Chereads / Guardians of Shan / Chapter 166 - Reuni – 5

Chapter 166 - Reuni – 5

Begitu Khidir mengucapkan kalimat itu, aku raih tangannya dan ikut berjalan di sisinya sementara Gill menyusul di belakang.

"Bagaimana cara keluarnya?" tanyaku.

"Panggil dia," jawab Khidir.

Aku menatap kalungku. Meski memang dia bisa dipanggil kapan saja, tapi mungkin ada fungsi tambahan dari kalung ini yang bisa memanggilnya dengan lebih cepat.

"Zach!" panggilku.

"Ya, Tuan Putri?"

Aku tersentak mendengar suaranya tepat di samping kananku.

"Kamu ini sudah dipanggil dari tadi malah tidak menjawab! Dari mana saja?" Bukannya menanyai jalan keluar, aku justru menyemprotnya dengan omelan yang tersimpan sejak lama. Setidaknya hati terasa lebih lapang.

Jin berambut biru pucat itu terdiam sejenak. "Aku tidak akan membiarkanmu lepas di tengah badai salju."

Aku menatap Khidir. Pria itu diam, seakan memihak Zach. Sementara Gill memilih menunduk, dia mungkin tidak tahu permasalahannya dan lebih memilih diam juga.

"Ya, sudah." Aku kembali tenang. "Bagaimana cara kami keluar dari sini?"

"Seperti Guardian lain." Zach menyentuh tangan Gill, membuat pemuda itu terenyak sedikit. "Cukup bilang dalam hati jika kalian ingin keluar dari sini."

Gill menatap Zach. "Kamu Ku Raiv?"

"Ya. Kamu tentu ingat, Karun." Zach membalas tatapan Gill.

"Um, tentu ingat." Gill terdengar ragu. "Kamu tidak ikut keluar?"

"Aku bukan ditugaskan untuk bertarung." Zach menggambang di lantai istana. "Tugasku hanya menjaga istana ini."

"Bukannya kamu juga bisa memanipulasi ruang?" tanya Gill lagi.

Memanipulasi ruang? Kenapa terdengar tidak asing?

"Bisa." Zach mengangguk pelan. "Tapi, aku harus waspada jika jin itu menggunakan kekuatanku lagi."

Lagi?

Jangan-jangan dia ada waktu insiden Zibaq sebagai Evergreen. Ketika tersegel, Zibaq manfaatkan kekuatannya sama dengan kasus Idris dan Khidir. Jadi, selama ini Zach ada di sekitar kami. Sudah berapa kali Zibaq memanfaatkan Guardian untuk melawan kami? Sejauh yang kutahu memang sudah dua kali, tapi sebelum itu?

"Aku akan menjaga Putri Zahra di sini selagi ayahnya di luar," lanjut Zach selagi menggambang lebih tinggi. "Kalian jaga diri."

"Terima kasih." Khidir rupanya tidak ingin memperpanjang obrolan.

Sebelum Zach pergi, aku berseru padanya. "Kalian jaga diri juga!"

Zach hanya tersenyum tipis kemudian lenyap.

Saat itulah seisi istana seakan runtuh, walau kami tidak merasakan guncangan, hanya terlihat seperti dijatuhkan walau tidak merasakan apa pun. Pemandangan sekitar mulai berganti menjadi tempat baru yang tidak asing pula.

"Ini ..." Aku ragu mengucapkan.

Rumah yang terbuat dari batu bata dan bewarna dominan putih lengkap dengan pagar pelindung. Meski sedikit lebih rendah dari tinggi rumah Gill, tetap saja cukup besar dibandingkan rumah sekitar. Belum lagi benda-benda aneh hasil curian yang dia simpan lalu dijadikan hiasan bahkan senjata. Semua itu dia miliki. Dengan semua ini dia masih menganggap dirinya miskin.

"Rumah Stafford." Khidir melanjutkan kalimatku. "Dia tidak di dalam."

"Tahu dari mana?" tanyaku.

"Kalau dia di sini, sudah pasti akan menyambutmu, karena kamu yang dia nantikan." Khidir menjawab sambil fokus menatap rumah itu. Entah kenapa suasana hati dia memang buruk sejak tadi. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini. Biasanya ceria dan kadang cukup cerewet. Dia melanjutkan, "Stafford tidak berubah

Memang seperti apa Ezekiel sesungguhnya? Aku kira dia hanya berusaha menjadi ramah dan bertindak layaknya pelindung, itulah mengapa dia memperlakukanku seperti ini. Namun, rupanya Khidir memiliki pandangan berbeda.

"Memang kenapa dengannya?" heranku.

Khidir berpaling, menatap menghadap jalanan menuju kota. "Kota kembali seperti sedia kala rupanya."

Ah, dia mengubah topik.

Meski begitu, memang benar apa yang dia ucapkan. Kota tampak kembali seperti sedia kala meski tampak jelas ada jejak basah layaknya sehabis hujan deras melanda. Tanda es tadi telah meleleh.

"Bagaimana dengan warganya?" tanyaku.

"Mereka bisa menghangatkan diri." Khidir membalas, bahkan itu tidak terdengar seperti respons yang akan dia utaran. Keadaan saat ini benar-benar telah mengubah kepribadian seseorang. "Sekarang kita cari Stafford dan memastikan bahwa jin itu benar telah pergi."

Tanpa menunggu lagi, Khidir melangkah.

"Hei, sabar sedikit!" Gill menyusul sambil mengenggam tanganku. "Kamu tahu dia di mana?"

"Kurasa begitu." Hanya itu jawaban Khidir sebelum mempercepat langkah.

Astaga, dia sungguh aneh hari ini. Barangkali karena kabar perihal warga Aibarab yang kudengar sedikit dari Ezekiel. Sudah pasti itu yang memenuhi pikirnnya selaku raja mereka. Aku mengerti jika Khidir berusaha tetap ada pribadinya yang ramah dan ceria, meski sekarang tampak jelas dalam suasana hati yang buruk.

"Ayo, cepat!" Khidir mendesak. "Dia menunggu kita."

"Iya, iya!" Gill mendengkus sambil melangkah dan tidak melepas genggaman. "Memangnya dia di mana, sih?"

"Kita cari ke tempat dia biasa berada," jawab Khidir. "Bukankah kalian pada dasarnya sama, yaitu senang berada di tempat ramai dan menarasikan kisah hidup orang lain?"

Apa dia menyindirku?

Gill tergangga, tersinggung rupanya. "Aku tidak begitu! Aku bahkan tidak tahu jika Stafford seperti yang kau katakan tadi."

Khidir menatap Gill dengan sorot tajam. "Dia disebut sebagai Pembawa Kayu Bakar bukan tanpa alasan. Nah, kita coba cari di sarangnya, atau sebut saja tumpukan gula bagi semut."

Pembawa Kayu Bakar? Apa itu berarti dia senang menyulut api? Terkesan menyeramkan. Aku belum melihat sisi itu dari Ezekiel, meski dari cara dia bicara itu tidak menutup kemungkinan ada benarnya. Dia memang banyak bicara dan senang menjadi pusat perhatian, tapi belum pernah kulihat dia mengadu domba apalagi sampai menyulut api pertikaian. Atau bisa jadi sudah berubah sifatnya semenjak keruntuhan Shan? Bisa jadi.

"Ini tempat terakhir dia berada." Aku tunjuk tempat makan yang terakhir dikunjungi. "Tapi, dia pergi terlebih dahulu ketika Zibaq menyerang."

"Lalu ke mana lagi?" tanya Khidir.

Aku spontan menjawab. "Entah."

Tanpa menunggu lebih lama, Khidir buka pintu pembatas tempat makan ini. Pemandangan yang tidak terduga terpampang jelas. Semua orang duduk diam selagi menegak minuman hangat, sebagai diselimuti dan jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan terakhir kulihat. Semua terjadi dalam sehari setengah dan mereka masih merasa kedinginan. Efek sihir Ezekiel lebih besar dari yang kukira bahkan bisa jadi berakibat fatal.

"Itu dia!" Barista menunjuk kami. Lebih tepatnya ke arahku. "Orang yang Sylvester cari!"

Seluruh tatapan tertuju padaku, termasuk Khidir dan Gill. Aku menatap mereka berdua, tidak tahu harus membalas apa. Ezekiel mencariku? Entah mengapa sesuai dengan dugaan Khidir tadi.

Keheningan terus berlanjut, bahkan yang seharusnya minum air hangat pun berhenti hanya sekadar untuk mengamati reaksiku. Mereka seakan benar-benar menunggu tindakan selanjutnya. Pertanda buruk, bisa jadi mereka ingin memancingku ke suatu tempat. Namun, demi apa? Jika mereka tidak senang akan kejadian tadi seharusnya berhadapan dengan Ezekiel, bukan? Lantas kenapa aku?

"Itu Tuan Putri yang dia maksud?" tanya salah seorang dari mereka.

Aku diam saja, bisa jadi ini jebakan.

"Ya, aku kenal dia," sahut si barista. "Dia yang selalu di sisi Pemburu Sihir itu."

"Kekasihnya, ya?" sahut satunya.

"Bukankah dia sudah menikah?" Orang di sebelahnya pun bertanya.

"Aku yakin dia melajang, dia bahkan tidak tampak tertarik untuk menyentuh gadis semuda itu," balas pria di sisinya.

"Siapa tadi nama gadis ini?" Orang itu menunjukku.

Aku memberanikan diri berucap. "Thalia."

"Itu orangnya!" Dia menatap rekan-rekannya. "Dia yang kenal penyebab bekunya kota ini, si Pemburu Sihir itu!"

"Sylvester Bill!" Seorang dari mereka berseru lantang.

Satunya menyahut. "Bukan! Aku yakin namanya John."

"Kemarin dia bilang namanya Jack," kilah satunya.

"Nama dia Quinn tahu!" balas satunya lagi.

"Ah, telingamu bermasalah." Pria yang tadi menunjukku menyahuti. "Sudah dipastikan, kemarin dia bilang namanya Terence."

Rekannya membalas lagi. "Mana ada! Bukankah namanya Larry?"

Obrolan mereka semakin canggung akibat ketidakpastian ini.

Akhirnya, seseorang bicara dengan lantang. "Yang pirang itu, 'kan? Kita sering bicara dengan seseorang, tapi tidak pernah tahu namanya?!"

Siapa pun itu, aku tahu pasti ke arah mana ucapan ini.

Dia. Tentu saja dia.

Barista kembali bicara. "Nona Thalia, kami butuh bantuanmu."

"Bantuan?" beoku.

Dia pun menjelaskan. "Kami tahu kamu penenang hati Pemburu Sihir itu, siapa pun namanya, kami yakin kamu satu-satunya yang bisa bicara dengannya langsung."

Ah, perkara ini tentu tidak semudah yang diucapkan. Ezekiel saja sejauh ini bertindak sesuka hati dia, bahkan aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini.

Barista itu beranjak dari posisinya dan menunjukku. "Cepat temui dia!" desak sang barista. "Dia sudah mulai kehilangan akal!"

"Apa maksudmu?" balasku, bahkan terlalu bingung. "Kehilangan akal?"

Kulihat mulut si barista bergetar. "Di ... dia membekukanku untuk kedua kalinya! Dia mencarimu padahal seharusnya jika kamu masih di sini sudah pasti kami tidak akan membeku–"

Khidir memegang bahu wanita itu. "Tenangkan dirimu. Jelaskan secara perlahan." Dia berucap pelan sambil menenangkan.

Ucapan Khidir langsung membuatnya diam kemudian memilih duduk di kursi terdekat. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya dia menceritakan apa yang terjadi pasca kepergianku bersama Darren dan Safir.

"Intinya, dia mencarimu," ujar barista kepadaku. "Temui dia, barangkali ada sesuatu yang ingin dia sampaikan."

Gill dengan mantap membalas ucapannya. "Akan kami temani."

Khidir seakan mengiakan dengan berdehem pelan. "Kami akan membawa Thalia padanya."

Aku menelan ludah. Memang Ezekiel itu juga pelindungku, tapi entah mengapa aku justru merasakan kengerian saat membayangkan pertemuanku bersamanya.

Sejak awal pertemuan dia sudah membuatku merasakan kejanggalan darinya, namun di sisi lain pula aku merasa aman bersamanya. Aku merasa tidak pantas takut. Dia saja tidak pernah menunjukkan diri sebagai ancaman. Namun, semua ini terasa saling berlawanan. Satu hal yang masih belum terjawab dari benakku ialah, apa dia benar-benar menyerupai sosok buruannya?