Chereads / Guardians of Shan / Chapter 149 - Kekuatan dari Dewa – 4

Chapter 149 - Kekuatan dari Dewa – 4

"Ezekiel!" Tidak peduli lagi dengan nama samaran, aku terus menyeru. Memastikan bahwa Guardian-ku masih di sana. Aku coba mencarinya menggunakan kalungku. Kalungku sama sekali tidak bersinar, tanda dia sudah begitu jauh.

Meski dunia tampak gelap karena sudah malam, namun tetap saja terasa janggal lantaran kegelapan ini seperti menyegel kota ini. Aku hampir tidak bisa melihat dalam jarak jauh, hanya mengandalkan firasat dan sedikit cahaya kalungku.

Aku kembali menyeru. "Ezekiel!"

Tidak ada yang membalas.

Wuuussshhh ...!

Aku merasakan dorongan, ternyata dari badai yang menyeruak dari depan. Dunia terasa terguling. Terhentak dan berputar beberapa saat hingga jatuh ke tanah yang begitu dingin. Sekujur badan terasa nyeri dan membeku ketika kulit menyentuh tanah es.

Aku langsung berlutut sambil memeluk diri yang menggigil lalu mencoba mengedarkan pandangan yang tadinya gelap. Kepala terasa pusing akibatnya, tapi aku berhasil pulih sesaat dan menatap sekitar untuk beberapa kalinya. Lagi-lagi, hampir tidak ada yang bisa kulihat dari jarak jauh selain kegelapan.

Di mana Ezekiel?

Begitu hendak berdiri, aku disambut oleh pasir-pasir putih dengan ujung runcing yang dingin. Untungnya aku berhasil menunduk hingga benda itu melaluiku begitu saja, meski beberapa helai rambutku terkena. Hanya desiran angin menyertai.

Aku tidak bisa melihat lebih jauh lagi. Tidak bisa berbuat banyak hingga berlalunya badai. Pandanganku tersapu oleh badai salju yang menusuk hingga ke tulang. Aku terus memeluk diri, memastikan agar tidak membeku. Ini badai salju yang tiba-tiba muncul di tengah musim panas tanpa musim lain mendahului. Bahkan dinginnya melebihi apa yang kubayangkan. Meski demikian, aku merasa beruntung tidak membeku.

Badai mulai menyapu sekitar, tapi aku merasa seakan dilewati badai itu sendiri, hanya merasakan hawa dingin yang menusuk. Begitu menyempatkan diri melihat sekitar, yang kulihat laksana Kyrvec yang kukira hanya sebatas dongeng lama. Seperti tempat Azya dilahirkan dan dibesarkan. Ini negeri salju.

Lalu, aku teringat dengan ucapan wanita tadi. "Dia belum tentu bisa mengendalikan. Bahkan bisa membekukan satu kota, pernah waktu itu, sekitar satu dekade lalu. Dia membekukan setengah dari kota ini. Meski beberapa jam kemudian keadaan kembali normal, kami tidak bisa tenang setelahnya. Dikendalikan amarah dan letih, ia gunakan tenaga yang tersisa untuk melawan musuhnya, seekor jin aneh yang merasuki raga wali kota kami. Meski  berhasil mengusir jin itu, ia tidak bisa mencegah pembekuan sampai menunggu es meleleh."

Sebesar itukah kekuatan Ezekiel?

Tunggu, ke mana Safir? Bukannya tadi dia bersamaku? Apa dia diam-diam pergi mendampingi Ezekiel?

Aku hendak berbalik ke tempatku berada, tapi semua terlambat lantaran aku terjebak di tengah badai salju dan dikelilingi tempat yang kini tidak berbentuk lagi karena telah membeku. Aku harus mencari Ezekiel. Dia bertanggungjawab atas semua ini.

Badai perlahan berhenti. Pasir-pasir dingin dan menusuk itu kian sedikit, membuatku akhirnya bisa lebih leluasa bergerak. Begitu pandanganku kembali jernih, yang kulihat hanya es yang melapisi setiap rumah dan benda. Begitu tebal hingga tidak terlihat dalamnya lagi. Semua bagaikan dikutuk menjadi batu.

Aku pandangi sekeliling. Tidak ada tanda kehidupan. Ke mana semua orang? Apa mereka sudah aman? Dari cerita si Barista, sepertinya mereka akan belajar dari pengalaman. Kuharap penduduk kota Adrus saat ini dalam kondisi aman.

Aku meneruskan langkah, mencoba mencari Guardian-ku bagaimanapun juga.

"Eh?!" Aku nyaris tergelincir. Es yang melapisi tanah seakan benar-benar menjadikan tempat ini layaknya Kyrvec sejak lama.

Seseorang, tolong hentikan ini!

Aku mencoba menyeru, tapi tidak yakin bakal aman di tengah kesunyian ini. Bisa jadi semua hanya jebakan agar target bisa mudah dicari. Itu pun aku tidak tahu siapa yang sebenarnya diincar.

Kenapa Ezekiel sampai membekukan kota ini? Itu pertanyaan utama. Padahal dia cukup membekukan sosok yang kuduga sebagai lawan utama kami saat ini. Mungkin saja musuh kami lebih berbahaya dari yang dikira sampai segitunya. Masalahnya, aku justru berada ke tempat yang tidak ada pengamannya.

Di mana Ezekiel?

Lagi-lagi, keinginanku untuk berseru ditahan. Merasa tidak ada gunanya berteriak jika tidak bakal terdengar.

Sambil mengusap tangan yang dingin, aku berusaha untuk terus melangkah meski sering menoleh akibat kaget melihat bayangan aneh yang ternyata hanya benda yang kini disegel dalam es. Seperti bangku taman yang kini berbentuk seperti tabung.

Butuh waktu berapa lama es sebanyak ini meleleh? Itu pertanyaan utama. Tapi, yang lebih membuatku cemas adalah–lagi-lagi–ke mana semua orang?

Aku menoleh ke kiri dan kanan selagi meneruskan langkah. Untungnya tidak terlihat orang lain yang melintas lalu dibekukan atau mungkin saja mereka membeku di rumah. Di depanku hanya berjejer rumah-rumah yang dibekukan. Aku melihat beberapa binatang seperti kucing dan anjing membeku di jalanan. Beberapa burung yang beku juga tampak terjatuh dari langit setelah terkena serangan dari Ezekiel. Mengerikan. Bahkan sihirnya pun bisa kena hingga ke langit.

Akhirnya apa yang aku takutkan muncul. Terlihat seorang wanita mengenakan terusan dalam posisi berjalan, tapi sudah dibekukan. Dia bahkan tidak terlihat menyadarinya dan mungkin tidak tahu sama sekali kalau barusan terjadi keributan. Ini sudah kelewatan. Jika aku menemukan Ezekiel, aku harus menegurnya akibat berlebihan seperti ini.

Mengapa dia melakukannya? Mengapa kota ini dibekukan?

Itulah pertanyaan yang dari tadi belum terjawab. Hanya satu pertanyaan, namun menuntut jawaban lebih. Tidak banyak petunjuk yang kudapat selain Ezekiel barangkali refleks melakukannya. Tapi, mengapa? Kalau bisa menggunakan kekuatannya dalam jangka kecil, kenapa harus satu kota yang kena dampaknya? Apa yang rakyat Adrus lakukan? Atau ini semua demi ...

"Thalia ..."

Aku nyaris terpeleset. Kaget mendengar suara dari lelaki yang kukira masih di dalam sel tahanan.

"Ascella?" Aku mengedarkan pandangan. Mata hijauku menangkap bayangan dia.

Ascella berjalan gontai di tengah salju. Tampak letih dan menyedihkan. Badannya dipenuhi luka goresan hingga meneteskan darah yang kini membeku. Bajunya pun sebagian robek. Pandangannya tampak memburam lantaran dia berjalan hampir tidak tentu arah.

"Thalia," ucapnya lirih. "Dia ... Mau membunuhku."

Dia pun roboh.

Aku berlari menghampiri. Dia bahkan tidak merespons ketika aku menepuk pelan pipinya. Lelaki itu bahkan tidak menyahut saat kutanya apakah dia masih di sini. Kini aku harus membawanya kembali ke warung dan menunda niatku mencari Ezekiel.

Dengan perlahan, aku membopong Ascella di pundak. Berusaha melangkah di atas es yang begitu licin. Menopang lelaki yang tidak jelas statusnya di mata para pelindungku selain tahanan. Ascella, bagaimanapun juga, harus diselamatkan karena dia bisa jadi saksi.

"Seseorang, tolong!" seruku pada akhirnya.

Tidak ada balasan.

Aku putuskan untuk kembali ke tempat makan tadi. Mereka mungkin mau membantu. Aku tidak mungkin membiarkan seseorang yang meregang nyawa langsung mati begitu saja.

"Ascella!" Aku mencoba menyadarkan.

Dia merespons pada akhinya, meski dengan "hm" pelan tak bertenaga.

"Kita akan ke tempat makan, mereka mungkin akan membantu," kataku.

Ascella mengiakan. "Terima kasih ... Thalia."

Aku tidak sempat menanyainya kenapa bisa terluka seperti ini. Yang penting sekarang adalah menyelamatkan nyawa.

Nah, sampai.

Setibanya kembali di tempat makan, orang-orang yang sama masih di dalam. Mereka mengenaliku terutama si Barista. Wajah wanita itu melonggo tanda heran sekaligus kaget melihatku membawa anak lelaki yang terluka.

"Bantu dia!" seruku.

Beberapa orang mendekat lalu aku serahkan Ascella pada mereka. Kubiarkan mereka lakukan apa yang mereka yakini bisa menolong lelaki malang itu.

"Kamu kenal dia?" tanya si Barista.

Aku mengiakan. "Aku menemukannya di tengah kota yang membeku."

Aku tidak menceritakan kalau ada seseorang yang mencoba membunuhnya. Ada banyak perkiraan dan aku belum berani mengungkapkan. Beberapa orang telah membawa Ascella ke belakang, dari situ saja sudah membuatku lega. Setelah dia pulih nanti, akan kutanyakan perihal ucapannya tadi.

Kulihat si Barista menutup wajah dengan kedua telapak tangan di meja, tanda telah membendung suatu perasaan berat untuk dijelaskan. Tidak perlu ditanya, dia langsung berkata kepadaku.

"Dia keturunan pengabdi sang Raja Iblis, musuh para Guardian Shan."