Manhattan, New York
Ruang kerja pribadi Amy Hirata lagi-lagi berubah menjadi kapal pecah. Meja kerjanya dipenuhi dengan kertas-kertas memo, hasil-hasil foto pemotretan serta kertas majalah hasil potongannya yang ia ambil dari majalah lain. Waktu sudah menunjukkan jam makan siang, namun Amy masih saja fokus di depan layar komputernya.
Amy mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah layar komputer dan memuntahkan seluruh kalimat yang ada dalam otaknya. Kesepuluh jarinya bergerak dengan lincah di atas keyboard komputer. Matanya mengamati layar komputer di hadapannya dengan mata menyipit. Kecepatan jarinya kini sudah menyentuh batas maksimal.
Amy sedang berusaha untuk menyelesaikan kalimat terakhirnya saat pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Dan, saat itulah konsentrasinya buyar. Amy mengangkat wajah ke arah pintu dan mendesis, "Ada apa, Al?"
"Ini sudah jam makan siang," Alison Whitfield mengangkat jam tangannya dan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya.
Wanita berambut merah panjang, bermata hijau dan berhidung mancung yang kini berdiri di ambang pintu ruang kerjanya itu adalah atasannya –editor utama sekaligus pemilik majalah Star Square yang bertugas menyunting dan menyaring seluruh bahan yang akan dicetak. Posisi Alison Whitfield memang yang tertinggi di perusahaan, tapi wanita berumur 33 tahun itu bukan orang yang senang memerintah seperti para bos pada umumnya. Alison adalah wanita yang ramah dan senang membantu. Saking ramahnya, Alison sampai meminta seluruh stafnya –termasuk Amy– untuk memanggilnya dengan nama depannya.
"Sudah selesai mengedit?" tanya Alison lagi, kali ini dengan sebelah alis terangkat.
Amy menggeleng dan berdiri dari kursi kerjanya lalu meregangka otot-ototnya. "Belum dan hampir selesai. Kau percaya kalau aku bisa menyelesaikan deadline hari ini?"
Alison menggeleng. "Aku percaya. Menyelesaikan deadline sebelum tenggat waktu memang bagus. Tapi itu bukan berarti kau tidak menjaga kesehatanmu."
Mereka berdua sama-sama editor majalah fashion yang cukup besar di Manhattan, tapi cara kerja mereka jauh berbeda. Alison lebih senang menyelesaikan pekerjaannya dengan santai dan tenang; sedangkan Amy, lebih senang bekerja dengan cepat. Saking cepatnya, Amy sesekali melakukan kesalahan dalam menulis.
"Bukankah lebih cepat lebih baik?" Amy balik bertanya dengan senyum menggoda.
"Ya, tapi setiap orang punya batasan dalam bekerja. Ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk istirahat." Alison berjalan menghampiri Amy kemudian menarik lengan Amy. "Sekarang, ayo ikut aku. Menu hari ini adalah makanan kesukaanku."
Amy menyeret kedua kakinya sambil berpura-pura menggerutu. "Masakan Meksiko?"
"Yup!"
* * *
Lima belas menit kemudian, Amy dan Alison sudah berada dalam restoran Meksiko yang terletak di pinggir jalan Greenwich Street. Mereka mendapatkan tempat duduk untuk berdua di sebelah jendela, membuat Amy bisa melihat ke arah jalan raya dengan sangat jelas. Pejalan kaki berjalan berlalu-lalang dan beberapa di antara mereka adalah anak-anak muda berpakaian trendy. Melihat pemandangan sibuk jalanan Tribeca, Amy perlahan-lahan mendapatkan inspirasi untuk tema majalah bulan depan.
Ketika burrito pesanan mereka sudah diantarkan oleh seorang pelayan, Alison tiba-tiba menyahut, "Oh, Amy. Apakah aku sudah memberitahumu kalau fotografer kita yang baru sedang dalam perjalanan ke sini?"
Mata Amy melebar. "Benarkah? Fotografer tetap? Pengganti James?"
Alison mengangguk. "Aku akhirnya berhasil meyakinkan dia kalau pekerjaannya akan mudah dan setelah menolak tiga kali, dia akhirnya menerima tawaranku."
"Wah, akhirnya kita berhenti menggunakan outsourcing."
"Ya, dan kau tahu apa?"
"Apa?" tanya Amy.
Senyum Alison mengembang. "Dia orang Jepang. Sama sepertimu!"
Senyum Alison berhasil menghipnotis Amy untuk ikut tersenyum. "Wah, benarkah? Oh, akhirnya aku bisa bertemu dengan kaum sebangsaku di Manhattan."
Oh, ya. Tentu saja Amy sangat senang mendengar kabar kalau akan ada rekan kerja yang berasal dari negara yang sama dari tempatnya berasal. Sejak kecil ia tumbuh di New York, Amy belum pernah memiliki teman yang berasal dari Jepang. Semua teman-teman Asia-nya kebanyakan orang-orang dari Korea, Cina atau Indonesia. Amy pun tidak pernah diajari bagaimana bicara menggunakan Bahasa Jepang sejak kecil. Ayah dan Ibunya berbicara dalam bahasa Inggris. Akhirnya sampai saat ini, Amy menyandang status wanita berketurunan Jepang yang tidak bisa bahasa Jepang.
Alison menepuk tangan ringan. "Karena kau kelihatannya sangat senang dengan kabar ini, bagaimana kalau kau membantunya nanti?"
"Apa? Membantunya?" Amy mengerjap bingung.
"Ya, membantunya," jawab Alison. "Fotografer kita itu akan tiba tiga hari lagi dan aku belum menemukan tempat tinggal yang tepat untuknya. Aku ingat kau bilang salah satu apartemen di gedung tempat tinggalmu kosong. Bisakah kau menyewakan tempat itu untuknya?"
"Ah, apartemen itu?"
Amy masih ingat. Dua minggu yang lalu ia memberitahu Alison kalau salah satu penghuni di gedung apartemennya baru saja pindah dan sampai saat ini masih belum ada yang menempati. Gedung apartemen yang menjadi tempat tinggalnya sejak lima tahun yang lalu itu bukanlah gedung pencakar langit seperti yang terletak di Midtown Manhattan.
Apartemen tempat ia tinggal itu hanyalah sebuah gedung peninggalan jaman Belanda, bertingkat empat dan hanya memiliki sepuluh unit apartemen di dalamnya. Masing-masing unitnya terdiri dari satu kamar tidur, ruang duduk yang sempit, dapur terbuka dan kamar mandi tanpa pemanas air. Gedung apartemennya itu hanyalah tempat sederhana yang terletak di gang kecil di North Madison Square. Amy memilih untuk tinggal di situ karena pemiliknya adalah teman baik ibunya. Ia yakin tempat itu adalah daerah yang aman untuk ditinggali.
Tapi, Amy tidak yakin kalau fotografer baru majalahnya itu akan menyukai suasana di sana. Lingkungan di sana begitu ramai.
"Kau yakin akan membiarkannya tinggal di Nomad ? Di gedung apartemenku? Kau tahu betul lingkungan di sana agak ramai. Apakah dia orang yang menyukai keramaian?"
Alison mengendikkan sebelah bahu. "Aku juga belum tahu. Tapi, itu jauh lebih baik kan daripada tidak menyediakan tempat sama sekali? Lagipula, biaya sewa apartemenmu juga tidak begitu mahal. Pria itu pasti suka."
"Siapa namanya?"
"Siapa?"
Amy mengangkat dagu. "Si fotografer baru."
"Ah.... Namanya Kai Yunokawa."
***
Tokyo, Jepang
"Hei, Kai! Kudengar kau akan pergi ke Amerika, ya? Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Kai Yunokawa baru saja menempelkan ponselnya ke telinga, ia belum sempat melihat siapa penelepon yang membuat ponselnya berdering. Namun begitu mengenali suara sahabatnya di ujung sana, ia langsung tersenyum. "Oh, halo, Keisuke. Hmm, percaya atau tidak, aku baru saja hendak meneleponmu saat kau meneleponku tadi."
Keisuke Kuno mendesis. "Aku tahu kau berbohong."
Kai duduk di atas ranjang tidur di kamarnya lalu menatap koper besar terbuka yang sudah dipenuhi dengan tumpukan baju-baju. Semuanya sudah siap, barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam dus dan tas ransel. Tiket menuju Manhattan tergeletak di atas meja, bersebelahan dengan paspornya. Melihat pemandangan ini, entah kenapa Kai ingin menangis. Apalagi jika harus mendengar suara Keisuke seperti ini.
"Aku tidak berbohong," ujar Kai ringan. "Aku sungguh-sungguh ingin memberitahumu. Tapi aku sedang membereskan pakaianku tadi, jadi aku tidak langsung meneleponmu."
"Aku mendengar kabar dari orang tuamu kalau kau mau pergi ke Amerika," sergah Keisuke. "Untuk apa kau ke sana?"
"Pekerjaan. Sebuah perusahaan majalah menawarkanku kontrak kerja selama satu tahun di sana. Dan aku menerimanya."
"Pekerjaan? Menjadi fotografer?"
"Ya," jawab Kai, singkat.
Hening. Tidak terdengar suara apapun selama beberapa detik. Kemudian, "Apa... tidak terlalu cepat untukmu?"
Kai mengerjap lalu menundukkan kepalanya. Apakah terlalu cepat? Sepertinya tidak. Kai tidak yakin ia bisa bertahan lebih lama lagi di Tokyo. Semua sudut kota, pemandangan, restauran bahkan orang yang ia jumpai di pinggir jalan mengingatkannya pada Kyoko. Dan ia bisa gila jika ia tidak cepat-cepat pergi dari tempat ini.
Kyoko Nagata adalah tunangannya. Dia adalah wanita yang seharusnya sudah menjadi isterinya saat ini. Sayangnya, wanita itu sudah pergi meninggalkannya. Pergi tanpa meninggalkan pesan maupun mengucapkan selamat tinggal. Kyoko Nagata telah pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali; membiarkannya tersudut di dunia berbeda yang dipenuhi dengan jutaan kenangan yang menyakitkan.
"Aku membutuhkan waktu untuk sendiri," Kai akhirnya menjawab. "Dan ini adalah saat yang tepat bagiku."
Keisuke mendesah berat. "Ya, aku mengerti. Kupikir justru kejadian itu membuatmu tidak bisa apa-apa. Aku senang ternyata kau masih... kau tahu, normal."
"Oh, ya. Tentu saja aku masih normal. Kau mengharapkan aku masuk rumah sakit jiwa atau semacamnya?" Kai tersenyum geli.
"Maksudku, kalau kau tidak normal, kau tidak akan bisa mengambil gambar pernikahanku tahun depan. Padahal, aku sudah merencanakan sejak SMA kalau kau harus menjadi juru kamera di hari pernikahanku, kelak."
Kai adalah fotografer yang cukup dikenal banyak orang di Tokyo. Hasil jepretannya terpampang di majalah-majalah, iklan serta pameran internasional. Kai bahkan pernah terdaftar menjadi fotografer profesional Tokyo nomor dua oleh persatuan media Jepang.
"Menjadi orang gila atau tidak, aku sudah berjanji akan menjadi juru kamera di hari pernikahanmu," Kai tersenyum lebar dan memeriksa kopernya dengan lirikan mata.
Keisuke terkekeh. "Ya, ya. Aku juga sudah menulis deklarasimu itu dalam jurnalku."
Jika Kai dikenal sebagai fotografer terkenal di Tokyo, sahabatnya –Keisuke Kuno– dikenal sebagai reporter ternama di salah satu televisi swasta Jepang. Pekerjaannya adalah mengumpulkan informasi dan mencatatnya dalam buku jurnalnya. Karena itulah, ia bahkan menulis janji Kai dalam buku jurnalnya.
"Kapan kau berangkat?" Keisuke tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Besok."
"Besok?!"
"Ya."
"Astaga. Baiklah, kalau begitu aku akan menginap di tempatmu malam ini dan mengantarmu besok."
"Bukankah kau harus membawakan berita pagi besok?"
Keisuke mendengus. "Aku bisa minta ijin. Apa sih yang tidak bisa kulakukan?"
Mereka berdua tertawa. Lalu Kai berdeham, "Kalau begitu, sampai jumpa malam ini."
"Oh, ya. Baiklah. Sampai jumpa. Oh, Kai?"
Kai hampir mengakhiri panggilan saat ia mendengar suara Keisuke memanggilnya. Ia pun mendekatkan kembali ponselnya. "Ada apa?"
Keisuke tidak langsung menjawab. Lalu, "Aku yakin Kyoko sangat senang melihatmu saat ini."
Sudut-sudut bibir Kai tertarik membentuk seulas senyum tipis. "Terima kasih, kawan."
Kai menutup telepon lalu meletakkan ponselnya di atas ranjang.
Inilah pertama kalinya Kai memutuskan untuk melangkah setelah satu bulan terpuruk dalam kesedihan. Ia akan meninggalkan Tokyo. Semua tentang Tokyo dan wanita itu. Kali ini ia pergi untuk mengubur semua kenangannya dan Kyoko. Ia akan pergi seperti wanita itu sudah pergi. Ia ingin jauh dari Jepang untuk sementara waktu.
Mulai besok, Kai akan memulai lembaran baru. Sebuah kertas putih yang tak bertitik. Mulai besok, ia akan menjadi Kai yang baru. Dan hidupnya takkan pernah sama lagi.