"Ra, aku ke toilet sebentar ya," ujar Dinda, beranjak dari duduknya.
Kinara mengangguk. "Toiletnya masih di tempat yang sama?" tanya Dinda, berhasil membuat Kinara menahan tawa karena kesal.
"Sama-lah," sahut Kinara, dibalas dengan senyuman lebar dari Dinda.
Dinda melangkah menyusuri rumah besar Kinara, menuju dapur, karena toilet di samping dapur, itu jaraknya lebih dekat daripada toilet yang lainnya.
"Kasihan Nyonya Kinara, berbulan-bulan mendapatkan kekerasan dari suaminya sendiri," sayup-sayup terdengar suara perempuan yang merupakan pelayan rumah ini.
Dinda menghentikan langkahnya, menyamping, bersandar di dasar dinding, menguping pembicaraan mereka.
"Iya, andai saja Nyonya Kinara tidak melarangnya, aku pasti sudah melaporkannya pada, Tuan Besar Baskara," sahut Aida.
Perbincangan mereka perlahan semakin pelan, tidak bisa Dinda dengar dengan jelas lagi.
Dinda melanjutkan langkah, berjalan menghampiri ketiga pelayan yang sedang bergosip itu.
"Aku mendengar pembicaraan kalian," tandas Dinda. Spontan, ketiga pelayann itu menundukan kepala, meremas jari sendiri dengan tangan lainnya.
"Maaf, Nona, jangan adukan ini pada Nyonya Kinara," pinta Aida, dengan wajah memelasnya.
Dinda duduk di mini bar counter di dapur itu, menatap ketiganya satu per satu.
"Katakan semuanya dengan jelas padaku, apa yang sebenarnya terjadi?!" seru Dinda. Di abaikan oleh ketiga pelayan itu.
"Baiklah, jika kalian tidak mau mengatakanya ... Aku akan mengadukan semuanya pada Kinara, bahwa kalian suka membicarakannya di belakang!" Dinda mengancam ketiga pelayan itu, hingga mereka mengangkat kepalanya, saling bertatapan satu sama lain.
Mereka jelas takut, karena mereka memiliki tanggung jawab, dan mengharuskan mereka bekerja di sini.
"Aku yakin, Kinara pasti akan memecat kalian, jika dia tahu bahwa dia di gosipkan pelayannya sendiri," ujar Dinda, dengan begitu santainya.
"Kami akan menceritakannya, tetapi, tolong jangan bilang pada Nyonya Kinara, bahwa kami membicarakannya," imbuh Aida, sang kepala pelayan.
"Tenang saja, kalian tidak akan sampai di pecat, jika aku yang memintanya. Kalaupun kalian di pecat, aku akan memberi pesangon dua kali lipat dari yang Kinara berikan," ujap Dinda. "Selain itu, kalian juga akan bekerja di rumahku, intinya, kalian tidak perlu khawatir dengan masalah uang," tutur Dinda, menjelaskan sedetail mungkin agar ketiga pelayan itu mengerti, tidak banyak bertanya.
Akhirnya, ketiga pelayan itu pun menjelaskan semuanya, semua yang mereka tahu tentang semua kelakuan Keano.
Dinda terdiam seribu bahasa, tidak percaya dengan semua yang pelayan itu katakan.
Dinda tidak menyangka bahwa Kinara yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu mengalami nasib buruk seperti ini.
Dinda juga tidak menyangka, bahwa Kinara akan berbohong padanya.
Tanpa merka sadari. Kinara tengah berdiri tak jauh dari mereka, Kinara menyaksikan sepenggal dari cerita para pelayan setianya. Air matanya berjatuhan, di ingatkan dengan berbagai tragedi yang terjadi.
Mirna, salah satu dari para pelayan itu melihat Kinara, pandangannya terpaku pada Kinara yang sudah berlinang air mata.
Dinda yang melihat gelagat aneh Mirna, menoleh mengikuti sorot pandangnya.
"Ra?" pekik Dinda, bangkit dari duduknya, berjalan dengan cepat menyusul Kinara, yang sudah berbalik, berjalan setengah berlari, sembari mengusap sisa air mata di pipinya.
Sedangkan para pelayan itu begitu gelisah saling bertatapan satu sama lain.
"Bagaimana ini? Bagaimana jika kita di pecat, bagaimana nasib anakku di kampung?!" Mirna cemas bukan main, tetapi di tenangkan oleh Aida, yang mengulang perkataan Dinda.
"Tenang saja, Nona Dinda itu bisa di percaya, Nona Dinda tidak mungkin mengingkarinya," tutur Aida. Kembali berusaha menenangkan, walau sebenarnya hatinya sama gelisah seperti mereka berdua.
Sedangkan Kinara ... Dia berhasil di hadang Dinda, Kinara menatap Dinda dengan mata sembabnya.
"Mengapa kamu menggali kehidupanku yang kelam? Apa kamu tahu, sesakit apa aku ketika mengingatnya?" seru Kinara, diantara isak tangisnya.
"Aku hanya ingin tahu, jika kamu yang mengatakannya, jelas aku tidak akan bertanya pada siapa pun, termasuk pelayanmu!" sahut Dinda, tak kalah kencang dari suara Kinara.
"Apa kamu tidak menganggpku sebagai keluargamu lagi? Bukankah, dulu kamu bilang, bahwa aku sudah di anggap sebagai keluargamu sendiri? Lalu mengapa, kamu merahasiakan ini?" tandas Dinda, kesal karena Kinara sudah terlalalu tertutup dengannya.
Kinara diam berjuta bahasa, hanya air matanya saja yang menjawab semua ocehan Dinda.
"Jika kamu memang melupakan hal itu, tidak masalah, tetapi tolong, jangan lups bahwa kita ini sahabat, Ra!" timpal Dinda.
Ocehan Dinda, berhasil kembali menjatuhkan air mata Kinara.
"Aku terlalu lelah untuk menceritakannya, lagipula, aku baik-baik saja. Keano itu tidak seburuk apa yang kamu dengar!" jawab Kinara, parau.
"Bohong! Aku tahu dari mana asal luka di di dahimu itu! Aku tahu mengapa kamu menjadi kurus seperti ini, aku tahu segalanya!" tegad Dinda.
Kinara menunduk dan menangis, hampir selurih wajahnya tertutuoi surai panjang dan halusnya itu.
Melihat hal itu, Dinda pun memeluk Kinara, membiarkannya menangis di pelukannya.
'Aku tidak akan membiarkanmu tersiksa, Ra! Aku akan membantumu untuk mengatasi semua masalah ini,' batin Dinda.
"Aku bingung, Din," ucap Kinara, dengan air mata yang terus mengalir deras.
"Sudah, tinggalkan saja suami biadabmu itu!" seru Dinda, secara tidak langsung, menjadi sangat membeci Keano.
"Aku tidak bisa melakukannya, terlalu banyak alasan, yang mengharuskanku tetap bertahan dengannya, terlalu banyak hal, yang membuatku selalu terikat dengannya," sahut Kinara, berbicara sembari menangis di pelukan Dinda.
Itu memang benar, Banyak hal yang memaksanya harus tetap terikat dengannya. dan semua itu berkaitan dengan bakti dan balas budi.
Kinara bodoh, orang tua Keano pernah menyelamatkan Baskara, dan kini, kesuciannya berhasil di renggut Keano.
"Aku mengerti, tetapi jangan menyiksa dirimu sendiri dengan cara ini!" seru Dinda, masih sangat kesal.
Di sisi lain ...
Keano baru saja selesai meeting dengan klientnya, mendiskusikan bisnis baru yang akan dia kelola, beberapa hari yang akan datang.
Keano masih berada di caffe, menatap layar laptop dengan tatapan kosong, berpikir keras untuk menaikan perusahaannya, agar dia bisa menyusul Allice ke German,
Keano memainkan jemarinya di atas keyboard, mengetik proposal baru, untuk bisnis berikutnya.
Tarian jemarinya terhenti, ketika melihat cincin pernikahannya dengan Kinara.
Perasaan Keano semakin kacau tidak karuan, membayangkan perlakuannya terhadap Kinara, yang mungkin terlalu sadis.
Ya, Keano terlalu sering menyiksa Kinara, hingga dia sakit-sakitan, ada rasa kasihan, rasa bersalah, dan benci berpadu menjadi satu.
Entah mengapa Keano tidak bisa menahan emosinya ketika sedang bersama dengan Kinara.
Di lain tempat ...
Tepatnya di rumah megah Baskara. Seorang gadis cantik berambut panjang, kulit putih, berparas menyerupai Kinara, baru saja turun dari mobil lamborghini berwarna kuning.
Dia berjalan dengan anggun, mengenakan gaun hitam panjang hampir menyentuh tanah, tanpa lengan, dengan sarung tangan transparant panjang hingga ke sikutnya.
jemarinya di hiasi dengan cincin berlian di jari manis, dan juga jari telunjuknya. Dia semakin menawan dengan rambut tergelung, di hiasi manik-manik mengkilat di rambut yang tergelung itu.
Gadis itu memasuki rumah Baskara begitu saja, tanpa menekan bell, atau permisi.