Eliza membuat podcast
"Terkadang kita sudah membuat rencana begitu rapi. Tetapi takdir menghancurkan segalanya. Seperti ombak memporak-porandakan istana pasir. Dan dia adalah ombak, karena aku selalu ada didekatnya. Istana pasirku akan hancur. Aku tidak punya pilihan lain lagi, selain menjauh darinya. Begitu selesai aku membantunya, aku akan kembali ke Amerika. Di mana ombaknya tidak dapat mencapaiku. Dan tidak dapat menghancurkan istana mimpiku."
"Eliza!"
Panggilan Mihran, membuat Eliza yang sedang asyik membuat podcast digawainya pun dibuat kaget.
Mihran pun mendekati posisi Eliza yang kini sedang menikmati debur ombak pantai.
"Kamu lagi apa?" tanya Mihran.
"Nggak apa-apa. Gimana, setnya udah siap?" tanya Eliza mengalihkan pembicaraan.
"Udah, Yuk!" ajak Mihran, menarik tangan Eliza menuju lokasi tempat mereka akan syuting.
Rumah Mihran dan Amaliya
Oma pun datang, berjalan perlahan, memperhatikan sekitar dalam rumah sang cucu yang nampak tak berpenghuni itu.
"Liya, Liya .... " panggil Oma Siska.
"Oma .... " jawab Amaliya yang baru keluar dari kamarnya.
"Kok sepi? Eliza sudah nggak tinggal di rumah kamu lagi? Udah pergi?" selidik Oma Siska.
"Eliza itu lagi syuting sama Mihran di Anyer," terang Amaliya.
"Whaaaaaaattt??? OMG! Ini bahaya, Liya, bahaya!" teriak Oma Siska.
"Aduh, Oma, aku bosan banget deh, Oma tuh parnoan banget! Oma, Eliza itu sahabat aku. Kalau emang Eliza suka sama Mihran, kenapa nggak dari dulu SMA? Kenapa baru sekarang? Eliza itu udah kuanggap saudara sendiri dan yang paling penting, aku percaya sama suamiku 100%!" ujar Amaliya yang mulai kesal mendengar keparnoan Omanya.
"Suami kamu memang orang baik. Tetapi suami kamu itu seorang laki-laki!" pekik Oma Siska. Amaliya pun tertawa.
"Mihran itu lelaki dan suami yang baik buat aku. Dan aku percaya 100% sama dia. Dia sangat mencintai aku," jelas Amaliya agar kekhawatiran Omanya itu mereda.
Lokasi syuting di Anyer
Mihran dan Eliza memasuki lokasi dan bersiap untuk syuting. Eliza pun segera diarahkan untuk melakukan syuting oleh sang sutradara sedangkan Mihran menunggu di bangku kosong disamping sutradara.
"Mihran, aku titip gawaiku ya."
Saat Eliza menitipkan ponselnya, secara tak sengaja ia melihat podcast Eliza yang diberi nama Suara Hati.
Mihran say's
"Eliza punya podcast? Ada yang judulnya pernikahan yang gagal. Kalau aku tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Eliza, mungkin aku bisa menolongnya dari keterpurukan."
"Wit, ada yang punya headset nggak?" tanya Mihran pada salah seorang karyawannya.
"Ini, Pak," jawab seorang karyawannya itu sambil memberikan headset miliknya.
Podcast Eliza
"Aku tidak pernah membayangkan meninggalkan pernikahanku sendiri. Aku sudah terbang ribuan kilometer dari masalalu. Namun, di saat menjelang aku memulai hidup yang baru, dia justru datang dan bilang kepadaku —kamu yakin dengan pilihanmu menikah dengan Dygta? Dan apa kamu juga yakin dengan cinta kamu itu? — Andai kamu tahu, Mihran, aku mencintai kamu, Mihran."
Mata Mihran terperanjat saat mengetahui jika Eliza mencintainya.
"Andai aku bisa memilih, aku akan siap menghadapi apapun jika kamu memilihku. Andai kamu bisa mencintaiku sama seperti kamu mencintai Amaliya, aku akan berbahagia menjalani sisa hidupku bersamamu. Tetapi itu nggak mungkin, Mihran. Pertanyaanmu dihari pernikahan aku, itu justru meluluhlantakkan hatiku. Aku goyah. Ini bukan pertama kalinya Mihran menggoyahkan kehidupanku. Selama ini aku selalu menolak semua pria yang mendekatiku karena menurutku tidak ada yang lebih baik daripada dia. Pria yang kucintai sejak SMA. Cinta pertama yang tak kunjung lenyap dari hatiku, Mihran ...."
Mihran pun melepaskan headsetnya dan menaruh gawai Eliza begitu saja dikursi. Mihran berjalan menjauh dari lokasi syuting itu dan pergi menepi dibibir pantai.
"Aku ini jadi laki-laki memang bodoh. Aku nggak peka sama perasaan aku sendiri. Pantas saja Eliza pergi ke Amerika dulu tanpa pamit. Pantas saja selama ini dia selalu risih kalau dekat-dekat sama aku. Atau jangan-jangan dia nggak jadi nikah cuma gara-gara aku. Aku udah ngancurin hatinya Eliza," lirih Mihran.
Lokasi syuting Eliza
"Kita break dulu ya!" teriak sang sutradara.
"Bagus yang tadi ya," tegur sutradara pada Eliza saat ia datang.
"Mbak, Mihran ke mana?" tanya Eliza yang tidak melihat keberadaan Mihran.
"Tadi pergi sih, mungkin balik ke hotel," jawab Wita, seorang karyawan Mihran.
"Kok dia ninggalin gawai aku sih gitu aja? Kan tadi aku titipin sama dia. Apa dia dengar podcast aku ya?" gumam Eliza.
"Aku harus cari Mihran," batin Eliza.
Saat hendak melangkah pergi, sutradara justru memanggilnya agar tidak pergi karena masih ada shoot lagi. Eliza pun mengurungkan niatnya.
Rumah Amaliya
"Liya, kamu kalau Oma kasih tahu jangan keras kepala! Oma tuh ingat-ingat ciri-ciri pelakor dari drakor.Pertama biasanya dia dari teman kita sendiri. Yang kedua, biasanya pelakor datang ke rumah karena diundang istri pertama. Yang ketiga, ada kesempatan si pelakor dan suami untuk berduaan."
Lokasi Mihran dan Eliza
"Gimana kalau Mihran jadi mrngasihaniku? Atau justru Mihran mentertawakan kebodohanku selama ini. Atau dia marah? Gimana kalau akhirnya Amaliya tahu kalau selama ini aku mencintai Mihran? Mau ditaruh di mana mukaku? Amaliya pasti kecewa banget, karena aku telah membohonginya? Ya Allah, harus gimana .... "
Eliza yang sedang merasa takut, khawatir jika Amaliya dan Mihran akan membencinya tidak menyadari kini ia sudah tidak berada di bibir pantai lagi, tetapi dalam ombak yang begitu besar dan ....
"Aaaaarrggghh ...." teriak Eliza yang sudah digulung ombak.
Mihran pun yang sedang berada tidak jauh, langsung berlari menolong Eliza.
Rumah Amaliya
"Yang keempat, si suami menolong si pelakor yang sedang kesusahan," lanjut Oma Siska.
"Setelah diselamatkan sang suami, si pelakor akan tambah jatuh cinta."
Mihran dan Eliza
Mihran pun berhasil menyelamatkan Eliza. Ia menggendong sahabatnya yang pingsan itu menuju bibir pantai. Ia merebahkan tubuh sexy Eliza itu di atas pasir.
"Eliza, bangun, El!" Mihran mencoba membangunkan Eliza berulang kali tetapi Eliza tidak juga tersadar.
"Eliza ...."
"Eliza, Ayo!"
Mihran pun berusaha menekan dibagian dada, agar Eliza terbangun.
"Eliza, bangun!"
"Eliza ...."
"Nggak ada pilihan lain lagi," gumam Mihran.
Saat Mihran hendak memberikan nafas bantuan agar Eliza terbangun, akhirnya Eliza pun sadar dan mengeluarkan banyak air. Eliza terbatuk.
"Eliza, kamu udah sadar? Alhamdulillah,akhirnya kamu selamat," ujar Mihran merebahkan kepala Eliza ditangannya, mengelus rambutnya.
Mihran pun berjalan, menggendong Eliza ke daratan.
Rumah Amaliya
"Si pelakor itu menjeratnya bermacam-macam lo, Liya! Pasang muka sedih, menangis,merasa bersalah karena mencintai suami orang."
Mihran dan Eliza
Mihran terus berjalan, menggendong Eliza. Eliza menatap Mihran dengan tatapan penuh cinta.
Rumah Amaliya
"Pelakor itu jago memainkan perasaan suami orang. Seperti ular berbisa. Sekali menggigit, bisanya akan menyebar ke seluruh tubuh suami orang."
Mihran dan Eliza
Mihran terus berjalan, pandangannya ke depan. Entah di mana ia berhenti, Mihran pun tidak tahu.
Rumah Amaliya
"Kamu harus bertindak secepatnya. Jangan sampai menyesal," lanjut Oma Siska.
"Serem ya, Oma," timpal Amaliya yang seolah ketakutan dengan cerita keparnoan sang Oma.
"Serem!" jawab Oma Siska.
"Oma, aku ke kamar dulu ya mau ambil gawaiku." Amaliya pun melangkah masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang Oma dengan keparnoannya.
"Oma, kalau mau pulang, jangan lupa tasnya dikursi ya," teriak Amaliya di dalam kamar.
"I-iya,Oma pulang ya, Amaliya," jawab Oma. Oma Siska pun mengambil tasnya dan pergi
"Iya, Oma, daahh," teriak Amaliya di dalam kamarnya.
****
Mihran dan Eliza
Mihran yang sudah kelelahan menggendong Eliza dan sudah berjalan cukup jauh akhirnya jatuh terduduk bersama Eliza.
Saat Mihran hendak bangkit dan meninggalkan Eliza, gadis bermata bulat itu pun menarik tangannya.
"Mihran!"
Masih dalam keadaan tubuhnya berbaring di atas pasir, Eliza pun bertanya pada Mihran.
"Apa tadi kamu dengerin podcast aku?"
Eliza pun kini duduk, berhadapan dengan Mihran.
"Jujur sama aku, Mihran. Apa kamu marah?" ujar Eliza mengelus tangan lelaki bertubuh kekar di depannya itu.
"Apa kamu marah karena aku mencintai kamu dan selama ini aku membohongi kamu?" ujar Eliza terisak.
"Jujur sama aku, Mihran .... "
Mihran hanya terdiam
"Sebaiknya kita tidak usah bahas soal ini. Kamu berhak mencintai siapapun. Begitu juga dengan aku. Aku berhak memilih, dengan siapa wanita yang ingin aku cintai," kata Mihran tegas. Ia pun berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Eliza.
Eliza pun bangkit, berlari mengejar Mihran dan memeluknya dari belakang. Sangat erat, seolah Eliza tidak ingin melepaskan pelukan itu.
Rumah Amaliya
Amaliya merasakan kegelisahan. Entah mengapa ia jadi kepikiran kata-kata Oma Siska tadi. Ia pun mengambil gawainya dan menghubungi nomor Mihran.
"Kok, Mihran nggak diangkat sih?"
"Coba kutelepon Eliza deh."
Amaliya pun kini menghubungi nomor Eliza. Namun, ia tidak juga mengangkat teleponnya.
"Kok Eliza juga nggak angkat teleponnya? Apa jangan benar yang Oma bilang? Mungkin nggak sih kalau mereka sekarang sedang mesra-mesraan di sana?"
Mihran dan Eliza
Mihran hanya terdiam, ia pun tak berusaha melepaskan pelukan itu. Sedangkan Eliza sedang menikmati, ia menangis. Eliza terbawa suasana.
Mihran pun kini menoleh ke arah belakang. Kini netra keduanya beradu.
Rumah Amaliya
"Duh, Ya Allah, kenapa aku jadi kepikiran kata-kata Oma kayak gini sih?"
Mihran dan Eliza
Mihran pun melepaskan pelukan Eliza.
Rumah Amaliya
"Nggak! Mihran nggak mungkin kayak Gitu. Mungkin kalau laki-laki lain bisa kayak gitu. Tetapi bukan Mihran."
Mihran dan Eliza
Netra Mihran dan Eliza saling beradu. Kini Eliza semakin mendekat dan memegang wajah Mihran dengan lembut.
Rumah Amaliya
Amaliya mengelus cincin berlian pemberian Mihran.
"Aku nggak perlu khawatir. Mihran kan nggak pergi sama orang lain tetapi sama Eliza, sahabat aku sendiri."
"Saat aku menikah dengan Mihran,aku percaya 100 persen sama dia."
Amaliya tersenyum. Ia yakin, kepercayaannya tidak akan dikhianati.
Mihran dan Eliza
Eliza semakin mendekat, netranya menatap Mihran dengan penuh cinta. Dan ... Eliza pun mencium lembut Mihran. Mihran pun tak mengelak. Mungkin terbawa suasana debur ombak pantai.
Amaliya duduk di teras belakang sambil menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng.
"Bunda .... " panggil Alia.
"Sayang, kok kamu udah bangun aja? Tidur siangnya sebentar?" tanya Amaliya. Ia pun memangku putri tunggalnya.
"Tadi Alia mimpi. Emang kalau mimpi siang bisa jadi beneran ya, Bun?" tanya gadis polos itu.
"Tadi Alia mimpi, Ayah pergi. Waktu Alia tanya kapan pulang, Ayah langsung masuk ke dalam mobil. Dan Bunda tahu nggak? Di dalam mobil ada Tante Eliza! Sekarang Alia sedih banget, karena Alia nggak diajak pergi," ujar Alia menjelaskan mimpinya.
"Astaga, kenapa Alia bisa jadi mimpi seperti itu? Alia kan sangat dekat sama Mihran," batin Amaliya.
Akankah mimpi Alia menjadi nyata?
bersambung ....