Chereads / The Loser Of Love / Chapter 19 - Negeri para drakor 2

Chapter 19 - Negeri para drakor 2

Kehidupan dirantau orang sangat disiplin dari tata krama, kebersihan dan sikap. Gabriel berjalan menghampiri asal suara ponselnya, seketika ia bersorak kegirangan mendapatkan calling dari kedua orang tuanya.

"Gimana di sana, Nak? Kau udah makan? Sehatkah dirimu, Nak," pertanyaan yang sama terus berulang-ulang ditanyakan lagi.

Terlihat raut wajah tuanya begitu memelas dengan kasih sayang. Keduanya begitu mendukung kepergianku menuntut ilmu sampai ke negeri cina sekali pun.

Masih terbayang, saat ibu melepas kepergianku, wanita tua bergelar ibu sangat mengkhawatirkan gerak langkahku, iya anaknya seorang perempuan di rantau orang. Orang tua mana yang tidak merasa getir dengan keputusanku melanjutkan impian ke negeri para pemain Drakor.

"Ibu, Bapak, maafkan anakmu. Di masa tuamu aku belum bisa menemani har-hari seperti dulu lagi. Mohon restu, ibu dan bapak supaya aku bisa tenang di sini. Jangan menangis lagi ya bu, pak?!" ucapan dengan cara yang sama terus aku semangati ibu bapakku di kampung halaman.

"Apa benar yang dikatakan, Kho shen hari ini pembekalan bahasa Korea via Zoom? Tapi aku belum belajar sedikit pun tentang pengucapannya. Rasanya mustahil Gabriel dapat totalis bulan ini," gumam batinku lemah.

Sungguh, sangat sulit mempelajari bahasa korea apalagi cara menulisnya. Setelah itu Gabriel kembali menyimak bahasa korea via zoom.

Halo (Annyoeng hasseo)

Apa kabarmu (jal jinessoyo)

Di mana rumahmu? (o eddie e sarayo)

Abang (oppa)

Sudah makan (bab eul mogosso)

Aku rindu kamu (Jo neun bogo sipho)

Ayuk, jalan-jalan (kukyong habsida)

"Bagaimana, Briel?" tanya Kho Shen. Wanita setia bersamanya, yang tak lain adalah teman chines. Keduanya sangat kompak saling membantu di negeri orang. Ia kuliah di Universitas Pohang juga, di mana Gabriel juga bersama menuntut ilmu di sana.

Mereka sering jalan-jalan menikmati udara segar area sungai dan hutan-hutan yang masih alami. Musim gugur begitu eksotik dengan daun-daun berwarna jingga merupakan ciri khas warna daun di musim gugur.

"Kamu yakin hari ini kita belanja perlengkapan untuk musim salju?" tanya Kho. Desember tinggal beberapa hari lagi, seketika Gabriel terdiam, mengingatkan kampung halaman yang hanya mempunyai dua musim kemarau dan hujan. Berbeda di Korea mempunyai empat musim penuh dengan cerita kenangan yang berbeda. Karena yang selama ini Gabriel tahu uang pas-pasan, bagaimana rencana belanja esok hari sementara belum ada yang cair.

"Sepertinya aku harus pergi shopping barang-barang keperluan musim salju. Dari baju penghangat, stock makanan yang cukup dan peralatan lainnya. Pendatang baru seperti ku tidak perlu lalu lalang tanpa keperluan yang jelas. Aku meminimalisir ke tempat-tempat yang jarang didatangi orang-orang. Rasa takut masih mendera, kami perlu mempelajari kebiasaan dan budaya setempat di Korea khususnya tempatku tinggal kota Nonsan.

"Ajak aku ya, Kho?" Gabriel meminta teman-temannya agar pergi bareng, sementara Kho hanya mengangguk pertanda sangat setuju.

Hal yang paling indah yang dapat kulakukan setelah pulang dari kampus adalah tidur di kasur empukku. Nyanyian Everybodies changing by song Keane sangat syahdu membuat kelopak mataku makin berat ...sampai akhirnya. ku tertidur pulas.

Tok....tok....tok...

Suara ketukan pintu membuat mata ini terbuka cepat. Dengan berat kulangkahkan kaki menuju pintu dan melihat siapa yang mengganggu privacy ku.

"Ada apa, ya?" tanyaku penasaran pada Ronald yang sibuk memberitahukan pengumuman terbaru pada teman satu angkatan. Kepada teman yang masih abai, penuh resiko.

"Maaf...aku mengganggu jam istirahatnya. Nanti sore, sebelum ke restoran, jangan lupa bawakan bukti sudah divaksin, ya?" pesan komisaris tinggi yang mengawasi keperluan mahasiswi dari luar.

"Baik, Ketua," balasku seraya menganggukkan kepala dengan tersenyum.

Kho Shen, baru pulang dari restoran memesan makanan kesukaannya. Beberapa makanan vegetarian ia beli juga buat Gabriel. Mereka berdua vegetarian sejati selama berada di luar negeri. Menuntut ilmu di negeri orang sangatlah butuh kesabaran.

"Gabriel sini. Yuks, makan. Kimchi, kimbab dan tteokpoki. Ayo, pilih yang mana, Briel? ini bagus loh buat kesehatan kita, nggak usah pake daging melulu, lagian kan ada minuman yogurt di kulkas," ajak Kho Shen.

"Iya deh"

Begini rasanya mengikuti perkuliahan melalui daring, sungguh bosan rasanya. Kapan bisa belajar tatap muka di kelas. Udah nggak sabaran menemui teman-teman satu angkatan. good job lah buat Kho.

Aku menuju balkon yang terletak di lantai dua, kulirik teman-temanku pada ngumpul di balkon lantai dua. Mereka tertawa riang sambil minum-minuman bersoda, tapi sayang hanya boleh keluar di area sekitar kampus saja.

"Kami pesan minuman bersoda, antarkan nanti, ya? dua minuman bersoda dan makanan lainnya." Aku pingin sekali makanan kuliner khas di kotaku.

Setelah diantar makanan kami cus mukbang bersama sambil menari-nari menghibur hati, tak lupa pula menambahkan makanan cemilan sekadarnya.

"Kho...nih aku kenalin ama kawanku dari philipine, namanya Philip.

Senang berteman dengan mu phillip.

(Mannaso Banggawoyo, Phillip).

"Kho, bagaimana keadaan di sini buatmu betah?"

(Kho, hangug-eseo sal-eumyeonseo on gibun-i eottaeyo?)

"Gabriel, setelah pembekalan bahasa pengantar kuliah, kita sudah serius, nih!"

(Gabeuliel, hangug-eo beuliping kkeutnago jinjihage haeyaji!).

"Iya, ya...." (ne, maj-ayo).

"Aku selalu serius, tapi bahasa korea ku belum bagus." (naneun hangsang jinjihajiman nae hangug-eoneun geuleohge jal mos haeyo).

"Iya, sama dong, maka kita cakap-cakaplah supaya terbiasa." (ne ttoggat-eunikka gat-i yeonseubhaeseo jeog-eunghaeyo).

"Okelah, sampai jumpa, aku mau istirahat dulu," ujar Phillip. (ne, geuleom, jega jib-eseo swigo sip-eoyo. dasi mannayo).

Percakapan mereka terus diasah sampai mumpuni, perlahan sedikit demi sedikit sudah mengalami kemajuan.

Keadaan di luar tidak begitu aman buat kita, Gabriel mengingatkan Kho agar lebih berhati-hati.

"Kho, jangan lupa protokol kesehatan, ya? kita ini di luar negeri loh, bukan di kampung halaman," ujar Gabriel dengan tegas mengingatkan berulang kali.

"Ya sudah, aku diingatkan terus Briel, jangan didiemin, yah," ucap Kho dengan senyum khasnya.

"Iya Briel, ayo cepat kita masuk restoran," ucap Kho dengan tak sabar.

Keduanya saling tertawa meskipun dalam hati kecil penuh was-was tentang pandemi yang belum surut. Mereka para mahasiswa begitu beruntung menjadi pilihan di antara yang punya tekad merubah nasib.

Kho memasuki restoran dengan.memperlihatkan kartu identitas dan bukti vaksin diikuti oleh Gabriel yang sedang memegang dokumen sebagai pendatang baru di negeri para drakor.

"Siap?" tanya Kho.

"Siap, Gabriel?!" Ayo lanjut berburu makanan vegetarian dengan tersenyum senang.

Pada suatu hari, ada seorang teman dari Nigeria yang penampilannya sangar dan ditakuti orang. Padahal hatinya baik dan perhatian pada sesama.

"Jangan melihat tampilan wajah apalagi warna kulit. Kebaikan dan keakraban sesama kita mahasiswa perantauan," tegas Gabriel dengan nada suara khas di musim salju.

"Lanjut, Briel!"

"Tapi walupun penampilan arogan, ia memiliki wajah yang saaaaanggaaaatttt tampan, dia juga baik hati...," kelakar Gabriel penuh canda.

Coba lihat senyum khas memamerkan gigi geligi putihnya yang bersinar.

"Hhmm....Kurasa banyak yang jatuh hati," Gabriel dan Kho Shen saling bercerita dan penuh kelakar.

"Bagus, lanjut Briel!"

"Sabar dong, Kho," ucap Briel sembari menyeruput minuman hangat di musim salju.

Keduanya juga memiliki kesamaan berwajah chinese yang cantik seperti artis korea.

"Benarkah, Briel?"

"Iya, kalau nggak percaya, nanyak Philip," lanjut Kho sambil tertawa yang ditahankan.

"Lanjut, kemana?" sahut Philip.

"Boleh nggak lanjut ke hatimu, Philip," gelak tawa masih saling meledek penuh keakraban.