Saat Viona sedang menunggu di depan lift, untuk menuju ke ruangan di lantai 2. Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah belakang.
Gadis cantik berambut pirang itu pun menghentikan langkah lalu membalikkan badannya dengan cepat.
Sesosok pria tinggi, dengan rambut pirang keemasan yang disisir rapi, tersenyum ramah kepada Viona.
"Selamat pagi, Nona Ryders," sapa pria yang kini berdiri di sebelah Viona.
"Selamat pagi Tuan Daniel Alexander," balas Viona dengan ramah. Perasaan gadis cantik itu berbunga-bunga karena disapa oleh Daniel.
Tidak lama kemudian pintu lift terbuka. Seketika perasaannya berubah seketika, saat melihat sesosok pria yang ada di dalam lift.
Tubuh Viona, seakan membeku melihat pria tinggi gagah bermata biru di dalam lift yang memandangnya dengan tatapan dingin. Rasa segan bercampur takut mulai merasuk di jiwa, gadis muda berumur dua puluh tiga tahun itu.
'Wah, bukankah dia itu pria yang kemarin aku temui di Hotel Ritz Carlton?' batin Viona. Sekilas bayangan akan pertemuan pertama di dalam kamar hotel mewah kemarin, berkelebat di benak Viona. Wajah gadis itu menjadi pucat pasi saat mengingat kejadian kemarin.
"Nona Ryders, anda tidak ikut masuk lift?" tanya Daniel penasaran melihat sikap Viona yang hanya terdiam di depan lift.
"Oh, maaf silahkan duluan saja. Saya ada keperluan mendesak," kilah Viona dengan sopan.
"Baiklah, kalau memang begitu," balas Daniel Alexander disertai dengan senyuman sopan.
Sekali lagi Viona merasa senang saat melihat senyuman ramah yang terlukis di wajah tampan nan kalem, milik sang general manager Daniel Alexander.
Tidak lama kemudian, pintu lift kembali tertutup.
"Huft, syukurlah," hembus Viona sambil menyeka keringat dingin di dahinya dengan sapu tangan berwarna putih. Ada perasaan lega di batin gadis cantik itu.
Viona akhirnya memutuskan untuk menggunakan lift lain, yang berada di sebelah selatan untuk menuju ke ruangannya di lantai dua.
"Pilihan yang bagus Viona, lebih baik menghindar daripada menimbulkan masalah baru. Tuan Daniel tidak masalah, tetapi pria asing bermata biru itu sungguh menakutkan," guman lirih, gadis berambut panjang itu seorang diri di dalam lift.
***
Sementara itu, Daniel dan Richard tampak canggung di dalam lift. Mereka berdua sedang menuju ke ruangan kerja masing-masing. Daniel Alexander di lantai sepuluh, Richard Alexander di lantai sebelas.
Daniel mencoba menghilangkan kebekuan di antara mereka dengan mencoba sedikit berbasa-basi.
"Selamat pagi. Nice weather isn't?" sapa Daniel dengan ramah.
"Pagi. Yeah, nice," balas Richard singkat.
"Bagaimana keadaan Bibi Luciana di Baltimore, Amerika?" tanya Daniel dengan ramah.
"Kenapa kamu menanyakan tentang keadaannya?" balas Richard.
"Ah, tidak aku hanya mengkhawatirkan keadaan Bibi Luciana," tukas Daniel.
"Berhentilah bersikap seolah kau benar-benar peduli padaku dan orang di sekitarku, Daniel," tandas Richard Alexander.
Mendengar balasan jawaban dari Richard yang sedikit tidak ramah, membuat Daniel tersenyum. Namun, dibalik senyuman itu tersimpan perasaan jengkel terhadap Richard Alexander.
'Orang ini, masih tetap sama saja perilakunya. Entah kenapa, ayah menyuruhnya pulang kembali ke London dan memberinya jabatan sebagai CEO di perusahaan ini. Seharusnya ia tetap di Amerika, tinggal di sana selamanya,' batin Daniel Alexander.
Di saat yang bersamaan Richard meliriknya dengan tatapan dingin. Tatapan mata, kakak tirinya itu membuat Daniel merasa tidak nyaman.
'Ups, sepertinya dia bisa mendengarku. Tidak seharusnya aku menanyakan tentang hal itu dan aku tidak mau mencari masalah dengan pria ini,' batin Daniel.
Daniel, kemudian mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh ya, berkas yang anda minta kemarin sudah saya siapkan."
"Baguslah, kalau begitu," jawab Richard Alexander secara singkat.
"Tenang saja. Nanti akan saya antar ke ruangan anda," imbuh Daniel.
"Baiklah, terima kasih banyak," jawab Richard.
Ting. Bunyi tanda, lift sudah sampai pada lantai yang dituju. Pintu lift pun terbuka secara otomatis.
"Selamat bekerja, see you later," pamit Daniel dengan ramah sambil melangkahkan kaki keluar lift.
Ketika, pintu lift akan kembali menutup, Richard menahannya dengan satu tangan, sehingga pintu lift terbuka kembali secara otomatis.
"Tunggu dulu, Daniel. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu," seru Richard Alexander sambil melangkah keluar lift menyusul adik tirinya.
"Apa kau ada waktu sebentar, Daniel?" tanya Richard.
Daniel menghentikan langkahnya lalu membalikkan badan. Ia agak sedikit merasa terkejut mendengar pernyataan dari saudara tirinya. Pasalnya, sudah lama sekali mereka tidak saling bicara terutama semenjak Richard pindah ke Amerika.
"Yah, tentu saja. Mari kita bicara di ruanganku," ajak Daniel dengan ramah.
'Tumben sekali. Pasti ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan. Karena tipe orang seperti dia, tidak akan menghabiskan energi pada sesuatu hal yang dianggap tidak penting bagi dirinya,' batin Daniel Alexander.
Richard membalasnya dengan anggukan kepala secara ringan. Mereka berdua akhirnya sampai di ruangan general manager yang terletak di ujung.
Seorang wanita muda dan cantik yang berada di ruang resepsionis, menyapa mereka dengan ramah dan sopan.
"Selamat pagi Tuan Alexander," sapa wanita cantik itu. Dia adalah Clara Adams sekertaris pribadi dari Daniel Alexander.
Daniel dan Richard membalas sapaan Clara dengan anggukan kepala ringan.
Kemudian, Daniel menempelkan telapak tangannya di papan sensor untuk membuka kunci pintu.
"Mari silahkan masuk," ujar Daniel dengan ramah, sambil membuka daun pintu ganda yang terbuat dari kayu jati.
Ruangan general manager milik Daniel, terlihat sangat luas dan elegan di dominasi dengan warna putih marble.
Ada satu set sofa berwarna hitam yang terletak di ruang khusus untuk menerima tamu di bagian tengah. Dihiasi lengkap dengan meja kaca transparan berbentuk persegi, dengan model minimalis. Sebuah patung kuda berwarna emas menghias di atas meja kaca itu.
"Silahkan duduk," ucap Daniel mempersilahkan kakak tirinya itu duduk.
"Terima kasih," balas Richard sambil duduk menyilangkan kaki di sofa.
"Apa anda mau secangkir hangat espresso coffee?" tawar Daniel.
"Tidak usah, terima kasih. Aku kesini bukan untuk minum kopi," sergah Richard Alexander.
"Lagipula, waktu yang kumiliki tidak banyak, jadi aku akan langsung to the point saja," imbuhnya.
Richard Alexander memang tipe, yang tidak suka bertele-tele atau pun berbasa-basi. Jika, ada sesuatu masalah pria itu akan langsung 'to the point' menyampaikan inti permasalahan atau maksud hatinya. Tanpa perlu berpanjang lebar. Hal itu pula,yang terkadang membuat orang salah paham terhadap pribadi Richard.
Daniel, pria berambut pirang keemasan itu, duduk di single sofa. Berhadap-hadapan dengan Richard.
"Yah, silahkan kalau begitu. Apa ada yang bisa saya lakukan untuk anda?" ucap Daniel dengan ramah.
Richard menghembuskan nafas panjang, sejenak.
"Aku ingin melihat berkas itu," ujar Richard secara singkat.
"Berkas?" tanya Daniel, sedikit tidak mengerti dengan perkataan saudara tirinya itu. Pasalnya ada ratusan berkas di file data laptop milik Daniel, semua itu data resmi perusahaan.
"Jangan, pura-pura lupa Daniel! Bukankah, kau tadi mengatakan akan memberikanku berkas yang aku minta kemarin," tegas Richard Alexander.
"Oh. Tentu saja, berkas itu telah siap. Tenang saja."
"Bahkan Tim Personalia dari Divisi Human Resources, sudah menemukan kandidat sekretaris, yang sangat sesuai dengan kriteria yang anda minta," imbuh Daniel dengan ceria.
"Benarkah?" tanya Richard singkat.
"Tentu saja. Percayalah padaku," jawab Daniel dengan percaya diri.
"Dari 50 orang kandidat yang melamar dan setelah melalui 5 tahapan seleksi ketat. Meliputi tes bahasa asing, wawasan internasional, komputer, tes kepribadian, dan kompetensi kerja, tersisa hanya 5 orang."
"Dari 5 orang itu saya dan Tim HR melakukan tes terakhir, hanya dia yang berhasil lolos dengan nilai memuaskan. Dia bahkan lulusan S1 terbaik, dengan GPA tertinggi 3.70 dan mendapat predikat Cumclaude dari Universitas Oxford," terang Daniel panjang lebar.
Richard menghela nafas ringan merasa sedikit bosan mendengar penjelasan yang panjang lebar.
"Hmmph, kau tidak usah banyak omong Daniel," sergah Richard.
"Cepat berikan padaku berkasnya dan panggil kandidat itu sekalian kemari!" perintah Richard Alexander dengan dingin.
"Karena aku ingin menilai dan melihatnya sendiri!" imbuh pria bermata biru itu.
"Baiklah. Tunggu sebentar," jawab Daniel dengan tenang.