"Ibu tenang saja, Bapak nggak akan biarin tukang kawin itu membawa anak kita." Ucap Pak Ridwan sambil mengepalkan kedua tangannya.
Pak Ridwan sangat marah, karena dari dulu dia nggak pernah setuju jika anaknya yang akan dijadikan jaminan, tapi Pak Ridwan tidak ada pilihan lain, sedangkan waktu itu dia sangat membutuhkan uang untuk biaya Anisa di rumah sakit.
Pak Ridwan berjalan ke dapur untuk menemui Anisa, dan Pak Ridwan sangat terkejut saat melihat anaknya duduk di lantai dapur sambil memeluk kedua lututnya dengan sangat ketakutan.
"Kamu kenapa, Nak?" Tanya Pak Ridwan sambil memeluk tubuh kecil Anisa.
"Anisa takut, Pak. Anisa nggak mau jadi istri ketiga." Jawab Anisa dengan suara yang sedikit bergetar.
Pak Ridwan semakin mengeratkan pelukannya pada Anisa dan mengelus pelan punggung Anisa, berharap agar Anisa bisa lebih tenang.
Tak akan ada seorang pun yang mau merelakan anaknya dinikahi sama orang yang tidak punya rasa tanggung jawab.
Apalagi caranya menikahi dengan memaksa karena hutang yang tak bisa terbayarkan.
Pak Ridwan sangat menyesal karena sudah berhubungan dengan lintah darat seperti Pak Warno.
Sawah sepetak dan surat rumah sudah diambil alih oleh Pak Warno, namun hutangnya tak kunjung lunas.
Sekarang Pak Ridwan sama sekali tak mempunyai apa - apa lagi, dia hanya punya anak gadis satu - satunya yang sangat disayanginya.
Anak gadisnya itu bisa melunasi hutang - hutangnya jika dia mau menerima lamaran dari Pak Warno, tapi Pak Ridwan tak mungkin melakukan hal itu.
Dia tidak akan membiarkan anaknya hidup menderita, karena dari dulu yang diinginkan Pak Ridwan adalah membahagiakan keluarganya terutama Anak dan Istrinya.
"Bapak tidak akan membiarkan bandot tua itu membawamu pergi dari Bapak." Ucap Pak Ridwan yang membuat Anisa bisa sedikit bernafas lega.
Anisa pikir Bapaknya akan membiarkan Anisa menjadi Istri juragan buah itu demi melunasi hutang - hutangnya, tapi ternyata apa yang ada dalam pikiran Anisa itu salah.
Anisa langsung memeluk erat Bapaknya dan mengucapkan terimakasih.
Setelah Anisa sedikit tenang, dia kembali melanjutkan kegiatannya untuk membuat kue, karena sebentar lagi kue akan diambil oleh pemiliknya.
Jam terus berputar hingga saat ini ternyata sudah jam 2 siang lebih seperempat.
Kue pesanan orang lamaran akan diambil di jam 3, tapi Anisa masih belum menyelesaikan semua kue pesanan itu.
"Bu, bagaimana ini? Banyak pesanan kue yang masih belum Anisa buat." Rengek Anisa pada Ibunya.
Gara - gara juragan buah itu, Anisa jadi kehilangan banyak waktu untuk membuat kue - kue pesanan orang.
Masih ada beberapa macam kue yang masih belum dia buat, sedangkan waktu terus saja berjalan.
Tapi, bukan Anisa namanya jika dia menyerah, Anisa tetap harus menyelesaikan semua pesanan kue di jam 3 sore.
Anisa nggak mau jika nanti pelanggannya akan kecewa, gara - gara pesanan kue yang tak kunjung selesai.
Untung saja hari ini Ibu Dewi tidak ada panggilan untuk menjadi buruh tani, jadi Ibu Dewi bisa membantu Anisa untuk membuat kue - kue yang adonannya sempat tertunda gara - gara tamu yang tak diundang tadi.
Tepat di jam 3 sore, semua pesanan kue pun jadi.
Akhirnya Anisa bisa bernafas dengan lega, tinggal menunggu yang pesan untuk datang menjemput.
Awalnya Anisa menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi ditolak sama pemesan, karena pesanan kue terlalu banyak dan juga buat acara yang sangat penting, sedangkan Anisa hanya mempunyai sebuah motor untuk mengantar kue - kue tersebut. Si pemesan takut jika nanti malah kuenya kenapa - kenapa dijalan.
Disaat Anisa sedang bersantai di atas sofa ruang tamu, Anisa mendengar suara pintu yang diketuk.
Anisa berpikir kalau yang mengetuk pintu adalah orang yang memesan kue - kuenya.
Tapi saat dia hampir membuka pintu, tiba - tiba dia merasa sangat ketakutan.
Dia takut jika yang datang adalah juragan buah
Bukannya membuka pintunya, Anisa justru terduduk lesu dipinggir sofa nya.
Tok tok tok.
Pintu masih terus diketuk, karena tak ada satu pun orang yang membukanya.
"Loh, Nak. Itu ada tamu, kenapa nggak dibukain pintu?" Tanya Ibu Dewi yang terlihat sangat heran saat melihat Anisa yang sepertinya sangat ketakutan.
Ibu Dewi berjalan kearah pintu untuk membukanya.
Ceklek.
"Kenapa lama sekali dibukanya, Bu? Saya sudah terlambat ini, karena rombongan lamaran sudah dijalan." Protes pemesan kue yang bernama Bu Sri.
Bu Sri memesan banyak kue untuk lamaran anak gadisnya yang sebentar lagi akan menikah.
Karena di desa Anisa masih sangat kental dengan adat wanita yang harus melamar duluan.
Jika tidak, entahlah apa yang akan terjadi.
Orang di desa Anisa juga nggak sedikit yang melanggar hal itu, banyak juga yang minta dilamar karena gengsi, katanya nggak mau mengikuti jaman kuno yang merendahkan wanita.
Padahal wanita yang melamar duluan itu bukanlah hal yang rendah, hanya saja memang agak sedikit aneh jika terdengar ditelinga.
"Maaf ya, Bu. Tadi saya dan anak saya lagi berkutat di dapur, jadi nggak kedengaran waktu Ibu mengetik pintu. Sekali lagi saya minta maaf." Ucap Bu Dewi saat melihat Bu Sri yang terlihat sangat marah.
Bagaimana dia tidak marah, acara lamaran anak gadisnya bisa gagal jika tidak ada seserahan yang mengantar lamarannya.
"Baiklah, cepetan mana kuenya." Ucap Bu Sri sambil terlihat sangat terburu - buru.
Anisa dan Bu Dewi segera mengambil semua kue - kue yang tadi baru dibuatnya, dan memberikannya pada Bu Sri.
Bu Sri langsung pamit pulang setelah menerima kue - kue pesanannya, karena uang bayaran kue tersebut semuanya sudah dibayar dimuka.
Anisa bisa bernafas lega sekarang, dan dia juga bisa beristirahat dengan tenang tanpa ada yang mengganggunya.
Setelah Anisa bersantai di atas sofa, tiba - tiba Pak Ridwan sudah pulang dan langsung masuk kedalam rumah dengan wajah yang terlihat sangat murung.
Anisa sangat bingung, kenapa Bapaknya terlihat murung dan tak bersemangat sama sekali.
Anisa mengikuti langkah kaki Bapaknya masuk kedalam rumah, dan ternyata Pak Ridwan menemui Istrinya yang sedang memasak makan malam di dapur.
"Bu, Bapak ingin bicara sebentar." Panggil Pak Ridwan pada Bu Dewi, membuat Bu Dewi kaget karena Pak Ridwan tiba - tiba berada dibelakangnya.
Anisa menguping pembicaraan Bapak dan Ibunya dibalik tembok dapur.
Bu Dewi langsung mematikan kompornya dan memutar badan untuk menghadap pada Suaminya.
"Pak Warno akan menyita rumah ini jika kita tidak segera menikahkan Anisa dengannya." Ucap Pak Ridwan dengan wajah menunduk.
Dia merasa sudah gagal menjadi Ayah jika Anisa sampai menjadi Istri juragan buah itu.