Chereads / Floire / Chapter 23 - Chapter 23

Chapter 23 - Chapter 23

Teriakan seorang putri yang sedang ketakutan, menggema. Memenuhi seisi ruangan, batin Agatha berteriak sekeras mungkin seperti usaha ia menepis jari seseorang yang mencoba menyentuhnya.

Tubuh yang masih terduduk ketakutan, tangan masih menepis ke sana kemari, dengan mata yang masih menutup rapat, tak ingin melihat apa yang didepannya, Agatha hanya mengandalkan mulutnya, ia berseru, "Hei! berhenti! apa apaan ini, tidak lucu tau!"

Suara tawa halus terdengar, menahan rasa gemas melihat Agatha seperti anak kecil yang takut dengan badut, "Hoho, benarkah ini menakutkan?"

Jari jemari halus itu terlihat mencoba akrab, semakin mencoba memaksa Agatha membuka matanya saat itu Agatha menghempaskan tangan halus itu.

Tak lama setelah menghempaskan tangan wanita itu, Agatha yang ketakutan memilih berdiri sembari menutup matanya. Terdengar rintihan kesakitan "Sakit sekali, apa semua putri kasar begini?"

Tangan masih menutup mata dengan sangat amat rapat, tubuh terpaksa berdiri tegap, kaki sedikit gemetar, tersisa tekat dan keberanian Agatha, sembari menunjuk sembarang tempat dengan memaki, "Siapapun itu, sangat tidak lucu! terdengar dari suaramu, pasti kau itu perempuan kan!"

Lagi lagi suara tawa halus terdengar, tak bisa di tahan lagi. Selang semenit kemudian, suara tawa itu pun menggema, lepas kendali, membuat Agatha terpaku diam.

"HAHAHAHA, BENAR BENAR INI SANGAT LUCU! seharusnya aku mendokumentasikan hal ini!" suara tawa menggema terdengar, di iringi beberapa tepukan baju, benar benar menggelikan hati. Agatha terdiam, dengan mata yang masih di tutup rapat, ia bahkan tak berkata sepatah apapun setelah mendengar tawaan yang mengerikan itu.

"Air mataku sampai keluar, terima kasih tuan putri mengizinkan saya tertawa lepas, sedari tadi saya menahan setelah melihat tuan putri berlagak ke sana kemari," wanita itu...terlihat kembali tenang, hembusan napas Agatha terdengar, ia masih menutup mata miliknya, "Siapa yang mengizinkan mu tertawa? apakah itu hal yang lucu? aku bahkan tak tertawa sedikitpun."

Suasana mendadak tegang, suara tawa menggema bahkan tak terdengar lagi, wanita itu terdiam, terpaku. Wajah Agatha mendadak serius, ia melihat alis yang mengkerut heran dan kesal, perasaan itu tercampur dan menyatu menjadi ekspresi Agatha saat ini.

Kini situasi berbalik, "HAHAHAHAHA, emang enak ketawain orang, rasain nih, biar tau cara menghargai orang." seru batin Agatha. Kini hatinya tertawa geli, meski tak melihat ekspresi nya, Agatha bisa merasakan energinya yang masih menetap di sekitar Agatha.

Seketika ruang sekitar menjadi hampa dengan hilangnya suara tawa sebelumnya, keduanya mencoba serius, dengusan napas terdengar perlahan. Agatha masih menutup mata miliknya, berusaha tegas berdiri di tengah tengah ruangan besar, ia bahkan tak tau siapa yang mengerjai dirinya. Selintas terlewat di pikiran Agatha, "Apa benar dia manusia? atau ternyata hal kasat mata yang kebetulan iseng?"

Situasi semakin sunyi, tak ada satu pun pihak yang ingin berbicara, tak lama Agatha merasa aneh dengan energi yang ia rasakan, "Energi ini, terasa tidak asing. Apa aku mengenal dia?" Hati Agatha ragu dan terus banyak bertanya, jari miliknya terasa lelah berusaha bertahan menutup kedua bola mata Agatha.

Helaan napas pun terdengar, Agatha mencoba mengangkat suara dengan rasa penasaran, "Siapa kamu? apa kita pernah kenal sebelumnya?" suara Agatha bergema di ruangan besar dan megah, setelah itu kembali diam, tidak ada respon yang terdengar. Kini ruang terasa menyempit, rasa takut memenuhi ruangan megah itu. Tarikan napas Agatha meluapkan kekesalannya miliknya, ia berusaha tegas dan berani, "Baiklah jika tidak ada jawaban, kurasa cukup sampai sini saja dan aku tak perlu membuka tangan ku ini, biar lah dirimu menjadi rahasia."

Hati terasa ringan, kaki dengan ringan melangkah ke depan, masih dengan menutup mata, Agatha berjalan cepat ke depannya, tidak peduli itu arah yang salah atau tidak, secepat mungkin ia harus menjauhi sesosok makhluk itu.

Jari jemari miliknya perlahan menurun, membuka matanya melihat apa yang seharusnya ia lihat, helaan napas bersyukur terdengar, Agatha menunduk memegang lututnya yang hampir lemas. Di tengah tengah perjalanannya keluar, ia terduduk lemas setengah mati, "Benar saja dugaan ku, tidak mungkin ada manusia yang seberani itu dengan ku, bahkan menyapa saja tidak ingin, lagi pula duduk disini terasa jauh dari dirinya."

Napas tak beraturan, keringat bercucuran sedikit demi sedikit, kaki terasa lemas dengan perasaan di penuhi ketakutan, kini membuat Agatha merasa leluasa bernapas setelah menjauhi makhluk itu, setelah berdiam lama, 5 menit pun berlalu. Ia duduk dengan perasaan lega sembari memperhatikan sekitarnya, apa ada yang aneh sebelumnya.

Tubuh miliknya mulai bangun kembali, memegang lututnya dengan ambisi penyembuhan sang adik, ia melupakan bahwa tujuan utama adalah melewati sang Ayah. Tiba tiba terlintas pikiran mengehentikan langkah pertamanya, "Jangan jangan, yang tadi itu...Ayah?!" bergegas ia melangkahkan kakinya secepat kilat, ia mencoba berlari sepanjang jalan yang ia tempuh membuat pikirannya campur aduk.

Napas terengah engah tak beraturan mulai terdengar ketika memasuki jalan selanjutnya, ia membuka pintu dengan kepala menunduk, mengatur napas, lalu terdiam sejenak memegang ganggang pintu yang amat besar, 4 kali lipat besarnya dari tubuh Agatha.

Kaki panjang miliknya berusaha memaksa untuk terus melangkah, satu demi satu langkah memperbaiki postur Agatha, napas yang terengah engah mulai membaik selayaknya. Berjalan santai sembari melihat beberapa sudut dan memperhatikan foto foto yang terpampang jelas. Semua sangat rapi dan bersih terkadang hiasan hiasan emas yang mengkilap membuat Agatha kagum, seberapa bersihnya istana ini.

Di saat dirinya tenggelam dengan rasa kagum, Agatha teringat tujuan miliknya, ia memilih berjalan cepat, secepat mungkin. Tidak akan terdengar napas yang terengah engah, kaki yang kelelahan, atau bahkan suara sol sepatu tak beraturan.

Suasana sepi, tak terlihat siapapun berkeliaran, semua sibuk dengan kesibukannya masing masing, dengan istana yang di penuhi 75% para pekerja, dengan sisa pelengkap utama, yaitu keturunan Floire.

Langkah demi langkah di lakukan Agatha, dengan bergumam sepanjang jalan, berbicara dengan dirinya sendiri untuk menemani perjalanan yang sepi, terkadang perasaan senang dan riang milik Agatha terganti dengan perasaan sedih, ketika mencoba mengingat kehadiran Anatha yang selalu menemani dirinya.

Kini Agatha berjalan sendiri, dengan langkah yang hampa, suasana sepi, perasaan sedih adalah teman terbaik yang ia miliki saat ini. Hembusan napas menyerah terus terdengar seakan tak sanggup menjalani situasi saat ini, terlintas di pikiran Agatha, Anatha bagaikan reinkarnasi dari ibunya, sikap yang ia miliki tertanam persis dalam diri Anatha.

Perjalanan dalam sebuah masalah terasa jauh ketika di jalani sendiri, langkah kaki miliknya mulai menikmati perjalanan hampa yang di jalani, menatap sedih kearah lukisan yang terjebak dalam sebuah kanvas, Langkah Agatha terhenti, matanya penuh keanehan ketika tersentak melihat sebuah lukisan.

Terlukis seorang pria penunggang kuda menancapkan pedang tepat di dada seseorang.