"Siapa?" tanyaku.
"Putri akan tahu," bisik Darren. "Untuk saat ini, kita pandu dia ke Zibaq."
Aku mengiakan. Apa pun itu, aku akan mendukung selama ia memihak kami.
Ascella diam saja kali ini, sepertinya sudah kehabisan kata.
"Kamu ikut apa tidak?" tanya Safir, memastikan.
"Tentu saja," jawab Ascella. "Aku ingin memulihkan kakakku."
"Bagus." Safir lalu menatap Darren. "Kasih dia baju!"
Darren tanpa berkomentar lebih, hanya menberikan sehelai jaket yang cukup tebal untuk Ascella.
"Terima kasih," ujar Ascella.
Darren lalu memgambil sehelai jaket lagi dan memasangkannya padaku.
"Terima kasih," ujarku.
"Sama-sama," balasnya.
Kulihat Ascella menatapku lagi, tapi tidak ada komentar sebelum menunggu perintah lain.
Kulihat Safir sudah siap, bahkan melindungi telinganya di balik topi. "Ayo, kita selamatkan mereka!"
***
Kukira kekuatan Guardian tidak ada pengaruhnya bagiku. Ternyata aku salah besar.
Badai salju barusan malah semakin ribut. Belum lagi suhu yang menurun drastis membuat hidungku terasa ditusuk ribuan jarum dingin sehingga aku harus menutup hidung setiap saat. Rupanya itu tadi hanya permulaan, sekarang justru semakin parah. Pemandangan dipenuhi pasir dingin yang beterbangan sehingga sukar melihat tanpa risiko sakit mata akibat kemasukan salju.
Wuuussshhh ...!
Badai nyaris menumbangkan diriku kalau saja Darren tidak langsung mendekapku. Kami berdua berjalan melintasi badai ini meski tidak jelas arahnya. Sementara Safir berhasil melampaui kami meski hanya beberapa langkah, setidaknya dia tidak oleng. Ascella berpegangan di jaket yang Darren kenakan, dia seperti saputangan yang diterpa angin, berjuang untuk bertahan meski hanya sebelah tangan jadi harapan.
Safir berseru, tapi tidak jelas suaranya.
"Apa?!" balasku.
"Sebentar lagi sampai," jawab Darren untukku. "Gue dapat merasakan aura Guardian."
Aku terdiam. Apa semua Guardian dapat merasakan keberadaan masing-masing? Mereka begitu terikat hingga hal seperti ini bisa jadi dianggap biasa. Lantas, apa Mariam mengalami hal yang sama?
Ah, di mana dia sekarang? Aku bahkan tidak menjumpainya akhir-akhir ini. Rasa rindu yang kuat membuatku ingin segera melihatnya barang sejenak.
Ascella berseru di belakang, dia berhasil berpegangan di perut Darren. "Kakak ada di mana?"
"Enggak tahu." Akhirnya Darren mau menjawab Ascella.
Badai perlahan kuat setibanya kami semakin dekat. Darren mempererat pelukan, bahkan dapat kudengar suara langkah kakinya semakin berat akibat tekanan angin yang seakan ingin mengusir kami dari sini.
Sementara Safir berhasil masuk lewat sebuah pagar tinggi yang terbuka, bisa jadi akibat dorongan badai tadi. Dia berpaling dan menunjuk ke siluet rumah yang begitu tinggi dan besar. "Mereka di sana!" serunya, untung terdengar.
Darren mengiakan. Dia melangkah mendekati siluet tadi hingga perlahan semakin jelas bentuknya.
Rumah itu terdiri dari banyak tingkat, bahkan bisa saja menyerupai istana. Rumah ini bewarna merah tua dan semakin gelap di bawah kendali badai salju. Sementara taman di depan yang seharusnya menjadi penyambut tamu kini tertutupi salju bahkan membeku.
Ezekiel.
Apa dia tidak boros kekuatan? Di mana dia sekarang?
Badai tentu saja tidak mereda, bahkan ketika kami berhasil berdiri di depan pintu. Ascella langsung roboh di lantai sementara Darren melepas pegangan.
Darren kemudian memeriksaku. "Putri kedinginan?"
Aku hanya membalas dengan anggukan.
Safir menepuk bahu Darren. "Ketuk pintu, tidak?"
Darren menggeleng.
"Lah, kenapa?" tanya Safir.
Darren menatap pintunya kembali. Memang terbuat dari kayu dan dia bisa membakarnya sekarang. Tapi, apa memang efektif mengaktifkan api di tengah badai salju? Begitulah tebakanku.
Darren masih tidak menjawab.
"Aku akan masuk," ujar Ascella sambil melangkah maju.
Darren menahan dengan memegang bahu Ascella. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan seakan tidak ingin Ascella masuk ke rumahnya sendiri.
"Hei, lepaskan!" seru Ascella, malah menggerang akibat cengkeraman Darren yang semakin kuat. "Ada masalah apa, sih?!"
Kulihat kerutan di dahi Darren semakin dalam, tanda dia benar-benar tidak senang dengan tindakan Ascella. Aduh, kenapa tidak bicara saja?
"Aku akan menemui kakakku!" tegas Ascella sambil berusaha menjauhkan tangan Darren dari bahunya tapi gagal.
Detik demi detik berlalu dengan perjuangan Ascella melepaskan diri dari tangan Darren. Ascella menyerukan kalimat yang sama bahwa dia akan menyelamatkan kakaknya, tapi tetap saja Darren menahan.
"Lepaskan atau aku akan melawan!" ancam Ascella.
Tidak juga digubris.
Ascella menggeram, bahkan ketika dia berusaha bebas dengan mencengkeram tangan Darren menggunakan kedua tangan tetap saja tidak berguna.
Darren hanya menatapnya, kali ini wajahnya melembut tanda dia bisa jadi berusaha melindungi lelaki itu. Tapi, tentu saja tanpa komunikasi yang jelas akan menciptakan kesalahpahaman.
"Lepaskan!" seru Ascella memberontak. "Dia kakakku, dia mengerti aku!"
"Ada jin dalam dirinya." Darren akhirnya berkata. "Dia enggak bakal lihat lo sebagai adik tapi musuh yang harus binasa."
"Dengar, bagaimanapun dia tetap kakakku," kata Ascella agak keras kepala.
Wajah Darren tampak mengeras, terlihat dari kerutan di dahinya kembali muncul. Tanpa diduga, dia mendorong Ascella hingga lelaki itu jatuh di lantai yang dingin.
"Aduh!" Ascella menggerang. "Kamu kenapa, sih?"
Darren lagi-lagi tidak menjawab. Dia malah berjalan dan meraba pintu itu dengan lembut.
"Apa boleh masuk sekarang?" tanya Ascella yang tentunya dia abaikan.
Kulihat Darren memasang telinga, meneliti rumah tadi. Beberapa saat dalam diam, Darren berpaling dan menghadapku.
"Bagaimana?" tanyaku.
Dia diam saja, hanya memberi gerakan menatap kembali pintu itu.
Aku hanya menebak kalau dia berniat bilang kalau tidak ada apa-apa di sana. "Ya, sudah. Kalau aman, bukakan!"
Darren menggeleng.
"Belum aman?" Aku memastikan.
Dia mengiakan.
"Argh! Sudah cukup!" Ascella berlari ke arah pintu.
Darren mengeluarkan suara "ha" tanda protes tapi tentu tidak digubris. Melihat Ascella semakin dekat ke pintu membuatnya langsung mendekapku lagi.
Safir yang tadinya diam langsung berlari menjauh dari sana dan mendekati kami.
Aku yang bingung langsung berkomentar. "Ada apa?"
WUSSSSHHH ...!
Tepat dengan ucapanku tadi, duri-duri es serta badai salju menyeruak dari balik pintu laksana ledakan. Ascella yang berdiri tepat di depan seketika membeku bersamaan dengan salju tadi.
"Ascella!" jeritku.
Darren mendekapku erat. Sekeliling kami dipenuhi api biru. Ragaku perlahan terasa hangat, tidak lagi tersiksa seperti sebelumnya. Membuatku lebih betah diam untuk menghangatkan diri.
Safir di sebelahku, dia tidak menyentuh Darren tapi melepas topi tanda dia mulai merasa hangat.
Berkat api Darren, aku merasa lebih hangat dan tidak turut membeku. Tanda dia dapat menyeimbangi kekuatan adiknya–Ezekiel.
Aku ternganga menyaksikan semua ini. Ezekiel benar-benar kehilangan kendali. Seisi rumah tampaknya telah dikuasai es dan salju hingga tidak menyisakan apa pun selain itu. Jika sampai begini terus, maka seisi kota akan membeku dan semua orang tidak akan selamat.
Aku harus mencarinya. Di mana Ezekiel?