Pada sebuah rumah di Alban yang berada di titik terjauh. Sosok elf misterius itu tengah berdiri menatap seseorang yang terduduk santai di kursi mewah.
"Maaf, Tuan. Penjagaan di rumah manusia itu sangat ketat, saya tak bisa mengambil celah."
Suara elf dengan pakaian serba hitam itu terdengar kecewa. Matanya yang bermanik biru terfokus pada sosok elf berambut pirang di hadapannya. Sejenak mereka seperti beradu pandang tanpa mengeluarkan sedikitpun aura.
Elf yang duduk mengenakan pakaian rapi itu mulai kesal. Dia bangkit dan memukulkan tangan kanannya ke meja.
"Ma-maafkan aku, Tuan. Aku akan mencoba mencari celah lagi."
Setelah memberikan hormat, elf yang wajahnya tertutup dengan kain hitam itu tiba-tiba menghilang dan muncul lagi di ambang pintu ruangan. Gerakannya sangat cepat, seperti melakukan teleportasi pendek.
Meja itu dipukul sekali lagi dan kali ini sosok elf yang penuh dengan wibawa itu berhasil meremukkan meja di hadapannya.
"Ini lebih sulit dari yang kupikirkan," gumamnya sambil merebahkan tubuh ke kursi. Sosok elf yang tadi melapor padanya telah pergi dari ambang pintu.
Perlahan tubuhnya kembali diselimuti hawa dingin. Sebuah jendela di ruangan tersebut masih terbuka. Dia beranjak mendekatinya, tapi bukan untuk menutup jendela itu.
Angin berhembus menerpa wajah datarnya. Dia menatap langit malam dengan penuh harapan. Bagaimanapun caranya, dia harus menyingkirkan sosok yang telah mengganggu ketenangan Alban.
—
Waktu berlalu cepat. Fajar di ufuk timur menyorot dengan cahaya hangatnya. Menyusup di antara daun dan ranting pohon lalu semakin tinggi hingga menerangi Alban. Para penduduk mulai beraktivitas seperti biasanya. Disisi lain, Nevar dan tim pengintai yang berjaga di rumah Park Sun-Hyung terlihat tengah tidur pulas beralaskan tikar di depan beranda. Mereka sangat lelah.
Tadi setelah matahari mulai terbit, Gael dengan rasa iba menawarkan diri untuk menggantikan tugas mereka. Setidaknya sebagai balas budi karena bawahan Nevar semalam mau mengolah rusa yang dia bawa.
Saat ini Gael terduduk lesu memunggungi arah matahari terbit. Dia merasa sangat nyaman. Tubuhnya yang lelah mendapat kehangatan alami. Rasa kantuk memang sudah menyelimuti Gael, tapi dia masih bertahan.
Beberapa saat lalu, Reigan menghubunginya dengan sihir komunikasi. Salah satu tetua Alban itu berkata akan segera ke rumah Park Sun-Hyung.
"Ya, ini memang cukup melelahkan. Mungkin aku harus memburu sesuatu yang membangkitkan stamina," gumam Gael. Dia meluruskan kakinya, membiarkan tubuhnya sedikit terperosok di atas atap yang miring ke bawah.
Gael terlentang begitu santai menatap langit pagi dengan kedua tangan bertumpuk di belakang sebagai bantalan. Dia tersentak ketika mendengar suara Reigan dan Park Sun-Hyung, lalu suara Nara dan Victor juga mulai terdengar. Mereka sepertinya sedang berada di ruang tamu.
Seperti terbebas dari tugasnya, Gael menghembuskan nafas lega. Perlahan dia terlelap begitu damai.
—
"Maaf ya, Nara. Kami jadi merepotkanmu lagi," ucap Reigan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar beranda rumah. Terlihat berantakan, Nevar dan beberapa bawahannya tertidur pulas. Tungku api unggun, tembikar besar yang berisi air rebusan teh dan sisa-sisa daging rusa yang diletakan begitu saja di dekat tungku. Sungguh pemandangan yang cukup membuat mata risih.
Seperti biasa, Nara akan membereskan itu semua. Dia tak merasa keberatan sama sekali, justru dia senang bisa lebih berguna. Tapi tetap saja, Reigan semakin hari semakin tak enak pada gadis elf itu. Apalagi sekarang dia tahu jika Nara adalah keturunan murni. Bukankah ini sangat keterlaluan? Tidak, peran yang selama ini Nara lakukan adalah hal yang sempurna untuk menyembunyikan jati dirinya. Selagi dia terlihat seperti pelayan, hal itu tak akan menarik kecurigaan. Setidaknya untuk saat ini.
"Tuan Park, kau siap?" Reigan memasang wajah penuh harapan. Park Sun-Hyung mengangguk mantap, dia sangat antusias dengan hal ini. Di sampingnya, Victor juga tampak tak sabar. Vampir itu membawa dua keranjang besar berisi perbekalan mereka.
"Kami berangkat dulu ya, Nara." Park Sun-Hyung berpaling sesaat sebelum melangkah menyusul Reigan dan Victor yang sudah berjalan lebih dulu.
"Sampai jumpa nanti sore."
Senyum Park Sun-Hyung membuat Nara salah tingkah sendiri. Gadis elf itu hanya mampu melambaikan tangannya sesaat.
—
Setelah berjalan cukup jauh. Akhirnya mereka bertiga sampai di depan sebuah altar berbentuk lingkaran yang memiliki banyak simbol-simbol kuno. Itu adalah altar teleportasi yang menghubungkan Alban dengan beberapa wilayah penghuni Hutan Nuv lainnya.
Tidak sembarangan orang yang bisa menggunakan altar tersebut. Seperti Reigan, dia adalah salah satu orang di Alban yang bisa mengaktifkan sihir pada altar tersebut. Teleportasi adalah hal yang sangat mengagumkan, penemuan sihir ini juga berkat peninggalan para pendahulu kaum elf. Setelah peperangan panjang 18 tahun lalu, Reigan menciptakan hubungan baik dengan beberapa petinggi ras lain di Hutan Nuv. Mereka bersepakat membangun kembali puing-puing kehidupan ras masing-masing. Tentu saja dengan bantuan Reigan yang sangat berpengetahuan. Altar teleportasi adalah salah satu mahakaryanya yang sempat membuat heboh para petinggi kerajaan di luar sana.
Hal itu juga yang membuat para kaum manusia di luar Hutan Nuv jadi tertarik pada sosok Reigan. Mereka selalu mencari cela informasi tentang pengetahuan pengetahuan sihir para elf. Tapi sampai saat ini Reigan merasa tak kehilangan apapun, walau beberapa isi dari perkamen kuno telah berhasil bocor ke salah satu kerajaan. Bagi Reigan itu hanya sebuah hal kecil. Selagi para manusia di luar Hutan Nuv tak membuat kegaduhan, maka Reigan hanya akan diam dan memperhatikan melalui koneksinya yang luas.
Tiba-tiba Victor terkekeh.
"Rasanya seperti nostalgia bukan, hahaha …."
Park Sun-Hyung yang tak mengerti apa-apa hanya melirik Victor dengan perasaan ngeri. Sudah terlalu sering dia terhenyak karena tawa vampir barbar itu, tapi Park Sun-Hyung masih merasa bergidik setiap mendengarnya.
"Jangan buang waktu, kita punya jadwal padat. Tuan Park, ayo!" Reigan berjalan maju, memasuki lingkaran altar tersebut. Masih dengan keraguan, Park Sun-Hyung menyusul Victor dan Reigan. Lalu perlahan ukiran simbol-simbol kuno di batu berbentuk lingkaran besar itu menyala. Memunculkan cahaya biru yang semakin lama semakin terang hingga Park Sun-Hyung merasa tubuhnya melayang sesaat di dalam balutan cahaya tersebut.
Cahaya tadi cukup membuat silau mata Park Sun-Hyung, tapi setelah kembali normal. Dia sangat terkejut dengan pemandangan yang ada di hadapannya, karena kini mereka tengah berada di sebuah tebing yang menghadap ke sebuah air terjun.
Mata Park Sun-Hyung tak berkedip untuk beberapa saat. Dia begitu kagum dengan pemandangan yang sangat indah di hadapannya. Sebuah mahakarya alam yang sempurna.
Aliran air yang sangat besar terus jatuh ke dasar ceruk yang berbentuk lingkaran. Di seluruh sisinya berdiri tebing-tebing tinggi menjulang, salah satunya adalah tempat altar dimana Park Sun-Hyung saat ini berdiri.
Tebing-tebing bebatuan itu terlihat terbuka, hanya ada beberapa pohon kecil yang tubuh di tepinya. Jika melihat ke bawah, memang cukup menakutkan. Tapi rasanya Park Sun-Hyung ingin sekali menerjunkan tubuhnya untuk merasakan air yang begitu jernih di bawah sana.
"Tebing Elve, tempat para leluhur elf mensucikan diri mereka. Sudah lama ternyata," gumam Reigan sambil menyapukan pandangan ke sekitar.
"Hahaha … jadi ini tempat masa kecilmu, Reigan?"
Pertanyaan Victor tak mendapat jawaban. Reigan terdiam dengan sepasang mata berkaca-kaca.
***