Disinilah ia sekarang, duduk di bangku taman dengan memegang sebuah kertas yang seingatnya sudah ia buang. Kertas yang bertuliskan 'datanglah ke hutan pinggir kota dan temui lagi nenek' ditemukan Elora dalam sakunya. Bulu kuduknya berdiri mengingat betapa seramnya ketika nenek itu menghilang.
"Hiii aneh. perasaan tadi sudah kubuang," ucap Elora bergidik ngeri.
"Eh, tapi kira-kira apa maksud dari nenek tadi?"
Elora tiba-tiba memikirkan ucapan sang nenek yang membingungkan dan terus memandangi kertas yang ada di genggamanya.
"Apa…. Jangan-jangan ini ada hubunganya dengan mimpi yang kualami selama ini?" tanya Elora entah pada siapa.
"Apa yang dikatakan anak kecil dimimpiku itu sungguhan?"
Elora mengingat-ingat mimpinya. Didalam mimpinya itu ia selalu mendapatkan pesan dari Alessa-Si anak kecil dalam mimpinya bahwa dia harus membalaskan dendam anak kecil itu pada si pembunuh ayahnya dan katanya itu adalah tujuanya lahir.
"Ah, tapi mana mungkin di jaman segini masih ada tentang hal-hal seperti itu," ujar Elora menepis pikirannya.
Ia terus kepikiran dengan keanehan ini, mimpi yang terus menerus seperti teror selama 18 tahun, nenek yang misterius yang tiba-tiba menghilang dan kertas yang sudah ia buang namun kembali lagi dan ia disuruh untuk datang ke hutan pinggir kota untuk menemui nenek misterius tadi. Ketika otaknya mencerna hal yang mustahil disitu ada hatinya yang terus penasaran akan hal ini.
"Ah tidak-tidak. Hentikan Elora, kamu jangan terjebak. Mungkin saja ini jebakan agar kamu diculik dan dimintai uang. Apalagi disuruh ke hutan kan? Ngapain juga ke hutan. Dan tentang nenek misterius tadi, mungkin itu hanya sulap. Yah itu hanya sulap," ucapnya meyakinkan diri sendiri.
Elora terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang terjadi tadi hanyalah sebuah sulap untuk mengelabuinya untuk diculik. Namun tetap hatinya merasa penasaran. Tanpa sadar ia terus kepikiran dengan mimpi-mimpinya dan mencoba menggabungkan dengan omongan nenek itu. Ia tidak sadar bahwa langit di atasnya berubah semakin gelap, dan kilatan cahaya dari petir sudah menunjukkan wujudnya.
ZRASH
Hujan mengguyur bumi dengan sangat deras seakan-akan memberi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan gadis tersebut. Dress yang dipakainya seketika itu basah kuyup. Namun tak membuat dirinya untuk segera berteduh, tubuhnya seakan ingin meredamkan rasa panas yang mengalir.
"Apa benar di kehidupanku dulu, aku adalah alessa?"
***
Hujan masih deras mengguyur tubuh Elora yang otaknya sedang berpikir keras.
"Mikir apa sih aku ini. Udahlah pulang aja," batin Elora berkata sembari mengangkat tubuhnya berdiri.
"Yah… basah," ucap Elora saat melihat kertas yang ditelapak tangannya basah.
Ia tidak menyadari jika kertas itu dari tadi di tanganya. Elora merasa perasaan yang tak bisa diartikan. Ia menyesal karena tidak sadar kertas yang mungkin ada gunanya itu kehujanan. Karna menurutnya tulisan kertas itu sudah tidak bisa dibaca karena sudah basah kuyup, akhirnya ia membuangnya dan bergegas pulang ke rumah.
"Rumah mewah tadi sangat dingin, yah inilah rumahku tidak ada kehangatan disini. Hhhh bikin aku malas saja berada dirumah," ucap batin Elora saat sampai di depan rumahnya.
Dalam hatinya ia merindukan sosok ayah dan ibunya dulu saat masih harmonis. Tapi ia sadar tidak bisa membuat ayah dan ibunya seperti itu lagi. Anak hanyalah korban yang harus menyaksikan kedua orangtuanya saling menusukkan duri kepada satu sama lain. Dan hal itu sudah paten.
Pintu megah, dekorasi rumah yang elegan menjadi benteng untuk menutupi semua energi gelap yang tercipta di keluarga Elora. Tiada pembantu dirumah Elora karena takut akan mengetahui aib keluarganya.
"Hwahhh. Sepi lagi," ucapnya saat melihat keadaan rumah tanpa seorang pun.
Ia segera masuk ke kamar untuk mandi dan ganti baju. Ekspresinya menunjukkan tidak ketika tau bahwa orang tuanya sudah tidak ada dirumah. Ia tau jika ayah dan bundanya pasti sedang bersenang-senang dengan selingkuhanya masing-masing.
Setelah selesai ganti baju ia segera turun ke dapur untuk merebus mie instan. Perutnya belum terisi sama sekali dari pagi.
Sementara itu di lain sisi, kinaya- ibu dari Elora kini sedang berada di kantor. Ia adalah pemilik perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Sejak lahir dirinya selalu diajarkan untukn menjadi wanita yang bisa mandiri mengelola bisnis dan perusahaan ayahnya dan semuanya harus ditentukan oleh ayahnya. Bahkan ia menikah dengan Vandigo- ayah dari Elora karena perjodohan. Dulu vandigo dan juga kinaya mau untuk berusaha mencintai, namun sejak Elora berumur 7 tahun, seseorang yang ia cintai kembali ke kehidupanya. dan inilah dia sekarang, seorang yang menjadi sekretarisnya ialah cintanya di masa lalu.
Ruangan khusus yang bertuliskan 'Pimpinan Utama' saat ini sangat terasa panas. Terlihat dua insan yang saling mencintai itu sedang bermesraan seakan-akan dunia ini hanya milik mereka berdua. Kinaya sangat terbuai oleh perasaanya pada cinta lamanya itu, ia rela mengorbankan perasaan anaknya sendiri demi lelaki tersebut. Sedangkan Vandigo juga asyik mencari wanita malam, sifatnya yang playboy masih bertahan sampai sekarang. Dan disaat mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing ada Elora yang sedang kesepian di rumah besar seperti istana.
Elora sedang sibuk menyalakan saklar-saklar lampu karena sudah sore hari.
"Hahhh."
Elora menghela nafas ketika selesai menyalakan saklar lampu, ada sekitar 20 saklar lampu yang ia nyalakan. Dan itu membuatnya sangat kelelahan.
"Pengen rasanya punya pelayan, masa harus aku yang selalu nyalain saklar. Kalau semisal aku nggak pulang sudah seperti rumah hantu ini rumah," ucapnya sambil membayangkan akibat jika dia tidak ada di rumah.
"Sekarang waktunya cuci baju," gumam Elora.
Ia melangkahkan kakinya kedalam kamar guna mengambil pakaian-pakaian kotor yang akan ia cuci. Dan setelah itu dipindahkan ke mesin cuci satu persatu sambil menghitung jumlah baju yang akan dicuci.
"Satu…dua…tiga…empat…lima…enam…tuj-"
Gerakanya terhenti ketika melihat dress hitam yang ia pakai tadi.
"Sepertinya ada uang sisa di saku," ucapnya sambil merogoh saku dress hitam itu.
Tanganya terhenti ketika memegang sebuah lipatan yang tidak terasa seperti uang. Ia mengeluarkan lipatan itu.
"Hah!"
Sontak Elora terkejut ketika melihat apa lipatan tersebut. Ternyata kertas yang ia buang karena basah tadi kembali lagi ke sakunya dan anehnya kertas itu sama sekali tidak basah bahkan masih di dalam saku dress yang basah.
Elora menatapnya dengan tidak percaya, mulutnya menganga karena hal ini sulit dicerna oleh otak. Sudah dua kali dia membuang kertas tersebut namun masih saja ada di saku dressnya.
"Gila… benar-benar mustahil" ujarnya dengan menggeleng-gelengkan kepala.
Ia membuka perlahan kertas tersebut dan benar dugaanya. Kertas tersebut adalah kertas yang sama yang bertuliskan 'datanglah ke hutan pinggir kota dan temui lagi nenek.'
Elora benar-benar tidak bisa mencerna kejadian ini lagi. Ia langsung pergi ke kamarnya membawa kertas tersebut dan tidak jadi untuk cuci baju. Di dalam kamarnya ia terus memandangi kertas itu dan ia bimbang harus menuruti perintah yang tertulis di kertas itu atau tidak.
"Arrgh! siapa sih nenek itu? kenapa dia sengaja ninggalin kertas ini. Bikin bimbang saja."
Hidup dan mati Elora sekarang ada di dalam kertas itu. jika ia tidak pergi setiap hari akan diteror oleh kertas tersebut jika ia pergi, ia takut kalau ada penjahat yang menjadi dalang atas kejadian seperti ini.
Entah apa yang menjadi keputusanya, pergi atau tidak itu yang menjadi pertimbanganya saat ini.