Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Memori Seorang Santri

Koko_Twin
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8k
Views
Synopsis
Umurnya bahkan belum genap 10 tahun ketika ayahnya menyuruh Radif untuk masuk ke dalam pesantren. Anak kecil itu harus melewati suka dan dukanya, bergaul dengan kakak-kakak yang lebih tua darinya. Perjalanan Radif banyak menimbulkan air mata, bisakah ia melewati hari-harinya dengan tenang? Sementara di rumah ia amat manja dengan kedua orang tuanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Keputusan Kokoh

Selamat membaca!

"Tapi, apa tidak bisa sekolahnya diselesaikan dulu?" 

Ini sudah kesekian kali aku mendengar ibuku berbicara seperti itu, membujuk ayahku yang keras kepala agar kembali mempertimbangkan pendirian yang ditetapkannya. 

Tentu saja hal itu tidak akan berhasil, bahkan ibuku tidak dapat mengubah keputusan ayahku. Jika sudah A maka A tidak akan berpindah ke B. 

Ketika ibuku sibuk membujuk ayah, aku sendiri sibuk menatap langit sembari menghembuskan asap ke udara. Tidak... tidak... aku tidak merokok. Hanya meniup serbuk dari minuman harga 500 rupiah dengan pipet, membentuk asap seolah-olah sedang merokok. 

Duduk dengan menjulurkan kaki sebelah kiri sementara kaki sebelah kanan ditekuk dengan gaya sok kejagoan, sementara baju sekolah berwarna putih yang kukenakan lengannya sedikit ku gulung ke atas, menampilkan lengan tanganku yang kurus. 

"Selagi masih gratis ini kesempatan kita untuk menyekolahkannya." Ayahku berucap memberi penjelasan untuk kesekian kalinya.

Aku mencabut ilalang yang sedari tadi bergoyang-goyang dengan gerakan mengganggu, membuang sedikit daun-daunnya lalu menggigit sedikit batangnya. Menggoyang-goyangkan dengan gerakan kecil di mulutku, gayaku saat ini persis seperti preman-preman pasar kampungan.

"Tidak bisakah mereka menunggu satu tahun lagi? Atau setidaknya beberapa bulan menjelang kenaikan kelas. Sebentar lagi Radif naik kelas 6, sayang sekali jika harus pindah kesana."

Ibuku masih berusaha. Wajar saja ibuku berusaha membujuk ayah, aku masih duduk dikelas 5 sd dan ayahku ingin memasukkanku ke sebuah pesantren yang kala itu menerima siswa-siswa miskin. Aku bisa bersekolah secara gratis disana.

Sebenarnya bukan itu alasan utama ayahku kokoh untuk tetap memasukkanku ke sana, alasan kedua ayahku sangat bersemangat adalah karena sekolah gratis itu sebuah pesantren. 

Keluargaku sendiri sangat ketat dan taat dalam beragama dan menjalankannya, semua kakak-kakakku sekolah di pesantren. Tetapi bukan itu inti dari semua kisah yang kuceritakan saat ini, kakak-kakakku membenci ayahku.

Kala itu, aku tidak tahu apa yang membuat mereka membenci ayahku. Aku sendiri turut membenci ayah kandungku sendiri, mengikuti kakak-kakakku. Wajar karena aku terlahir bungsu dan makhluk paling kecil dirumah itu, makhluk yang selalu mengikuti perbuatan orang-orang sekitar yang lebih tua. 

"Kita yang beruntung karena mereka memberi gratisan untuk seluruhnya, tempat tinggal dan biaya makan. Kita yang seharusnya sadar diri, mengapa menyuruh mereka menunggu!." 

Nada ayahku mulai naik satu oktaf, pertanda pria bermata coklat dengan jenggot sepanjang jari telunjuk itu sudah mulai marah. Akhirnya yang bisa dilakukan ibuku hanya menghela napas. 

Aku sendiri? Memilih kembali menghirup serbuk minuman rasa-rasa seharga 500 rupiah ke udara, memilih tidak perduli dengan yang terjadi.

Meski di dalam hati aku merasa gelisah tetapi tidak mampu membantah omongan Ayah. Lebih dari apapun, aku mencintai ayahku di dalam sudut hatiku. Menghormati setiap keputusannya atas diriku karena entah mengapa aku pikir apa yang ditentukannya untuk kebaikan para anak-anaknya. 

Tetapi aku lebih tidak mempunyai nyali ketika mengatakan aku mencintai ayahku di hadapan kakak-kakakku, mereka akan mengejekku dan membulyku. 

"Jangan nunggu sampai kenaikan kelas, semua itu sama saja! Disana pun dia sekolah bukan menganggur."

Nada ayahku masih berada di satu oktaf yang sama. "Dari pada menyibukkan diri membujukku sebaiknya siapkan keperluannya untuk masuk pesantren minggu depan!"

Tok! Tok! Tok!

Ketuk palu tiga kali, keputusan ini tidak bisa lagi diganggu gugat. 

Ibuku mengehela napas, matanya menatapku dengan sendu. Tidak, aku tidak melihat ibuku karena aku membelakangi mereka berdua. 

Tepatnya aku berada di teras terbuka yang langsung bisa melihat langit, sementara kedua orangtuaku berada di ruang tamu dengan keadaan pintu yang terbuka lebar. Mengakses mereka agar dapat melihatku lalu membicarakan tentang kelanjutan sekolahku. 

Tatapan sendu ibu yang sedang memperhatikan, aku bisa merasakannya dari punggungku yang memanas. Aku sudah hapal gerak-gerik ibuku, bahkan aku tau sebentar lagi ia akan menyuruhku masuk untuk mengganti baju putih sekolahku yang sudah bewarna kuning. 

"Radif, masuk dulu ganti baju. Setelah itu makan siang lalu tidur." 

Lihat? Baru saja aku mengatakannya sudah disuruh masuk. Dengan malas-malasan aku bangkit dari dudukku, berjalan dengan gaya lemas lalu berhenti di meja makan. Sebenarnya tidak bisa disebut meja makan, hanya meja kayu biasa yang digunakan untuk tempat sayur-mayur. Ayahku tidak sanggup membeli meja makan, seandainya sanggup ia memang tidak akan membelinya.

Bukannya menuruti kata ibuku agar membuka baju lalu makan, aku malah berdiri lama di depan lauk dan sayur-mayur yang terhidang. Cukup lama aku berdiri meneliti lauk-pauk yang terhidang, hingga kuputuskan mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi. Mencuci tangan hanya dengan air dengan sentuhan yang singkat tanpa sabun, tidak terpikir olehku bahwa kuman-kuman yang berada di tanganku masih menempel.

Pasti ibuku akan merecokiku nanti, tetapi bukan itu intinya. Inti yang sebenarnya adalah, aku tidak tahu apa itu pesantren dan tempat apa itu. Meski semua kakak-kakakku berada di pesantren aku tetap tidak tahu itu tempat apa. Sejak keputusan ayah membawaku ke pesantren terdengar oleh bibiku, ia memberikan 5 buah buku tulis kepadaku.

"Ini buku tulisnya, mana tau di pesantren nulis-nulis."

Kala itu aku berpikir, bahwa di pesantren hanya tempat makan dan menginap. Tempat anak-anak nakal sepertiku menetap dengan jangka waktu yang panjang. Aku tidak berpikir bahwa pesantren tempat untuk belajar. 

Ibuku sendiri, meski semua kakak-kakakku masuk ke pesantren, beliau malah tidak membelikanku buku tulis. Menganggap 5 buah buku tulis cukup untuk kehidupanku disana. Hanya terfokus pada bekal makananku di sana, seluruh isi tasku makanan yang mendominasi. Takut badan kurusku menjadi tengkorak ketika berada di sana.

"Radif! Tidak dengar ibu bilang apa? Ganti bajunya dulu lalu makan, bukan makan dulu baru ganti baju!"

Aku hanya nyengir, menampilkan wajah tengil khas anak kecil yang nakal. 

"Uda bolak-balik dibilangin nggak ngerti-ngerti juga! Itu tangannya kotor habis mengang sepatu, di sekolah pun tadi main guli di pasir-pasiran. Kumannya nempel semua malah makan pula!" 

Repetan ibuku akan memanjang teman-teman. 

"Uda di cuci itu tangannya!?" 

Tanyanya dari kejauhan, meski jauh suara ibuku terasa dekat. Berada tepat di samping telingaku. 

"Sudah," kujawab dengan singkat. 

"Padahal uda bolak-balik di bilangin, ganti baju dulu baru makan. Nggak bisa juga, kayak mana nanti kalau di pesantren banyak kuman langsung makan. Kuman semua ... Bla ... Bla ... Bla ..." 

Aku tidak dapat mendengar ucapan ibuku lagi, panjang sepanjang kereta api yang akan kunaiki minggu depan ketika akhirnya aku pergi ke pesantren. Sebagai seorang anak yang baik, apa lagi yang bisa kulakukan selain menurut perkataan orangtuaku. Pada akhirnya, semua kenangan tertinggal di belakang badan, aku tidak lagi memiliki kesempatan untuk membawakan upacara bendera pada hari seninnya. 

Bersambung...