Chereads / Guardians of Shan / Chapter 175 - Akhir Hayatnya – 5

Chapter 175 - Akhir Hayatnya – 5

« Ascella »

Inikah akhir dari kisahku? Kukira semua akan berakhir indah, setidaknya menjadikanku sebagai pahlawan di akhir kisah ini. Namun, apa yang kudapat? Semua harapan rasanya telah hilang dariku ketika monster itu menyambar kami dengan petir. Terdengar konyol memang. Namun, aku rasa dia tahu sesuatu. Maksudku, bagaimana dia tahu jika aku berniat ingin menyelamatkan Kakak? Itu tidak sesuai dengan kehendak makhluk-makhluk tadi, dia jelas bagian dari mereka.

Kini, aku berbaring dalam sebuah lingkaran transparan. Rasanya diangkut di antara gelombang air. Perlahan aku ditenggelamkan, tapi berkat lingkaran ini aku tetap bisa bernapas. Sekelilingku dipenuhi dengan warna biru tua bercampur sedikit warna yang lebih cerah akibat efek sinar matahari dari atas. Namun, aku tidak merasakan panas maupun dingin. Seakan lingkaran–atau barangkali gelembung–ini telah melindungiku.

Di sisiku berbaring Kakak. Tidak, kurasa jin itu masih ada dalam dirinya. Entah kenapa aku kembali berkhianat hanya karena mengira Kakak telah kembali. Pada malam itu, ketika semua sedang tidur, aku dibangunkan oleh suara menyerupai kakakku.

"Ascella, di mana ini?"

Aku ingat betul ketika dia menanyakan itu. Wajahnya tampak begitu pucat. Dia pun gemetar. Meski tengah merasuki raga, aku tahu jin dapat mengubah suaranya juga. Namun, selama ini dia mempertahankan suara Kakak sehingga aku mengira saudariku telah kembali. Melihat keadaannya yang tampak ketakutan membuatku segera memeluk dan mencoba menenangkan dia.

"Aku di sini." Aku memeluknya erat.

"Ascella, mereka ingin membunuh kita," bisiknya. "Aku tahu mereka tidak akan melepas kita begitu saja."

"Tapi, Kak, mereka sudah menjamin," sanggahku.

"Kamu percaya, Anak Bodoh?" Dia menatapku tajam. "Semudah itu?"

Hanya dengan sebaris kalimat tadi, dia berhasil menuntunku menuju daerah dalam air ini. Aku membiarkan diriku dibawa kakakku yang ternyata masih dibawah kendali. Aku menyadarinya setelah merenungkan sejumlah kalimat yang dia ucapkan.

Kakak tidak akan memaksaku, apalagi sampai menghinaku. Namun, kukira karena situasi di bawah tekanan, dia bertingkah di luar kebiasaan. Aku membiarkan rasa bahagia yang membutakan ini merasuki diriku hingga lupa jika dia belum sepenuhnya pulih. Kini, entah bagaimana nasibnya, Kakak kuyakini telah tiada. Semua terlambat dan penyesalan tiada gunanya.

Di sampingku ada jin lain, aku yakin dja salah satu pelindung Thalia. Aku belum kenal dia, baru melihatnya saat ketika Kakak ditaklukkan. Tiba-tiba saja dia datang, atau barangkali sudah muncul sejak kedatangan seorang pria bersama wanita yang menyerang kami dulu. Bisa jadi jin itu sebenarnya benda yang selama ini dijaga oleh Kakak dan telah dibebaskan oleh kedua orang tadi. Namun, aku tidak tahu lagi. Aku benar-benar lelah dengan semua ini.

Sementara di depanku, penuntun jalan saat ini, kuyakini pemimpin para pelindung mereka dari segi fisik. Aku tidak mengerti sistem mereka tapi itu yang kuyakini. Aku juga tidak tahu pasti jumlah mereka. Awal mula perjumpaanku dengan pria itu, dia sukses membuatku terpaku. Aku ingat betul tanganku terasa dingin ketika mata merahnya menatapku. Dia memancarkan aura mengerikan, seakan dalam dirinya ada iblis yang siap menerkam. Ditambah lagi dia dengan sekali serang berhasil melumpuhkan kami berdua, sementara Sylvester membutuhkan waktu setidaknya hampir tiga hari untuk itu. Tanda pria di depanku bukan sembarangan orang.

Sepanjang jalan, dia tidak bicara. Bahkan jin yang kuanggap sebagai peliharaannya juga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Seakan mereka lebih memilih menyimpan itu untuk diri sendiri. Banyak hal yang tersembunyi, terutama siapa sosok ini dan apa hubungannya dengan Kakak.

Tidak seperti yang kukira, pria misterius itu dengan mudah berjalan kaki di atas pasir lautan. Sementara jin yang menemaninya tampak melayang melewati gelombang air di sekeliling selagi menarik kami. Aku kira biasanya seseorang harus memiliki ekor ikan agar memudahkan mereka menjelajahi lautan.

Jalan berpasir yang kami lalui perlahan tampak semakin gelap, tanda kami dibawa ke lautan dalam. Kedua sosok yang membawa kami terus melangkah seakan tahu betul keadaan di depan mata. Sementara aku mendekam dalam lingkaran ini diliputi rasa takut. Mau diapakan kami? Apakah ini akhir dari kisahku?

Tidak lama setelahnya muncul cahaya dari kejauhan. Perlahan menampilkan pemandangan kerajaan megah dari bawah laut. Sebuah istana terbentuk dari batu menjulang tinggi ditambah beberapa putri duyung berenang melewati kami. Tidak hanya mereka, beberapa jenis ikan pun turut menenuhi jalan. Di antara para duyung melirik kami dengan tatapan heran, ada pula yang sinis bahkan menahan tawa seakan menghina. Sepertinya kami sengaja dibawa berjalan pelan mengelilingi laut agar mendapat hukuman sosial ini. Namun, aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Perlahan, kudengar suara dari para duyung. "Hei, manusia dari negeri mana lagi itu?" Putri duyung itu bertanya dengan nada protes. "Kami sudah bosan lho melihat kalian. Menjijikan. Sudah banyak tingkah di darat, sekarang mencoba mencemari lautan." Sepertinya dia salah orang, tapi aku paham apa maksudnya. Aku justru yang kena imbas dari tindakan manusia lain.

"Dia bukan manusia yang itu." Jin yang menuntun kami menyahut. "Dia adalah musuh Shan."

Mendengar keterangan itu, semakin jelek pula wajah para putri duyung ketika menatapku. Seakan perbuatanku sudah di luar batas. Padahal aku hanya ingin Kakak selamat.

"Pantas saja!" lanjut putri duyung itu. "Dia pantas dimangsa oleh Tuan Tirta!"

"Hush! Jangan terlalu kencang!" tegur temannya yang sesama putri duyung.

Bertepatan dengan itu, kulihat pria misterius tadi menatap mereka. Aku menelan ludah, tidak bisa membayangkan reaksinya. Ditambah lagi raut muka para putri duyung yang berubah menjadi tegang ketika menyadari tatapannya.

Namun, pria itu justru tersenyum lalu melanjutkan langkah. Seakan hanya menyapa. Begitu pria yang memimpin jalan tadi berjalan lagi, semua mata seakan tertuju padanya. Mereka lantas menunduk bahkan memberi jalan yang luas, mereka segan padanya. Barangkali dia pangeran di negeri ini melihat reaksi mereka ketika melihat dia. Kami lewati semua manusia separuh ikan tadi hingga tiba di istana.

"Selamat datang." Seseorang menyambut pria misterius itu.

Kedua pria itu memiliki ciri fisik yang mirip. Pria yang menyambut kami adalah seorang pria berambut hitam berkulit sawo matang. Pakaiannya terdiri dari baju zirah berwarna keperakan layaknya kesatria. Matanya yang sebiru lautan menambah kesan misteri darinya. Sementara sosok yang kutakuti saat ini memiliki mata merah menyala dan tingginya pun melebihi setiap makhluk yang kami jumpai di kerajaan ini. Wajar aku begitu ketakutan.

"Damar, sepertinya ini yang terakhir," ujar pria itu kepada kesatria itu.

Kesatria yang bernama Damar itu menatapku dan Kakak yang belum juga siuman. Tatapannya tampak merendahkan. "Ada berapa musuhmu?"

"Aku sendiri tidak tahu, semenjak keruntuhan Shan, semua terasa samar."

Keruntuhan Shan? Aku memang mendengar sedikit ketika Zibaq membahas itu saat menguasai raga Kakak. Namun, aku tidak memahami persis apa yang terjadi di balik itu semua.

"Bagaimana Abang bisa ingat kembali?" tanya Damar yang ternyata adiknya. "Ayah dan Bunda sudah berusaha, tapi tidak ada yang berhasil."

"Aku hanya butuh sedikit waktu," jawab pria itu. "Sudah selesai tanggung jawab kalian, kurasa sudah cukup kebaikan yang kalian berikan. Sekarang, setelah ini, aku ingin mengucapkan terima kasih."

"Abang mau ke mana?" Damar bertanya.

"Ke mana pun takdir membawa," jawabnya. "Sekarang, aku ingin menetap di sini untuk terakhir kali."

Damar diam sejenak. Saat itulah dia sadar selama ini aku telah menyaksikan itu semua. "Abang mau apakan mereka?"

"Seperti biasa," jawabnya. "Bilang pada Bunda dan Ayah kalau aku sudah pulang."

"Tentu," balas adiknya. "Abang mau pakai ruangan yang itu?"

"Seperti biasa," jawabnya.

Dia kembali melanjutkan langkah sementara adiknya pergi ke arah yang berlawanan. Melihat beberapa kejadian ini aku hanya bisa menyimpulkan beberapa hal. Pria ini barangkali bernama "Tirta" karena aku belum pernah mendengar seseorang menyebut namanya kecuali putri duyung tadi. Kemudian, dia juga sepertiku yang memiliki saudara, bedanya orang tua masih utuh sementara kami telah kehilangan keduanya. Bahkan sosok sepertinya masih memiliki keluarga, kukira dia sebatang kara. Ah, aku berpikir sembarangan.

Tirta berjalan menuju ruang bawah yang terdiri dari susunan tangga yang menurun. Tidak ada penerangan sama sekali ketika aku menunduk untuk memastikan lantai bawahnya.

"Raiv, bawa kami ke dasar!" titah Tirta.

Jin yang bernama Raiv itu tidak menyahut. Namun, dia langsung mengubah pandanganku layaknya sedang diputar tengah udara hingga pusing.

Tak lama setelahnya, walau setiap detik terasa lama dan menyiksa, aku diturunkan di sebuah ruang bawah yang begitu gelap dan dingin. Bahkan hanya terlihat secercah cahaya dari mata merah Tirta. Sementara jin bernama Raiv itu berdiri jauh di belakang sana seakan menunggu.

Kudengar suara Kakak menggerang pelan. Aku hendak memanggil, tapi ragu jika itu benar-benar dirinya. Namun, aku dikagetkan dengan suara dentingan seperti kumpulan rantai yang mengekang Kakak.

"Hah?" Kudengar Kakak mulai panik dan berjuang membebaskan diri. "Lepaskan aku! Lepaskan!"

Namun, tidak ada yang menyahut meski Tirta berdiri tepat di depan kami.

Kakak memberontak. Bukan, jin itu yang menyuruh raganya untuk memberontak. "Kalian bejat! Tidak heran dia mengacaukan ingatan kalian! Begini saja sudah kejam, apalagi ..." Dia tersendat.

Setelah hening sesaat, kudengar suara Tirta yang tetap tenang mengucapkan setiap kata.

"Sudah berapa kali kamu diberi kesempatan?" Dia bertanya. "Sudah berapa kali kamu ditegur? Kamu tetap seperti itu."

"Kau belum juga paham, tidak ada yang layak memimpin Shan selain dia!" bentak Zibaq dalam raga Kakak.

"Namun, dia sudah tiada di tanganmu, bukan?" sahut Tirta.

Aku yang tidak tahu menahu hanya bisa menyimak.

"Kau mengira takhta Shan akan beralih padamu yang hanya seorang budak. Merasa pantas padahal tidak ada harga diri," lanjutnya. "Kau bahkan menghasut seorang dari kami untuk berkhianat, karenamu kami harus menderita."

Tatapan matanya tertuju pada Zibaq. Sukses membuat jin itu terdiam. Dapat kudengar bunyi gemerincing dari rantai yang mengekang tubuhnya mulai bergetar.

Tirta mendekatkan wajah ke Zibaq. "Aku bisa menghabisimu begitu sudah bangun, tapi aku berikan kesempatan agar kau berbuat baik dan ini yang kau lakukan?"

Zibaq entah mengapa tidak menyahut. Biasanya dia yang paling lancar mengucapkan sebaris kata.

"Kau melukai mereka, cucu-cucuku," lanjut Tirta. "Aku sudah memperingatkan untuk tidak menganggu mereka, tapi kau tetap ingkar. Kau kira aku bakal selamanya sabar?"

Dapat kudengar suara orang tercekat seakan berjuang bernapas. Kakak.

"Jangan sakiti Kakak!" jeritku.

Ketika mata merah Tirta tertuju padaku, aku merasakan bulu kuduk meremang, sekujur tubuhku terasa dingin. Aku terbata, tidak sanggup berkata.

Tatapan mata Tirta melembut. "Anak ini ... kau memanfaatkannya untuk kepentinganmu sendiri. Padahal di usia seperti itu biar harusnya sudah menjelajahi dunianya, mengenal banyak teman dan mencari pengalaman. Namun, kau kekang dan paksa dia mengikutimu."

Tidak ada balasan darinya.

"Sayang sekali anak seperti dia harus mengalami semua ini," lanjutnya. Dapat kudengar suaranya melembut seakan ingin aku mendengarkan. "Habis ini, aku akan berusaha agar mereka dapat merasakan kebahagiaan seperti sedia kala."

"Apa ... yang akan kau lakukan?" tanyaku dengan gagap. Aku masih diliputi rasa takut ketika berhadapan dengannya.

"Mengembalikan apa yang dia renggut darimu." Jawaban darinya seakan membuat beban dari hatiku terangkap. Aku seakan merasa lega dan aman meski saat ini tidak memungkinkan. "Raiv, bawa anak itu pergi!"

Saat itulah kurasakan sebuah tangan meraihku. Aku hendak melawan, tapi tubuhku terasa begitu ringan ketika diangkat jin itu. Perlahan jin itu menyeretku kembali ke atas bersama gelembung tadi. Sementara Tirta masih di bawah bersama Zibaq dengan raga Kakak.

Terdengar suara raungan menggelar. Seisi ruangan pun bergetar ditambah jeritan Kakak yang perlahan tenggelam bersamaan dengan gugurnya bebatuan dari atas. Menyisakan kegelapan yang menenggelamkan mereka yang pernah mengisi hidupku.