"Apa yang akan kamu lakukan sekarang? melanjutkan pernikahan atau pendidikan ke luar negeri?" Tanya sang bapak dengan tegas.
Bapak hanya mengizinkan pendidikan ke luar negeri. Ia berharap anaknya menjadi penggantinya setelah lulusan sekolah bisnis di luar negeri dan udah dipersiapkan sejak lama.
Berselang menit ia hanya terdiam dan kemudian baru menjawab pertanyaan tak lazim dari bapaknya.
"Dua-duanya, Pak!" jawab Audrey singkat.
Bapak Audrey mengernyitkan alis sambil mengangkat sudut bibir hingga membulat. Pernyataan anaknya begitu lugas dan percaya diri. Kedua hal yang berat akan ia laksanakan bersamaan.
"Sungguh mustahil," gumamnya dalam hati.
"Nak... Kamu yakin tentang ucapanmu barusan?" sergah bapak bergidik sedikit terkejut.
"Apapun yang terjadi, Audrey akan tetap bersama mas Bagas!" cetus Audrey bertahan.
Seketika suasana atmosfer di sekeliling bercampur hawa berat dan pekat. Bapak Audrey berjalan mondar-mandir memikirkan keteguhan hati anaknya. Ia berencana membatalkan jodoh dengan Bagas karena telah menemukan pilihan lain yaitu mitra kerja barunya di perusahaan. Lelaki hidup mapan dan kaya. Tidak seperti Bagas yang sudah di ambang pailit dari perusahaan yang terancam bangkrut.
"Ucapanmu bisa dipegang, Nak?"
"Entar kamu menyesal dengan pilihanmu. Bapak tak tega hidupmu susah bersama Bagas yang sudah jatuh bangkrut," sarannya lagi.
Audrey hanya bisa terbelalak mendengar ucapan bapaknya yang menyudutkan Bagas. Saatnya Audrey membela diri untuk mempertahankan pilihan hidup, meskipun awalnya mereka berkenalan lewat perjodohan orang tua.
"Ia memang jatuh miskin sekarang. Namun, akhlak dan budi pekertinya sangat mulia. Bagas rela mempertaruhkan jiwa dan raganya demi Audrey, pak! Ia tidak egois, tetapi sangat menyayangi Audrey sepenuhnya." Audrey berusaha menyakini sang bapak yang terus membeberkan kekurangan Bagas.
"Kamu tidak bisa membedakan mana emas dan imitasi, Nak!" lanjut bapaknya kesal dengan pendirian Audrey tanpa alasan. Kekesalan si bapak membuat seisi ruangan mengerut tanpa ada yang berani bicara.
"Tapi, Ta-pi, pak....dulu kenapa bapak menjodohkan aku dengan lelaki itu. Kalau Bagas tidak sesuai dengan pilihan bapak," sahut Audrey terbata-bata.
Audrey berusaha diam merenungi ucapan bapak yang mengandung cibiran di hatinya. Ia telah mencoba untuk membela diri, ketika kata-kata menohok dari mulut orang yang sangat menyayanginya.
"Percuma saja berdebat. Bapak sedang dikuasai oleh emosi membludak. Menjelaskan hal yang tidak dirasakan oleh orang lain sama saja seperti berjalan di hamparan penuh duri. Sama saja membahas perasaan cinta tiada yang peduli. Hal itu membuat Audrey kecut berhadapan dengan lelaki tua bernama bapak.
Bapak berusaha menggoyahkan keyakinan cintanya terhadap Bagas. Audrey menundukkan kepala dengan ekspresi tertekuk. Tidak ada perasaan marah maupun benci terhadap lelaki tua yang sudah membesarkannya.
Gerakan Audrey secepat kilat, meminta izin pada sang bapak yang sedang berusaha mengecohkan pikiran sang anak.
Audrey lalu menggantikan stelan baju santai yang terasa adem dan melemaskan saraf-saraf yang mulai kaku.
Akhirnya, Audrey menarik selimutnya dengan sedikit deg-degan menghindari luapan emosi bapak yang diabaikan begitu saja. Sebuah pertahanan terakhir hampir jebol seandainya Audrey tak kuat mental dengan ulah bapak.
"Kau... keras kepala, Drey? Kau nggak mendengar saran bapakmu padahal demi kebaikan semua." Bapak mengikuti Audrey ke kamar hanya ingin memastikan anaknya dalam kondisi baik-baik saja.
Audrey berpura-pura tidur, ia mengamati bapak dari balik selimutnya.
"Aku tidak bisa membiarkan Audrey menderita bersama Bagas. Ia lelaki yang sudah bangkrut, mau dikasih makan apa anakku nantinya."
"Huuft....zaman edan, dikasih emas minta batu apung," nyeletuk bapak dengan suara gemeretak giginya saling beradu. Ketika ia melihat bahwa Audrey itu tidak memberikan reaksi, si bapak berpikir bahwa Audrey telah tertidur.
Bapak tidak menyadari bahwa gagasan mengenalkan Audrey dengan Bagas adalah idenya, sekarang malah mangkir dan mau menolak begitu saja. Sungguh pribadi yang tidak bisa dijadikan contoh.
"Hmph!"
Bagas yang menyendiri perlahan melepas dan menggantikan seragam kantornya dengan baju kaos di rumah. Ia melirik jam tangan yang terletak di nakas dekat pintu kamarnya, jam menunjukkan waktunya merebahkan raga yang sudah terlalu penat.
"Apakah kamu tahu dengan siapa kamu menikah, Audrey?" batin Bagas bergumam penuh tanda tanya.
Tatapan Bagas menajam, sekali melangkah pantang mundur. Akan tetapi setelah dipikir-pikir, Bagas akan menerima tantangan ini, memperjuangkan Audrey agar menjadi Ratu di istana hati sang Bagas lelaki yang tampan.
Malam kian pekat, udara semakin dingin dan hembusan malam pun mengisyaratkan pesan kemesraan. Burung hantu menari sambil bersiul mendendangkan kebahagiaan malam. Raga dan jiwa yang penat mulai mengiramakan suara halus bersahutan pertanda dengkuran indah penuh cinta.
Keesokan hari menyambut pagi, setiap bangun tidur Bagas lebih dulu menyapa teman-temannya di aplikasi chat, kemudian baru menyapa keluarga.
Notifikasi SMS masuk jam 06.30
Hallo....
(Bagas, nanti jemput Audrey, ya! aku tunggu di tempat biasa)
(Iya, Drey, nunggu jam berapa? jalan-jalan shoping, yuk)
(Agak sore, ya, Gas!)
Keduanya memendam rasa rindu, hingga tumben, keduanya saling menggebu tanpa memancing kegaduhan.
Audrey bergegas menyusul Bagas yang sudah duluan nongkrong di kafe. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling kafe, barangkali ada yang dikenal. Sejenak Audrey melangkahkan kaki gontai menuju swalayan kecil hanya untuk membeli permen pewangi mulut. Ia tak mau terganggu obrolan hanya karena aroma khas bau pete makanannya tadi pagi. Sedap sekali nasi goreng pete buatan ibu tersayang.
Dari kejauhan, Bagas mengangguk sopan dan tersenyum melihat kedatangan Audrey.
Akhirnya mereka makan mie ayam sepiring berdua terasa lezat apalagi ada kerupuk pangsit. Suasana kafe di alun-alun sangat menenangkan bagi jiwa muda yang sedang menikmati keromantisan. Bagas dan Audrey sedang membicarakan keseriusan acara pra wedding, totalitas diserahkan pada wedding organizer pilihan. Cetakan undangan cukup mewah seakan lupa keadaan ekonomi yang sedang menjerit kalap.
Disinilah kami berdua, di meja makan sambil bercanda gurau. Bagas tak hentinya bercerita happy, sedangkan Audrey selalu punya cara membuat keadaan penuh ceria.
"Perusahaan Bagas udah normal kembali, kan?" tanya Audrey menyelidik.
"Kemarin, sih! ada kemajuan yang menggairahkan di bawah tim Gabriel" Bagas menyembunyikan hal sesungguhnya untuk menyenangkan Audrey. Bagas tak mau terlihat bangkrut di depan Audrey. Itu harga mati.
"Oia... Bagas punya hadiah buatmu, Drey!?" Bagas menyodorkannya satu kotak bentuk hati berwarna merah.
"Audrey menerima dengan menyungging senyum terindah," Makasih Mas Bagas.
"I lope you, so much,"
Muachh, muachh....Bagas dihadiahi sentuhan ciuman di pipi, ia pun sontak kaget melihat Audrey seperti anak kecil yang baru dapat mainan bagus.
Ternyata wanita di mana mana sama saja, sangat suka bila dihadiahi barang-barang, apalagi yang bagus, akan termehek mehek nggak karuan.
Audrey memegang hadiah spesial, lalu memandangnya dengan senyum bahagia. Wanita mana yang tidak kegirangan mendapatkan perhatian lebih dari calon suaminya.
"Sungguh hadiah ini menarik?" Audrey begitu penasaran melihat kotak berbentuk hati berwarna merah.
Audrey membuka kotak itu dengan rasa berdegup kencang. Tak sabaran terlihat sebuah untaian kalung berlian bermata padi dan love, pancaran kilauannya menembus hati.
"Sini...sayang, aku pakaikan!" Kamu kelihatan cantik dengan memakaikan kalung berlian ini.
Bagas membuka pengait untuk dipakaikan di leher yang putih jenjang itu. Kalung yang sangat eksotik memikat jiwa dengan berbentuk love.