue tau bunda sedih, gue tau bunda takut! Gue nggak tau gue sakit apa, tapi gue yakin kalo penyakit gue parah dan nggak bisa sembuh!" Yasmina menunduk dalam. Javier pindah posisi jadi duduk di tepi tempat tidur Yasmina dan memeluk cewek itu.

"Lo pasti sembuh, Yas! Lo pasti bisa sembuh! Gue yang jamin, percaya sama gue!" Javier mengeratkan pelukannya saat bahunya terasa hangat oleh air mata Yasmina dan cewek itu pertama kalinya menangis dalam pelukan laki-laki selain Johan—ayahnya. Rasa ingin melindungi Yasmina semakin kuat, Javier semakin tidak ingin melepaskan cewek dalam dekapannya itu.

***