Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Nikmatnya Cinta

🇮🇩cikelcity
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.2k
Views
Synopsis
Gerdy adalah seorang predator cinta dan terjerat pesona bidadari dari keluarga tidak bermartabat. Dia rela meninggalkan segala kemewahan demi perempuan itu. Dia menikah secara diam-diam dan berusaha menjalani kehidupan seperti orang kebanyakan, tinggal di sebuah rumah yang tidak lebih bagus dari kandang kuda orang terkaya di daerahnya. Pernikahan itu menimbulkan berbagai masalah, sementara urusan masa lalu tidak kunjung selesai. Hingga kemudian Gerdy tidak dapat bertahan dari ganasnya kehidupan. Haruskah dia kembali ke rumah untuk menjalani kehidupan seperti raja-raja bersama perempuan lain? "Dunia memang iblis bagi laki-laki terdesak!"

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Kacang Goreng

Biasanya Papi segera menutup pintu kembali kalau ada pemuda bertamu memakai sendal jepit dan jalan kaki. Modal dengkul ingin bergaul dengan anaknya. Tidak tahu diri. Modal motor saja ditolak. Takut masuk angin.

Tapi pemuda yang satu ini disambutnya dengan hangat. Walaupun siang ini cuma mengenakan celana pendek kargo short dan kaos crew neck, Papi tahu pakaian itu bermerek. 

"Nak Gerdy!" seru pria separuh baya itu gembira, seluruh wajahnya tersenyum. "Kirain siapa?"

Gerdy adalah anak orang terkaya di kota ini. Ayahnya pemilik perkebunan apel dan jeruk yang jumlahnya ratusan hektar. Rumahnya bagaikan istana. Mobil berderet.

"Kapan pulang?" tanya Papi.

"Kemarin," jawab Gerdy dengan air muka datar tanpa ekspresi. "Nadine ada?"

Kalau orang kaya, biar suaranya dingin sangat enak didengar. Apalagi di tangannya ada satu kotak cerutu dan martabak telor kegemarannya.

Papi mengambil bingkisan itu dengan gesit. "Ada, ada. Silakan masuk."

"Terima kasih." Gerdy melangkah ke dalam rumah. "Ada uang sepuluh juta di dalam kantong itu. Cukup untuk ijin bertamu satu bulan? Di luar martabak telor dan cerutu setiap hari?"

"Cukup, cukup." Mata Papi bergelimang cahaya. Bergegas dia pergi ke ruang dalam memanggil putrinya seolah tamu itu membawa urusan penting. Padahal Gerdy hanya iseng tidak ada teman. Sahabatnya dari kecil cuma dua, Surya dan Nadine. Surya sibuk membantu ayahnya di bengkel. Dia tahu darinya kalau Nadine pulang hari ini. 

Sambil duduk tumpang kaki, mata Gerdy kelayapan ke seluruh ruangan dan hinggap pada foto yang terpampang di meja kecil di sudut ruangan. Tiga anak kecil berseragam SD. Warnanya agak kabur. Rupanya Nadine masih menyimpan foto kenangan itu.

Foto itu diperoleh dari hasil menipu tukang foto keliling. Mereka bilang disuruh orang tua. Ketika fotonya diantarkan ke rumah masing-masing, bukan cuma caci maki yang didapat. Harganya pun dibayar murah.

"Lama ya nunggu?" Nadine muncul membawa nampan berisi dua cangkir minuman. Ditaruhnya satu cangkir di hadapan Gerdy, satu lagi untuknya, lalu duduk di sofa tunggal. Nampan dipakai untuk menutupi rok mini. "Aku lagi siram bunga di belakang."

"Bunga deposito?" Kelihatan sekali pemuda itu tidak memiliki selera humor yang baik, nadanya kering.

"Bunga bangkai," sahut Nadine asal. "Buat kado wisudamu."

"Lulusnya juga kapan tahu."

"Bunga bangkai juga gedenya kapan tahu," senyum Nadine manis. "Minum."

Gerdy meneguk minuman sedikit, sekedar menghormati saja. Dia biasa minum air mineral. Tapi basa-basi perlu, "Bisa juga bikin minuman. Manisnya pas kayak senyum kamu."

Gerdy melontarkan pujian dengan intonasi biasa saja. Tidak ada rasa. Heran. Bagaimana pemuda menyebalkan seperti itu bisa jadi play boy? Barangkali mereka terpesona oleh wajahnya yang sangat tampan.

"Bikin kamu klepek-klepek juga bisa," kata Nadine separuh melecehkan.

"Perempuan tidak pernah membuat aku jadi pecundang," sahut Gerdy angkuh, dan memang begitu adanya.

Sejak Gerdy mengenal cinta, tidak ada perempuan yang berani mengakhiri hubungan mereka, dan tidak ada cerita balikan lagi.

"Kusiram pakai air jeruk ini terus ditampar pakai nampan, apa gak bikin kamu klepek-klepek?"

Gerdy mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sinar matanya demikian merendahkan, seolah perempuan adalah barang paling tidak berharga. Nadine tidak tersinggung karena dia menganggap lelaki juga demikian.

"Fotomu masih ada," kata Gerdy.

"Cuma itu kenangan manis yang tersisa."

"Saat kupeluk kamu?"

"Peluk apaan? Kamu cekik aku sampai gak bisa nafas!"

"Pelukan play boy cilik begitu."

Dari kecil Gerdy sudah berani memproklamirkan diri sebagai play boy. Dia sangat percaya diri dengan apa yang dimiliki. Banyak gadis SD jadi korban cinta monyetnya. Akrab beberapa minggu langsung bubar. Cuma dengan Nadine persahabatannya langgeng.

Foto Gerdy sendiri langsung dirobek ibunya saat itu juga. Sejak kecil dia dilarang bergaul dengan Nadine. Citra keluarga ini demikian buruk di masyarakat. Rumahnya dulu sederhana sekali. Sejak Katrin jadi istri muda CEO, kehidupan mereka meningkat drastis.

Dari kecil pula Gerdy jadi seorang pemberontak. Tidak kapok bermain bersama Nadine meskipun sering mendapat hukuman. Dia bosan bermain sendiri. Hanya Nadine dan Surya teman yang cocok. Dia belajar jadi anak nakal dari mereka.

Sejak kecil Gerdy tidak suka dibantah. Kata-katanya adalah perintah. Agar mereka patuh, setiap kali jajan dia jadi bosnya.

"Betah banget tinggal di kota kembang." Nadine mengambil inisiatif obrolan. Mereka bisa diam-diaman sampai sore. Gerdy tidak pernah ngomong duluan kalau tidak penting sekali. Dia hanya meladeni, selebihnya asyik main gadget. "Pulang cuma enam bulan sekali, padahal bisa tiap minggu."

Gerdy malah enggan pulang kalau tidak diancam ayahnya. Kota kembang begitu memanjakan hidupnya. Dia dipaksa belajar mengelola perkebunan. Kesempatan itu cuma ada di liburan semester.

"Banyak cewek cakep di kota besar jadi lupa pulang ke rumah," sindir Nadine.

"Di kota ini juga banyak cewek cakep," sahut Gerdy datar. "Buktinya ada di depanku."

"Aku bukan cewek yang gampang dipuji...."

Apalagi sama kamu, sambung Nadine dalam hati. Tidak ada romantisnya. Bagaimana mereka bisa betah jadi pacar? 

"Dan aku bukan cowok yang gampang memuji," ujar Gerdy tak mau kalah.

Bodo, batin Nadine. Mendingan tidak usah memuji daripada bikin ilfeel. Kemudian dia melempar sindiran, "Aku bukan kacang lupa kulitnya."

"Aku kacang tidak punya kulit."

"Kacang busuk saja punya kulit."

"Kacang goreng." 

Ini yang membuat Nadine kagum. Gerdy tidak mudah tersinggung, padahal kata-kata itu lumayan pedas. Ekspresinya tidak berubah saat menerima pujian atau bullying.

"Siram bunganya sudah selesai?" tanya Gerdy.

"Kalau iya?" Nadine balik menatap.

"Aku ingin menengok masa kecil. Anggaplah kacang ingin menemukan kembali kulitnya."

Nadine tersenyum kecut. "Kirain ngajak nge-dance."

"Musiknya kaleng rombeng?"

"Di dekat sini ada diskotik dan kafe untuk crazy rich."

"Oh ya?"

"Baru buka."

Wajah Gerdy terlihat sedikit mencair. "Jadi ada nyawa aku hidup di kota ini."

"Tidak bisa ya sehari saja tanpa clubbing?"

"Tentu saja bisa...kalau lagi di rumah."

Gerdy memang brengsek. Kalau di depan orang tua, pura-pura jadi muslim taat. Begitu adzan berkumandang langsung pergi ke mesjid. Di pondokan mana pernah shalat. Waktunya banyak dihabiskan untuk clubbing dan perempuan.

Gerdy tidak suka minuman keras dan narkoba, karena itu berpengaruh pada kemampuan otaknya. Dia tidak mau sekedar lulus kuliah, apalagi sampai gagal. Gelar sarjana adalah impiannya sejak kecil.

Abi sendiri sebenarnya mengharapkan Gerdy mengelola perkebunan selepas SMA. Sekolah tinggi-tinggi ujungnya cari duit juga. Lagi pula, dia bukan kuliah di jurusan agrikultura. Ilmunya tidak terpakai.

Ketika IPK Gerdy sangat memuaskan, Abi justru paling heboh, pamer ke masyarakat kalau anaknya mampu mengemban amanah orang tua, sampai mendompleng sebuah hadits; tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Padahal kuliah di Bandung saja keberatan!

Melihat prestasi yang gemilang itu, Abi berencana mengirim Gerdy ke Belanda untuk program pasca sarjana agrikultura di Wageningen University & Research.

"Besok-besok saja deh clubbing-nya," kata Nadine berubah pikiran. "Hari ini aku capek banget, baru pulang."

"Lagi aku tidak serius," sahut Gerdy tawar. "Kira-kira saja clubbing di depan hidung Abi."

"Banyak pencitraan."

"Demi lancarnya budget."

"Aku siap kalau cuma pengen nengok masa kecil, sungainya kan dekat."

"Tahu kenapa aku ingin pergi ke sungai?"

Nadine tersenyum masam. "Pasti kangen mandi bersama. Otak kotormu sudah terbaca."

Entah benar atau tidak tebakannya, barangkali ini yang membuat perempuan bertekuk lutut. Gerdy demikian cool, bikin penasaran, ibarat air danau yang sangat tenang padahal di dalamnya banyak ikan hiu. Seumur-umur Nadine belum pernah melihat pemuda itu tersenyum. Air mukanya serius sekalipun lagi bercanda

"Habiskan dulu minumannya," pinta Nadine.

"Cukup," tolak Gerdy.

"Tidak suka yang manis-manis ya?"

"Cukup lihat kamu."

"Bentar ya aku rapikan dulu."

Nadine membereskan cangkir dan membawanya ke belakang. Di ruang dalam bertemu dengan papinya yang menguping pembicaraan mereka.

"Kenapa kamu tolak diajak jalan-jalan ke pusat kota?" protes Papi tidak senang. "Kapan lagi dapat kesempatan emas seperti ini?"

"Alah, paling-paling pulang minta martabak telor sama cerutu," dengus Nadine sinis.

"Cetek banget pikiranmu, cuma sampai martabak telor sama cerutu."

"Terus mau Papi kuras isi dompetnya?"

"Biar Papi kuras tiap hari, dompetnya tidak akan kering."

Nadine pergi dengan jengkel. Ngomong sama papinya cuma bikin emosi. Di kepalanya cuma ada duit!