Gabriel dengan percaya diri, berjalan menyusuri koridor kampus, terlihat penampilan kedewasaan yang matang. Banyak lelaki naksir dan jatuh hati, ia dengan halus menolak kecuali Bagas sang lelaki tampan pernah mengisi hatinya.
Pesona Gabriel anak si tukang ojol memang tidak diragukan lagi, kecantikan dan prestasi akademik semakin menambah nilai plus.
"Hey!" seru Fina bersorak kegirangan.
Fina selalu setia berada di samping Gabriel, ia mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Fina mencari sosok lelaki yang bernama Frans, beberapa hari ini tiada kabar sepertinya ditelan bumi.
Seorang lelaki berahang kokoh dan bermata tajam dengan rapi keluar dari arah perpustakaan. Ganteng, rambut ala Brad Pit lurus membuat Fina dan Gabriel menatapnya lama dan saling menyapa.
Lelaki impian semua wanita, dengan postur tinggi atletis dan macho.
Kemana aja, tidak pernah kelihatan," tanya Fina sambil bergidik dan mengernyitkan alis.
"Ada!" ucap Frans grogi. ia sedang berjalan dengan Irene gadis cantik anak bos yang dikenal sangat kaya raya.
Kesan pertama, cantik dan manja. Mereka tidak berhenti menatap wajah pualam ala artis film Drakor.
Gabriel hanya sebatas mendongak lalu ia permisi, bergegas memasuki area perpustakaan.
Gabriel tidak pernah beruntung dalam merajut kasih asmara. Setiap lelaki yang jalan dengannya tiba-tibah beralih dengan wanita lain. Mereka sepertinya bosan dengan gadis cantik, kutu buku dan sulit diajak untuk happy berselancar terlalu jauh.
"Gabriel acap kali terngiang-ngiang nasehat orang tuanya agar lebih berhati-hati bergaul dengan lelaki. Nak! jaga dirimu dari lelaki nakal. Ingat aja, kalau ia merusakmu dari sekarang pertanda ia menyayangimu dengan nafsu." Pesan ibunya.
Gabriel merasakan sendu, ia memang harus menjalani takdir perpisahan. Gabriel tidak bisa berkata-kata. Ia sangat kecewa melihat adegan sejoli yang pernah dekat dalam kehidupannya.
Bagaskara dan Frans, kedua lelaki tampan telah menoreh luka di hatinya. Keduanya lari ke pelukan wanita lain yang lebih hangat dan memuaskan hati. Gabriel hanya gadis miskin selalu dirundung permasalahan keluarga.
Sore itu hujan begitu deras, ilusi seorang wanita cantik seperti bergegas menaiki mobil berwarna merah menuju rumahnya. Wanita yang berambisi menjadi eksekutif muda sukses, ia bercita-cita akan melanjutkan studi ke negeri penuh drakor, meskipun orang tuanya serba kekurangan. Namun, semangatnya untuk berkembang terus dijalani.
"Hmm..." Gabriel bergumam dalam hati sambil memejamkan mata membayangkan semua apa yang terjadi. Ia bisa merasakan kehilangan seorang Bagaskara sebagai pelindungnya dan Frans punya idaman lain.
Namun, harapan tinggal sia-sia, Gabriel harus berjuang sendiri menapaki hari-hari.
Gabriel membuka mata perlahan sambil menghirup aroma kekuatan membangkitkan asa. Ia memicingkan mata menatap jendela kamarnya yang sempit. Di balik horden bunga-bunga menggambarkan sesuatu semangat baru.
"Kring...kring …!"
"Siapa sih nelepon malam-malam gini?"
Sembari bangkit dan meraih ponsel dalam tas sepulang dari kampus. Ia lalu menatap notifikasi di layar ponsel sebelum menjawabnya.
"Halo ... Bagas ada apa?" tanya Gabriel dengan perasaan deg-degan.
"Gabriel!"
"Besok Bagas mau ketemuan di tempat biasa," ucapnya singkat.
Gabriel menarik napas dalam-dalam sambil menaikkan sudut bibirnya. Ia sekuat tenaga menahan rasa yang kian melekat dalam hati. Bendungan air mata yang siap menerjang menumpahkan segala rasa.
Bagas akan berpamitan dengan Gabriel, ia menikahi gadis pilihan orang tuanya. Audrey gadis berkelas dan selevel keluarga kaya, relasi bisnis keduanya telah mempererat hubungan kekeluargaan.
"Gabriel harus siap. Keputusan Bagas tidak akan membuatnya gamang. Apapun terjadi tidak akan membuatnya surut bertahan. Life must go on," gumam gabriel lirih.
Keesokan hari, pertemuan dengan Bagas sedikit agak canggung. Suasana kafe dekat kantor sangat mendukung obrolan menjurus serius. Bagas tidak sanggup menatap bintik mata Gabriel yang memasrahkan diri atas takdirnya.
"Briel?"
"Maafkan, Mas Bagas. Kamu jangan berkecil hati bila tiada berjodoh dengan mas. Anggap aja masmu ini sebagai sodara. Mas tak kuasa menolak permintaan orang tua. Sekali lagi maafkan, mas, ya?" ucap Bagas sambil memegang kedua tangan Gabriel dan menggenggamnya erat.
Hanya rintik hujan yang mengerti tentang kepedihan hati ini. Aku rindu belaian hujan yang meneduhkan. Hujan lebih tau menghampiri di saat pamit mendahului pelanginya.
"Iya, mas. Gabriel juga sadar diri tak dapat memantaskan diri denganmu. Berbahagialah mas dengan pilihan orang tuamu," balas Gabriel diringi isakan tangis yang tertahan.
Seketika ia bangkit setelah berpamitan dengan Bagas sehingga ajakan Bagas pun tak dihiraukannya. Gabriel sesenggukan sambil mengusap bulir beningnya dengan memakai tisu. Ia berlari menjauh dari tatapan Bagas menuju halte mini di perempatan jalan.
Tetesan air yang jatuh dari langit semakin deras dan terasa menyentuh kulit ini. Gabriel menikmati rasa sakit yang tiada berkesudahan. Ia memejamkan mata sambil merasakan guyuran hujan membasahi tubuhnya.
Gabriel menghirup aroma hujan dalam-dalam. ia merasakan kesedihan yang mendalam terhapus oleh sapuan Hujan. Gabriel berdiri di tempat peneduh sembari mengeringkan baju yang basah terkena percikan hujan.
Tit...Tit..Tit..!
Tiba-tiba, sebuah mobil HRV warna putih mutiara muncul dengan kecepatan diperlambatkan. Seorang lelaki membawa payung berwarna hitam meneduhkan hati Gabriel.
"Briel. Maafkan Frans. Ayuk! naik mobil biar mas anterin masuk ke dalam."
"Jangan, Frans,"
"Gabriel tidak mau merepotkan siapa pun," pungkasnya dengan tenang
."Sayang, masuk mobil yuk! nanti kita basah kena hujan. Frans langsung menarik tangan Gabriel mengajaknya masuk ke mobil. Gabriel pake jaket Frans aja," ucap Frans sambil mengendarai mobil melaju memasuki area kampus.
Gabriel membuka pintu mobil perlahan dan keluar diikuti oleh Frans. Mereka berjalan beriringan memasuki ruangan kampus. Baju Gabriel yang basah segera mengering, karena blouse yang dipakai berbahan jersey mudah kering.
Tubuh Gabriel gemetar menahan kedinginan, Frans memberikan jaketnya untuk menghangatkan calon pujaan hati. Gabriel membiarkan genggaman tangan Frans terasa sangat nyaman dan menenangkan.
Gabriel menatap dengan bola mata membulat sambil bergidik.
"Maaf, Frans!"
"Sebaiknya jauhi Gabriel. Kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Mengertilah perasaan perempuan. Irena gadis yang baik dan tak pantas kau sakiti hatinya," tegas Gabriel dengan bola mata meredup.
Frans tersenyum tipis menatap wajah sendu Gabriel. Ia merengkuh bahu Gabriel seraya mengedipkan mata.
"Apa-apaan, ini!" teriak Gabriel berang.
"Jangan sentuh Gabriel di depan banyak orang," imbuhnya lagi.
Raut wajah Gabriel merengut tiada lazim, memancarkan kebencian pada lelaki yang mempermainkan cinta wanita. Seraut wajah yang mencerminkan kesetiaan dibalas oleh pengkhianatan.
"Sayang, kamu masih mau denganku?" tanya Frans sungguh-sungguh.
"Hm, apa-apaan, ini!"
"Hargai wanita sedikit. Kau permainkan hati seorang Irena. Di mana perasaanmu, Frans?" tuding Gabriel lantang.
"Irena, mana? Irena itu sepupu Frans yang baru pulang dari korea," sergah Frans sengit.
Antara keraguan di persimpangan hati, mata Gabriel berbinar indah menatapi Frans yang tersenyum. Pipi yang menghangat menampakkan gurat-gurat bersemu merah muncul dengan manis. Perlahan ia rangkul kekasihnya kembali. Kedua sejoli tanpa sadar berpelukan erat.
"Cinta dalam keraguan, memaksa hati menguji kesetiaan"