Malam itu, seluruh hutan diselimuti kabut dan suara bising penduduk desa yang membawa panah dan tombak.
"Cepat, cari makhluk pembawa sial itu. Jangan sampai dia kabur!"
Perintah dari pria paruh baya itu, kemudian membuat semua warga menelusuri seisi hutan.
Tap. Tap. Tap.
[hh, hh, hh, tolonglah, tolong. Jangan sampai mereka menangkapku. Ibu, Ayah, aku sangat ketakutan, hiks, hiks.] Pikir seorang gadis yang sedang berlari dengan sekuat tenaga, berusaha menghindari kejaran orang di belakangnya.
Terlihat dari arah belakang gadis itu, cahaya api dari obor yang dibawa oleh penduduk desa kemudian mulai mendekat.
"Itu dia," teriak seorang pria yang dibarengi dengan anak panah yang melesat bagaikan peluru.
Deg!
Jantung gadis itu seperti mau berhenti, panah yang melesat dengan cepat itu kemudian mengenai paha kirinya.
"Aww, oh astaga, kakiku," rintih gadis itu dengan air mata yang mengalir sambil memegang kakinya yang baru saja terpanah.
"ZALTANA! Mau lari ke mana lagi, kau? Jangan macam-macam, kau lihat apa yang aku bawa ini, kan. Ini adalah pedang perak yang akan membuat vampir seperti kau berubah menjadi debu," kata Kepala desa, yang merupakan pria paruh baya tadi.
Zaltana menatap Pak tua itu dengan wajah yang ketakutan dan juga tubuh yang tak berhenti gemetar.
"Tolong, Pak. Saya sama sekali tidak pernah melakukan apa yang Bapak katakan itu, saya mohon ampuni saya. Jangan bunuh saya."
Zaltana menundukkan kepalanya, berusaha mendapatkan belas kasihan dari kepala desa yang menjadi dalang dari fitnah yang dia terima itu.
Kepala desa yang terlihat berusia akhir 50 tahunan itu, adalah pria yang sangat mesum dan selalu memaksa Zaltana untuk menjadi istri ke-3 nya. Dengan tampang yang sama seperti Ayahnya sendiri, tentu saja Zaltana sama sekali tak mau menjadi bagian dari Pak tua mesum itu.
"Cepat, ikat dia, sebelum dia membunuh kita semua. Lihat saja lukanya, sudah kembali seperti semula. Dia memanglah iblis."
"Tolong, jangan, kumohon, mmm, mmm."
Rintihan Zaltana sudah hilang sepenuhnya, yang ada hanyalah suara dari kereta kuda yang telah dia naiki dan berjalan keluar dari hutan itu.
Dengan tubuh yang tak bisa berhenti gemetar, Zaltana melihat kiri dan kanan. Di luar kereta, sama sekali tak terlihat apa-apa. Malam yang kala itu terlihat sangat gelap, tanpa adanya cahaya bulan sedikitpun, membuat Zaltana merasa ketakutan.
"Zaltana, karena kau sama sekali tak mau menjadi istriku, maka aku terpaksa menjualmu ke tempat penjualan manusia. Ini adalah kebaikan terakhirku yang hisa kulakukan padamu, daripada kau dibunuh oleh warga desa, hahaha."
[Kurang ajar. Kebaikan terakhir? Omong kosong, kau hanya ingin mengambil keuntungan dariku. Sial, sial, sial!]
Zaltana tak henti-hentinya mengumpat pria tua yang jahat itu. Sampai akhirnya, tubuh Zaltana tiba-tiba saja merasakan hawa panas.
[Huh? Kenapa aku...menjadi....]
Zaltana kemudian menutup matanya karena mengantuk.
***
Sesampainya di perbatasan, pria tua itu kemudian memberikan Zaltana pada seorang pria dengan jubah hitam dan mendapatkan uang bayaran setelahnya.
"Terima kasih banyak, Tuan. Wanita ini adalah vampir yang katanya sudah punah itu. Jadi, saya jamin Tuan tidak akan kecewa setelah memilikinya," ujarnya sambil tersenyum melihat koin emas hasil menjual Zaltana.
Setelah dijual, Zaltana pun akhirnya dibawa ke istana oleh pria berjubah hitam itu.
"Bangun!" perintah seorang Ibu dengan wajah yang sama sekali tak pernah Zaltana lihat.
Zaltana yang kala itu baru saja membuka kelopak matanya, merasa asing dengan suasana tempat baru yang dia tempati kala itu.
"Ini, di mana?" tanya Zaltana sambil melihat ke kiri dan kanan.
"Sudahlah, kamu jangan banyak tanya. Sekarang, kamu harus menggunakan baju ini, ingat hanya ada satu aturan di tempat ini. JANGAN PERNAH DEKATI PANGERAN! Jika kamu sudah paham, maka pakailah. Ingat seluruh inci dari kulit tubuhmu sama sekali tak boleh terlihat," jelasnya.
Zaltana yang kala itu sama sekali belum paham dengan situasi yang tengah dia hadapi, kemudian mengganti pakaian yang diberikan padanya dengan hati-hati.
Ting. Ting. Ting.
Suara bel pun berbunyi, itu adalah tanda agar semua maid harus berkumpul di tempat mereka masing-masing.
Zaltana yang kala itu masih orang baru, kemudian mengikuti orang lainnya dan pergi menuju ke aula utama kerajaan.
"Hey, kamu. Kamu jangan pergi ke sana, aku ada sebuah tugas untukmu!"
Setelah itu, Zaltana pun diperintahkan untuk membersihkan ruang baca Pangeran.
Dia mengingat kembali apa yang dikatakan oleh maid lainnya itu padanya, bahwa dia jangan sampai mendekati Pangeran.
Zaltana akhirnya pergi ke ruang baca, seperti yang diperintahkan kepadanya.
Sesampainya di sana, dia merapikan seluruh barang yang terlihat berantakan di matanya.
Setelah selesai bersih-bersih, Zaltana akhirnya melihat sekelilingnya. Apalagi dengan rasa penasaran wanita itu, dia sering tertangkap mengendap-endap di ruang kerja Raja untu mencari ayahnya.
"Wuahh, tempat ini benar-benar."
Tiba-tiba, mata wanita itu kemudian terpaku pada sebuah ruangan yang ada di sebelah ruangan baca. Ruangan yang hanya terpisah oleh tabir itu, memancing keingintahuan Zaltana untuk melihatnya.
Zaltana perlahan berjalan memasuki ruangan itu dengan hati-hati.
Betapa terkejutnya dia, saat dia melihat isi dari ruangan tersebut.
Tempat yang bagaikan surga bunga. Berbagai bunga, tumbuh dengan subur dan tertata rapih di sana.
"Oh astaga, ada apa ini? Baru sekali ini aku melihat tempat yang indah seperti ini," ujarnya dengan wajah yang merona karena senang.
"Huh?"
Zaltana kemudian melihat seorang pria tampan dengan rambut silver, sedang tertidur dengan baju yang terbuka.
Tubuh yang indah, wajah yang tampan, dan kulit yang sepucat es membuat Zaltana tak bisa menahan rasa untuk menyentuhnya.
Tiba-tiba, Zaltana merasakan panas seperti saat pertama dia dibawa dan dijual.
[Ya ampun, ada apa dengan tubuhku? Kenapa rasanya sangat panas, aku harus...]
Belum sempat Zaltana melangkahkan kakinya dari tempat itu, pria yang tadinya tertidur tanpa suara itu, kemudian bangun dengan tatapan membunuhnya.
"Siapa, kau?" tanya pria itu dengan matanya yang memancarkan cahaya merah semerah darah.
"A-aku.." Zaltana sama sekali tak bisa melanjutkan kata-katanya. Seakan-akan, ada sebuah kekuatan yang menahan dirinya.
"Kurang ajar. Kau wanita!"
Pria itu kemudian mengambil pedangnya dengan cepat dan mengacungkannya pada Zaltana.
Srat!
Cadar Zaltana terlepas sepenuhnya dengan tetesan darah yang keluar dari leher akibat tebasan pedang pria itu.
Mata Zaltana terbelalak, perlahan tubuhnya yang semakin panas itu, kemudian mulai kehilangan kekuatannya.
Pria itu pun berjalan mendekati Zaltana. Perlahan semakin dekat, semakin dekat.
Sekarang dia sudah benar-benar berada di depan Zaltana dengan ekspresi dingin dan bengisnya.
"Sniff, sniff, kau, aroma ini?"
Pria itu kemudian menarik Zaltana dengan tangannya. Tubuh pria itu juga mulai merasakan efek yang sama seperti Zaltana.
Darah yang mengalir dari leher yang hampir kembali tertutup seperti semua itu kemudian dicicipi pria itu dengan nikmat.
Sllurp!
Tak lama kemudian pria itu pun menancapkan taringnya di leher jenjang Zaltana dan meneguk darahnya.
Glug. Glug. Glug.
[Sakit,]
Pandangan Zaltana kemudian mulai kabur seiring dengan tegukan demi tegukan pria yang ada di hadapannya itu.
"Kau, adalah turunan wanita itu," ucap pria itu dengan mulut yang dipenuhi darah Zaltana.