Jam beker berbunyi serasa meleking tepat di telingnya, bayangna menjadi dua. Cuaca mendung dan hawa dingin, angin berhembus kencang layaknya akan ada hujan badai menerpa.
Seina tak mampu menopang tubuhnya saat berdiri, kemudian ia kembali duduk.
"Ah kepalaku pening" pekiknya dan merebahkan diri di tempat tidur.
"Pusing, cape. Badan sakit semua, berat" Seina mengambil ponselnya berharap Elan menghubunginya lebih dulu. Tak ada notif apapun, Elan tak memberi ucapan selamat pagi padanya.
Seina terus bergumam dalam hati 'Ayolah Seina kamu pasti kuat. Jangan apa-apa serba Elan!'
Tok... Tok... Tok.....
"Seina cepat bangun! Udah telat nih? Hari ini ada pelajarannya bu Lela. Aku tidak mau loh ya sampe absen" ucap seseorang dari luar.
Suara yang tak asing, Seina sudah menebak di luar kamarnya sudah berdiri Elina yang merupakan sahabat satu-satunya yang ia miliki.
Seina tipe wanita yang ceria, mudah sekali ia mendapatkan teman, namun Seina menganggapnya semua temannya itu hanyalah teman biasa. Baginya cukup satu sahabat itu sudah lebih dari cukup.
Bu Lela merupakan guru matematika yang terkenal killer dan tak pernah tersenyum. Meskipun sudah beberapa murid di kelasnya memancing kelucuan di hadapan bu Lela, bukannya bu Lela tersenyum. Ia malah memberi hukuman pada orang yang dianggap meremehkannya.
Seina berjalan untuk membuka pintu, namun badannya serasa sempoyongan hingga ia tergeletak begitu saja di lantai.
Brak...!
Elina kaget mendengar suara seperti benda jatuh dari dalam kamar Seina, dengan segera Elina mendorong pintu kamar Seina. Tentu saja itu tak membuahkan hasil.
"Sei.... Seina. kamu baik-baik saja kan?" pekik Elina menggedor-gedor pintu kamar Seina.
Tak ada jawaban hingga membuatnya panik, dengan jurus tercepatnya Elina mendatangi rumah pemilik kost tempat Seina bernaung.
Rumah pemilik kost tak jauh dari kostan Seina, Elina meminta kunci kamar Seina pada pemilik kostan itu.
**
Dibukakannya pintu kamar kost Seina, betapa terkejutnya Elina melihat Seina yang sudah tergeletak di lantai tak jauh dari tempat tidurnya.
"Sey... Sey... Kamu kenapa?"
Elina menghubungi Elan.
"Lan cepat kesini! ke kostannya Seina."
"Ada apa?" terdengar suara Elan panik.
"Seina pingsan!"
"Hah! Oke tunggu. Aku langsung jalan ke situ."
**
Tak butuh waktu lama, Elan sudah berada di kamar Seina, tentunya Elan mendapat ijin dari pemilik kostan karena memang ada saksi Elina yang dapat meluruskan jika ada kesalahpahaman.
Mereka menatap Seina yang tak kunjung membuka matanya, beberapa kali Elan mendekatkan minyak angin di hidung Seina. Namun, tak ada respon.
Dengan sigapnya Elan mengompres dahi Seina dengan handuk kecil hangat. Wajah Seina pucat, dan keluar keringat dingin. Suhu tubuhnya pun naik turun. Tiba-tiba air mata Seina keluar dan menetes pada bantal yang ia kenakan. Berulang kali Seina mengigau memanggil nama Elan.
Mendengar hal itu, Elina yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung pamit keluar dengan beralasan ingin membeli makanan.
Elan menggenggam tangan Elina, "Mau kemana?"
"Aku laper, nanti aku belikan kamu sama Seina makanan juga" pekik Elina tanpa menatap wajah Elan.
Elan melihat wajah Elina, tetapi Elina tak sekalipun ingin menatapnya, Elina membuang wajah di depan Elan.
Elan tak lagi bisa menghentikan langkah kaki Elina. Dan membiarkannya pergi begitu saja.
Elan terdiam memandangi wanita itu, Seina mulai membukakan matanya, seketika Elan memasang raut wajah murah senyum.
"Jangan sakit lagi ya?" ucap Elan dengan nada lembut dan membelai rambut Seina.
"Kamu.... Kamu kenapa bisa disini? Ini kan kostan...."
Elan menepis perkataan Seina dengan menempelkan jari telunjuknya ke bibir Seina.
"Elina yang menemukan kamu pingsan."
Seina melirik ke arah kanan dan kiri, tak ada siapapun selain Elan dihadapannya.
"Dimana Elina?" pekiknya dengan cemberut.
"Mau ngapai?" Elan sontak kaget melihat Seina yang buru-buru duduk. Padahal ia baru sadar dan masih kelihatan lemah.
Seina tak menjawab pertanyaan Elan, dalam benaknya ia harus bertanya langsung dengan Elina.
Elan yang merasa tak di respon akhirnya membuka suara, "Elina lagi beli makanan buat kita. Nanti juga balik."
'Yang benar saja? Mungkin itu hanya alasan Elan' pekik Seina.
Merasa kurang percaya, Seina mengetik pesan untuk Elina. Dengan kesal Seina menujukkan pesan yang langsung dibalas oleh sahabatnya.
'Seina, kamu bisa chat aku itu berarti kamu sudah sadar. Jaga diri baik-baik. Jangan pingsan lagi. Oya aku belikan makanan buat kamu sama Elan, nanti dikirim sama bapak pengantar makanan. Salam buat Elan, katakan padanya aku langsung pulang. Cepat sembuh ya?'
Elan hanya menghebuskan nafasnya melihat perilaku Elina yang tiba-tiba saja menghilang.
"Jadi?" ucap Elan tak mengerti apa yang akan Seina lakukan.
"Jadi.... Aku mau tidur" timpal Seina.
"Kamu yakin mau ditinggal sendirian? Nanti pingsan lagi?"
"Kamu khawatir?"
Elan salah tingkah dan tak memandang Seina.
"Bukan begitu..."
"Seusai makanan datang, aku langsung makan. dan aku tak akan pingsan lagi" ucap Seina memastikan bahwa dirinya tak akan jatuh pingsan untuk ke dua kalinya.
"Hemmm... Oke."
Sebelum Elan pergi meninggalkan Seina, lagi-lagi Seina sudah terbiasa berucap, "Lan... Kamu baik."
Elan sudah tau akan hal itu, Seina berharap Elan lebih tahu lagi jika perkataan itu yang selalu Seina ucapkan ia berharap mendapat balasan dengan membuka hatinya untuknya.
Elan tersenyum dan mengatakan, "Sama-sama."
Sudah Seina duga Elan akan menjawabnya dengan kata-kata yang sama. Dan tak berubah. Itu berarti rasanya masih sama, belum ada perkembangan.
Hari itu Seina lakukan dengan bermalas-malasan di tempat tidur. Tak ada kegiatan apapun selain istirahat dan memikirkan Elan tentunya.
Seina mengambil kalender kecil di meja samping tempat tidurnya.
"Sudah terlalu lama aku menunggu" pekiknya menahan kesedihan.
Matanya terbelakak saat melihat nomor yang telah ia coret menggunakan spidol. Disana tertera tulisan 'Hari lahir Elina.'
Seina terlalu memfokuskan dirinya untuk Elan, sehingga melupakan bahwa sahabatnya sebentar lagi akan ulangtahun. Tak ingin melewatinya dengan sia-sia. Seina meencanakan surprise untuk sahabatnya, dunianya tak harus selalu Elan, meskipun Elan selalu menghiasi hari-harinya. Namun itu tak cukup ketika tidak ada seorangpun sahabat didekatnya.
**
Jam menunjukkan pukul 10.00 WIB, Seina masih merasa malas untuk bergerak. Hari ini ia ijin tidak berangkat sekolah, Elan sudah membuatkannya surat ijin dan itu sangat membantunya mendapatkan ijin dari walikelas dan beberapa guru mata pelajaran lainnya.
Seina membereskan ranjang tidurnya serta beberapa peralatan makan yang kemarin tak sempat ia cucu.
Dilihatnya lagi kalender di samping tempat tidurnya, 27 Januari besok adalah moment yang sangat special untuk Elina. Tentu saja Seina harus mempersiapkan sedetail dan semeriah mungkin untuk surprise ulang tahun sahabatnya itu.
Seina meminta bantuan Elan untuk memilih kado, namun tak seperti ekspektasinya yang dibayangkan, tamparan maut dari Elan membungkamkan Seina untuk tidak memaksa Elan.
'Baru juga sembuh udah mau langsung keluyuran!' pekik Elan saat ia menghubungi cowok itu.
Berulang kali Seina mnejelaskan bahwa pergi hanya sebentar dan sekedar mencari kado untuk Elina, namun tetap saja Elan tak ingin mengantarnya dengan alasan yang sama.
Dengan berat hati Seina marah dan tak menghubungi Elan sama sekali. Pesan dari Elan tak ia hiraukan. Elan bak kehilangan arah, ia menghubungi Seina terus-menerus. Setelah kejadian kemarin Seina pingsan, tak ada kabar lagi dari Seina hingga membuatnya cukup tak tenanag.
'Cepat keluar! Aku di depan kostanmu. Aku hitung sampai tiga.'
Elan kembali memberi pesan yang tak terduga. Seina beranjak lari mengahampiri Elan.