Sudah waktunya jam pulang, dengan semangat pemuda itu berlari kecil ke arah minimarket tempat ia bekerja seperti biasa.
Raut wajah yang penuh akan kebahagiaan terlihat jelas.
Sampai juga.
Tempat dimana ia bekerja demi bertahan hidup sambil mencoba berubah sedikit demi sedikit.
***
Hari akan malam, terlihat seseorang memasuki minimarket dengan ekspresi agak marah.
Berambut abu-abu, bersama sorot mata tajam warna kuning dan wajah dingin seolah tak ingin didekati.
Memakai jaket hitam dengan sebuah bulu warna putih melingkar dibalik lehernya bersama baju abu-abu sedikit hitam.
Terdapat sebuah plester di bagian pipi kanan orang tersebut.
Dia bertanya kepada sang karyawan penuh akan kekesalan.
"Hei! Apa kau punya info penginapan?" tanyanya menatap tajam pemuda berambut kuning itu tanpa peduli situasi.
"Y-Yah, soal itu entahlah."
Sebuah hentakan tangan satu kali pada meja kasir membuat si karyawan agak takut dan mundur secara alami.
Karyawan tersebut melihat dengan detil penampilan pemuda entah seumuran atau tidak dengannya.
Terdapat sesuatu yang menarik bagi si karyawan sekarang.
Setelah melakukan itu, ia memeriksa ke sekeliling.
Sepi.
"Ehem, maaf. Apakah kau dari keluarga Archlight?" tanya karyawan itu menatap pemuda berambut abu-abu itu.
Pemuda tersebut terdiam dan bergeming, seolah tidak tahu ingin melakukan apa.
Karyawan itu kembali bertanya karena mengerti soal perasaan tersebut.
"Kau ada masalah, ya? Boleh, kok kalau mau menginap sementara ke apartemenku."
"A-Apa?" pemuda itu terkejut.
Iya, wajar.
Mana mungkin seseorang yang baru saja ditemuinya kurang lebih hanya beberapa menit menawarkan sesuatu diluar dugaan.
Karyawan itu tampak tidak takut ataupun merasa terganggu, malahan seperti mengerti jalan pikir pelanggan di depannya.
"Kau yakin, tuan?"
Sangat sopan.
Pikir sang karyawan mulai merasakan perubahan mendadak.
Dia menjawab dengan nada halus dan lemah lembut, sambil berdehem sebelum berbicara.
"Ehem. Iya, tidak masalah. Sebentar lagi jam waktuku habis. Kau mau menunggu?"
Mengangguk, lalu pergi keluar minimarket dan berdiri di samping pintu.
Reaksi yang berubah 180°.
***
Pemuda berambut kuning yang merupakan karyawan minimarket tadi berbincang di pinggir jalan sepi sambil bercoba berkenalan dengan pelanggan tadi.
"Hai, perkenalkan. Kazeyuki Seiya. Ya, cukup panggil aku Kazeyuki."
"Y-Yah. Seperti yang kau tahu. Aku dari keluarga ternama, Archlight. Yukishirota Archlight," ucapnya memberikan tangan.
Pemuda bernama Kazeyuki itu berkenalan dengan salah satu anggota keluarga Archlight.
Yakni, Yukishirota.
Kazeyuki menjabat tangan seseorang yang seumuran menggunakan kedua tangan, tersenyum tulus untuk pertama kalinya ke orang lain, selain pelanggan.
Yukishirota kelihatan memalingkan sedikit wajahnya sambil sesekali melirik ke orang baik di depan.
Dia menanyakan sesuatu.
"Apakah baru pertama kali berkenalan dengan seseorang?" tanya Yukishirota penasaran.
Kazeyuki mengangguk disertai senyum kagum seolah, Yukishirota dapat membaca kepribadian hanya bermodalkan gerak-gerik saja.
Yukishirota sekarang percaya kalau Kazeyuki adalah orang baik dan tentu saja mungkin, takkan berkhianat.
Dia berterima kasih kepada pemuda berambut kuning cerah itu karena mau membantu.
Kazeyuki menjawab dengan penuh rasa senang.
"Tak masalah, Yuki-kun. Dan juga mari ke apartemenku."
Keduanya pun berjalan menuju ke depan selama beberapa menit.
***
"Jadi ini, ya?" tanya Yuksihirota agak terdiam.
"Aku tinggal sendirian, jangan khawatir Yuki-kun. Semoga kau menikmatinya, ya."
Kazeyuki mengambil kartu slip di saku bajunya, lalu menempelkan pada salah satu pintu.
Pintu pun terbuka sendiri.
Kazeyuki menyuruh si tamu masuk.
Saat masuk, kelihatan sekali betapa rapi dan terawat sekali kamar apartemen Kazeyuki.
Yukishirota kini terdiam tertunduk lesu.
"Kau mau curhat, kan?" tanyanya tiba-tiba kepada pemuda dingin tersebut.
Pemuda itu semakin terbelalak, lalu mengangguk satu kali.
Kazeyuki menarik tangan Yukishirota untuk duduk di sofa dan mulai bercerita.
Cerita dimulai.
Yukishirota adalah anak bungsu keluarga Archlight.
Berbeda dengan ketiga kakaknya, ia memiliki pemikiran berbeda dan selalu menjalani jalan yang tak sama.
Karena hal itulah membuat kedua orang tua Yukishirota memperlakukan dengan berbeda, bahkan menganggap kalau dia telah melakukan hal tak baik padahal dirinya hanya menginginkan kebebasan.
Maka dari itu, sekarang dia tak tahu entah kemana dan dibuang serta diasingkan oleh keluarga Archlight.
Sudah setahun ia berkeliling tanpa terdeteksi oleh keluara tersebut sambil terus bakat membidik dengan terus memfokuskan semua hal kecil.
Kecepatan angin.
Arah angin.
Pendengaran tajam.
Kini, dia sudah sangat menguasai ketiga hal itu tanpa kesulitan.
Setelah bercerita singkat, Kazeyuki mengerti.
"Boleh saja, Yuki-kun. Tapi, kau pakai kamarku. Aku jarang tidur di kasur dan paling sering disini," jelasnya menunjuk ke arah sofa.
"Apa tidak masalah?"
"Tentu saja. Kau juga boleh makan sesukamu."
"Apa maksudmu, Kazeyuki-kun? Aku masih punya sopan santun."
"Hah?" Kazeyuki kelihatan terkejut.
Ia menjelaskan sesuatu yang membuat siapapun kaget mendengar hal itu.
Kazeyuki berkata kalau tabungan dalam kartu kreditnya kurang lebih berisi sekitar $400.000.
Yukishirota merinding, kemudian mundur pelan-pelan takut terjadi sesuatu mengerikan.
Padahal, pemuda berambut kuning itu memang orang hemat serta hidup apa adanya.
Raut wajah Yukishirota sekarang takjub sekaligus ketakutan.
Terbayang-bayang satu pemikiran.
Mana mungkin bisa sebanyak itu?
"Oh, iya aku mau tanya. Kenapa kau melatih tiga hal tadi?" tanya Kazeyuki penasaran.
"Yah, aku ingin sekali menjadi Memories dan membentuk tim kuat serta kompak. Tapi, sudahlah sekarang impianku hanyalah omong kosong."
Serasa mendapat angin sejuk, Kazeyuki menoleh ke belakang serta senyum kini mengembang.
Benar.
Kesempatan ini harus ia manfaatkan sebaik mungkin.
Tapi, belum waktunya. Ia takkan buru-buru memutuskan apakah menjadi Memories atau tidak.
Dia khawatir penyesalan menghantui pikirannya.
***
Sudah sebulan Yukishirota menginap di ruang apartemen milik Kazeyuki.
Kedua pemuda itu sekarang kelihatan sangat akrab dan saling menikmati hidup masing-masing.
Yukishirota menjaga rumah.
Kazeyuki sekolah sambil bekerja sampingan.
Sekarang, keduanya sedang berada di luar apartemen.
Berbincang mengenai sesuatu.
"Hei, Kazeyuki," sapa Yukishirota.
"Ada apa, Yuki-kun?"
"Apakah kau tak ingin menjadi seorang Memories? Aku merasa potensimu sangat besar."
"Aku...,"
Sebelum meneruskan, Yukishirota mendengarkan sesuatu yang mencurigakan dan mengajak Kazeyuki pergi entah kemana.
Sampai di tempat dituju, kelihatan sesosok perempuan sedang penuh dengan luka bersandar pada salah satu dinding apartemen.
Keduanya terkejut.
Yukishirota memeriksa keadaan perempuan tersebut.
Sedangkan, Kazeyuki kelihatan agak panik dan tak berani berbuat apa-apa.
"Kazeyuki. Apakah kau punya obat di apartemenmu?" tanya Yukishirota melihat ke arah Kazeyuki.
Kazeyuki mengangguk.
Saat Yukishirota akan mengangkatnya, bibir perempuan itu tergerak pelan-pelan dengan pelan bersamaan suara kecil serak muncul.
"Tak...perlu...menolongku, aku...ingin mati," ucap perempuan tersebut sambil menangis.
Yukishirota merasa kesal, kemudian mengatakan sesuatu.
"Hei! Apakah kau tak tahu betapa berharganya nyawa? Banyak orang ingin hidup! Jangan banyak bicara, dan diamlah sekarang!"
Yukishirota membopong tubuh wanita berambut kuning perlahan-lahan.