Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

DRIKA

🇮🇩Rafle_El228
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3k
Views
Synopsis
Lima teman semasa SMP, tak sengaja bertemu kembali. Orang-orang ini terkejut akan rahasia diri mereka masing-masing. Ternyata selama ini, mereka merahasiakan sesuatu yang begitu besar dan secara kebetulan saling berhubungan. Kisah pertemanan mereka dimulai kembali, kini tidak lagi berlatar di sebuah sekolah negeri, melainkan pada situasi berbahaya dan menanggung banyak nyawa. Buset sinopsisnya, maklumin ye. Gak jago bikin beginian.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Pria Berantakan

Pagi hari itu adalah pagi yang sangat cerah. Matahari bersinar dari timur dengan indah dan gagah, cahayanya menyinari bumi, menabur kehangatan dan vitamin D bagi para manusia. Atau membantu para tanaman untuk melakukan fotosintesis.

Jalan Kenyeri pagi itu juga berjalan seperti biasanya, suara beberapa anjing menggonggong. Kucing-kucing yang lewat dengan gaya malasnya. Beberapa ayam yang terlihat dilepas oleh pemiliknya, dibiarkan berjalan-jalan agar tak mati kebosanan di dalam kandang. Orang-orang yang terlihat terburu-buru menuju pasar, baik yang berjalan kaki maupun menaiki sepeda motor.

Jalan Kenyeri memiliki banyak belokan dan terkesan membingungkan. Mungkin, total jumlah jalan Kenyeri bisa sampai dua puluh lebih. Diurut dari jalan Kenyeri 1 hingga 20 yang ditulis dengan angka Romawi.

Nah, dibalik terangnya kehidupan di pagi cerah jalan Kenyeri. Terdapat seorang pemuda dengan rambut hitam legam, sedikit mullet dan terkesan acak-acakan. Pemuda itu memiliki kulit putih bersih dan halus. Mata belonya yang dilapisi bulu mata lentik plus bibir merah merona alami, membuatnya terkesan feminim untuk seorang pria. Mengenakan celana jeans hitam yang sedikit memutih, sepatu Converse hitam putih, baju merah marun dilapisi jaket tracktop navy dengan 3 strip putih pada kedua lengannya. Menenteng ransel biru bertuliskan Polo Mania, pemuda ini terlihat lusuh dan sepertinya bukan orang dari sini.

Ia terlihat telah melakukan perjalanan yang lumayan jauh. Mungkin, usianya sekitar 20 ke atas.

Dia berjalan dengan wajah yang penuh penyesalan dan terkesan seperti tengah bimbang. Di lain sisi, ia terlihat hikmat menikmati pemandangan perumahan di jalan Kenyeri yang seakan-akan, dulunya ia tinggal di sini.

Berjalan melewati banyak perumahan, salah satunya adalah gedung olahraga yang bernama Praja Shanti. Gedung olahraga yang sepertinya terlihat khusus untuk bermain Badminton.

Pria itu melirik ke arah GOR, memperhatikan beberapa anak remaja atau anak-anak yang lebih muda yang tengah bersiap-siap untuk bermain badminton. Orang-orang itu terlihat penuh gaya, raket yang sudah jelas harganya 500 ribu ke atas. Sepatu sport yang mungkin harganya bisa 2 juta lebih. Baju-baju olahraga yang keren, stylish dan rasanya nyaman dipakai.

"Huh, anak-anak orang kaya." Gumam pria berantakan itu. Lalu iapun mulai berjalan kembali, melanjutkan perjalanan kakinya yang sepertinya cukup melelahkan. Namun, ia terhenti tepat di samping atau sebelah kiri GOR.

"Nah, ini dia." Ucapnya menatap sebuah kost yang cukup besar. Matanya berbinar, lalu kembali murung. Ia seperti tengah mengingatkan dirinya akan suatu hal yang tidak menyenangkan, suatu hal yang harus ia hadapi.

Di balik pagar kost tersebut, berdirilah seorang ibu-ibu dengan daster umum yang dikenakan ibu-ibu, rambut sebahu dan wajah yang lumayan galak. Ia terlihat tengah menyapu halaman kost dengan penuh keringat pagi plus semangat 45 yang buruk. Sepertinya, ia tengah mengalami pertengkaran dengan suami atau keluarganya.

"Permisi Ibu, halo." Sapa si pemuda dengan menunjukkan wajahnya di atas pagar besi, walau tinggi si pria kisaran 1,75. Ia masih harus berjinjit. "Sampeyan Bu Ani ya?"

"Hwah?!" kaget si Ibu. "Argh! kamu nak Rafly itukan?"

"Aah, iya Bu." sahut si pria bernama Rafly.

*****

Rafly terbaring di sebuah kasur lantai berwarna hijau, kasur tersebut terlihat baru dibeli. Ia tengah berada di sebuah ruangan kost yang kosong melompong. Hanya ada ransel milik Rafly dan sebuah kasur lantai hijau.

Jika kudeskripsikan, kost ini adalah sebuah kost campur. Kostnya seperti kamar yang lumayan luas untuk dikatakan sebuah kamar, pria maupun wanita sudah biasa berlalu lalang di sini. Di Bali, kost campur sudah menjadi hal biasa. Walau di daerah lain pun sebenarnya kost campur juga bukan hal yang luar biasa. Hanya saja, di sini rasanya seperti sudah biasa.

Rafly mulai mendesah dan mengeluh seperti. "Hadeh, harus nyiapin rencana lagi nih." Kemudian bangun, berdiri dan mulai membuka ransel birunya. Merogoh tas tersebut untuk beberapa saat, lalu mulai mengeluarkan tangan kanannya dari tas sembari memegang sebuah buku jurnal berukuran A6.

Jurnal itu dilapisi sebuah kain dengan bulu-bulu halus, terdapat sebuah tanda huruf R, kalian harusnya sudah mengerti R itu inisial dari siapa.

Ia mulai menghembuskan nafas secara perlahan, duduk dan membuka jurnalnya. Sesaat sebelum membuka jurnalnya, ia mengernyitkan dahi dan membuat ekspresi konyol dengan sendirinya. Menutup jurnalnya kembali, mulai berdiri lagi, keluar kost, tak lupa menguncinya dan mulai berjalan keluar entah kemana.

*****

"Wah, ngen napi niki Pak kopine?" tanya seorang bapak-bapak dengan baju necis, berarti, 'Pakai apa ini kopinya pak?' .Ia tengah menikmati kopi di sebuah kafe bernama Home yang berada di pinggir kota Klungkung. Walau berada di pinggir dan berdekatan dengan sawah dan sungai, kafe tersebut selalu ramai pengunjung.

"Aah, ngen kopilah Pak. Engken bapak ni, mung kepo, mai kapan-kapan mebalih proses ngae kopine." si pemilik kafe menjawab juga dengan bahasa Bali yang berarti, 'Ah, ya pakai kopilah Pak. Gimana bapak ini, kali kepo, ayo kapan-kapan lihat proses buatnya.'

Sedikit basa-basi lagi, lalu si pemilik kafepun pergi kembali ke meja kasirnya. Kafenya memang ramai pengunjung, tapi ia hanya bekerja sendiri. Memang bukan kafe yang besar, tapi rasanya mustahil jika semuanya ia kerjakan sendiri.

Terlebih, si pemilik kafe ini terlihat masih muda. Ia memang memiliki tinggi yang pendek, mungkin sekitar 1,68 atau bahkan 1,65. Rambutnya terkadang terlihat hitam, terkadang sedikit kecoklatan. Badannya gempal dan berkulit coklat cerah. Matanya sipit Indonesia dengan bekas luka kecil pada dahi kiri bagian bawah.

Ting...

Suara pintu terbuka, tanda seseorang sedang memasuki kafe. Terlihat pria dengan wajah imut, memakai jaket tracktop navy dengan jeans hitam keputihan. Pria itu tidak lain dan bukan adalah Rafly. Ia langsung berjalan menuju kasir dan mulai menanyakan sesuatu pada si pemilik kafe. Hal-hal seperti, "Kopi apa aja nih jenisnya?"

"Yah seperti..." si pemilik terdiam melototi Rafly. Berteriak kegirangan lalu berkata, "Nooos!"

Rafly juga tak kalah berisiknya, ia berteriak berkata. "Brosu!"

*****

Rafly duduk di salah satu meja kafe. Ia tengah menikmati kopi hitam Brazil tanpa gula, kopi murni hitam yang diseduh sedemikian rupa, menghasilkan suatu kopi murni dengan rasa spesial. "Njir, sejak kapan temen gua jago ngeracik kopi." gumam Rafly.

Begitupun juga si pemilik kafe, setelah melayani beberapa pengunjung, dirasa keadaan cukup santai, ia pun bergegas pergi menuju meja Rafly dan duduk di sana.

"Nos, gimana kabar lu? buset dah. udah 3 tahun lebih gak ada kabar. WA juga gak aktif." Ucap pemilik kafe.

"Yoi Dit, gua ada urusan mendadak." balas Rafly pada teman lamanya yang bernama Adit. Adit biasa dipanggil Brosu, sementara Rafly dipanggil Little Thanos.

"Jadi? kerja apa lu sekarang?" tanya Adit yang membuat tenggorokan Rafly tercekat dan mengernyitkan dahi. Rafly sedikit mendesah lalu menjawab dengan kata-kata seperti. "Yah, gua dulu jadi Freelancer. Illustrator online, tapi udah berhenti 3 tahun terakhir ini."

"What the?? lu kagak buat komik?" tanya Adit, ia tahu betul bahwa Rafly memiliki bakat dalam bidang menggambar. Hal itu telah terlihat jelas semenjak kelas 7.

"Lu sendiri gimane? katanya mau jadi Youtuber yang ngebahas tentang konspirasi?" balas Rafly yang membuat Adit terkekeh-kekeh malu mengingat impian masa lalunya.

"Yah, mungkin udah jalannya gini." Balas Adit tersenyum penuh hikmat.

"Ya gua juga mah." Balas Rafly yang juga sama senyum penuh hikmat.

"Jadi? lu dah kawin?" tanya Adit menaikkan salah satu alisnya, ekspresinya jahil dan penuh kekonyolan.

"Anjir, belom cuk. Ah lu mah, btw, gimana kabar yang laen? Abang? Babi ma Onta?" tanya balik Rafly yang mengalihkan pembicaraan tentang kawin lebih lanjut.

"Bang Loka mah udah jadi model di ibukota. Biasalah, dari dulu mah udah stylish. Babi gatau kemana, dan..." Nada Adit merendah, kepalanya menunduk, wajahnya murung.

"Dan? Ryan kenapa?" tanya Rafly penasaran.

"Huft, lu harus lihat. Ntar malem gua bakal tutup lebih pagi. Ntar gua anter, demi lu nih gua tutup pagi." Kata Adit menyombongkan dirinya.

"Iye iye Su, ah lu." Balas Rafly.

*****

20.30

Setelah 20 menitan Adit menutup kafenya, ia pun mulai bergegas bersama Rafly yang sedari tadi menunggu di ujung jalan gang di tempat duduk umum.

"Jalan kaki Dit?" tanya Rafly.

"Kagak, gua mah naik mobil." Jawab Adit sambil menunjuk sebuah mobil sedan tahun jadul berwarna merah tua kehitaman yang diparkir di ujung parkiran khusus untuk pengunjung kafe.

Rafly dan Adit naik mobil, dengan Adit sebagai pengemudi dan Rafly duduk di sampingnya. Mereka terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Aditya sesekali menoleh pada kaca spion tengah mobil sedannya, bukannya memperhatikan lalu lintas di belakang, ia melihat ke arah kursi penumpang belakang. Seakan-akan, seseorang tengah duduk di sana dan Adit tengah memastikan keadaan penumpang tersebut.

Mereka bermobil sekitar 10 menitan, melewati jalanan kota kecil Klungkung. Melalui beberapa jalan-jalan gang dan sampailah mereka pada sebuah rumah mewah yang minimalis. Terdapat dua lantai pada rumah minimalis tersebut, perpaduan antaran hitam dan abu membuat rumah tersebut berkesan elegan. Terlebih, patung Ganesha yang terpampang pada halaman kecilnya, patung itu duduk bersila dan berdiri di tengah kolam kecil yang berisi berbagai ikan.

"Hah? ini rumah Ryan?" tanya Rafly kebingungan. Dia ingat betul di mana rumah Ryan atau yang biasa dipanggil Onta.

"Gangga." Jawab Adit singkat, dengan cepat ia bergegas keluar dan mengetuk gerbang rumah itu. Rafly mendesah dengan berkata "Ah bangke." lalu keluar mengikuti Aditya dari belakang.

Tak lama setelahnya, terbukalah gerbang itu. Nampaklah seorang perempuan yang terlihat seumuran, rambut lurus panjang, kulitnya gelap, ia memiliki tubuh yang sedikit pendek. Perempuan itu tersenyum pada Adit, lalu melemparkan matanya pada Rafly dan mengernyit. Seakan-akan ingin berkata. "Siapa nih?"

"Yo, Rafly. Masih ingetkan?" sapa Rafly mencoba untuk akrab.

Perempuan bernama Gangga itu makin mengernyitkan dahi, alisnya dinaikkan satu dan mulai mengingat-ingat siapa kiranya Rafly itu? Beberapa saat keadaan hening, Gangga melotot. Ia melotot pada Rafly dengan ekspresi yang bingung harus bertindak bagaimana, lalu terjadilah sebuah pelukan tak terduga yang terjadi diantara Rafly dan Gangga.

Setelah pelukan aneh tersebut, Gangga menatap Rafly dengan seksama. Mengamati sorotan mata Rafly yang terasa begitu lama tak ia lihat. Gangga terlihat seperti sedang menatap masa lalu dari sorotan mata milik Rafly. Sebuah kenangan manis yang menyakitkan, yang ia masih pendam hingga sekarang. Rafly yang salting, mencoba untuk bersikap stay cool, ia merapikan bajunya dan mencoba untuk menatap balik Gangga tanpa terlihat malu-malu.

"Mau nanyain Ryan kan?" tanya Gangga yang langsung membuat Rafly tertegun.

"Eh, i-i-iya." Jawab Rafly gugup.

"Udah gak ada Raf, udah 6 tahun yang lalu." Sahut Gangga dengan senyum sekaligus mencoba untuk tabah, mencoba untuk tidak menangis untuk yang keseribu kali karena Ryan.