Chereads / Guardians of Shan / Chapter 138 - Keluarga Wynter, Lagi – 1

Chapter 138 - Keluarga Wynter, Lagi – 1

Ariya menatapku. "Akhirnya berjumpa lagi. Dari mana saja kau?"

"Bersama pelindungku," jawabku.

Ariya mengalihkan pandangan ke Darren. "Kamu siapa lagi?"

Darren tidak menjawab.

"Kukira kamu tahu," sahut Safir. "Bukannya kalian sudah lama berkenalan?"

"Aku hanya kenal Hiwaga, Paman Idris, dan Khidir. Jangan sok kenal!" Ariya berkacak pinggang, terkesan tidak menerima kedatangan kami.

Safir mencibir. "Kamu kenapa, sih?"

"Kami menunggu adikmu," ucapku pada Ariya. Berusaha mengakihkan topik daripada membiarkan keadaan memanas.

"Adik yang mana?" Ariya jelas memiliki banyak adik. Hanya Arsya kakaknya.

Aku menjawab, "Akram–"

"Makanan! Mana makanan?!" Safir jelas sudah tidak sabar.

Darren masih berdiri di sisiku, tanpa suara maupun reaksi. Jelas tidak tertarik untuk ikut bicara.

"Aduh!" Ariya pun berjalan menghampiri kami. Dia tampak manis dengan daster panjang berwarna biru yang selaras dengan rambutnya. "Kalian sudah menumpang, sok penting lagi. Kalau Abi tidak menyetujui kolaborasi ini, sudah pasti kujadikan batu kalian!"

Ancaman Ariya bukan main-main. Saat berusia dua belas tahun, aku nyaris menjadi batu karena terpana akan kecantikannya. Kini, aku tetap waspada apabila berada di dekatnya terlebih dengan suasana hati seperti itu.

"Kolaborasi?" Aku mengulangi ucapannya.

"Ya, walimu meminta ini." Ariya kemudian duduk di sofa sambil bersedekap. "Tengah malam kukira bakal bertemu dengan calon suami, ternyata malah ini!"

"Siapa ..." Aku menggantung kalimat ketika Darren berbisik. Dia cukup menyebut satu nama yang seketika membuat jantungku berdebar. "Dia."

"Ya, Pak Tua itu." Ariya membenarkan. "Ada-ada saja kedatangannya. Kukira dia terlempar di suatu negeri yang jauh, seperti di–Nah, itu Akram."

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja muncul Akram bersama beberapa camilan hingga nasi berbentuk gunung. Begitu banyak hingga tidak mungkin cukup serumah ini saja.

"Selamat makan." Akram lenyap tertiup angin. Seolah merasa tugasnya sampai di sini saja.

Aku kembali menatap makanan yang disajikan. Semua tampak menggiurkan.

Tampaknya enak. Aku langsung hendak menyentuh satu, tapi ... "Eh?"

Tanganku ditahan Darren.

Hendak bertanya ada apa, barulah aku sadar perannya di sini.

Darren meraih sebuah roti dan mencicipinya. Cukup lama menunggu reaksi hingga dia kembali mengunyah lebih banyak. Tanpa ragu, Darren menyerahkan sebuah roti itu kembali dengan dipotong setengah.

Safir tanpa ragu sudah menyantap beberapa camilan terutama yang manis. Dia bahkan makan mendahului kami.

Cukup lama aku tidak berpikir untuk makan yang manis-manis. Ini saat yang tepat untuk merasakannha lagi.

Hanya cukup beberapa buah roti sudah membuatku kenyang. Melihat semua orang di ruangan ini makan membuat suasana menjadi hangat meski tanpa sepatah kata.

Kebanyakan sudah menimati manisan, sepertinya Ezekiel juga bakal senang jika diberi sebagian nanti. Maka, kusimpan sebagian ke dalam kantong rok, semoga tidak tercecer.

"Darren?" Aku tertawa kecil melihatnya makan manisan begitu nikmat layaknya bocah.

Pikiranku beralih ke beberapa waktu lalu, Nemesis sangat suka dengan roti sehingga makanan utamanya saja dilupakan. Aku ingat betul ketika menawarinya sepotong dan dia makan hingga habis. Itu terus terulang sampai kedatangan rombongan Remi.

Sudah lama kami semua tidak berkumpul. Tidak lengkap rasanya makan tanpa orang yang berarti.

"Putri." Darren memanggil. Dia rupanya menawari segenggam roti tadi.

Aku menerimanya dan berterima kasih.

"Ariya," panggil Akram. "Mana Umi dan Abi?"

Ariya hanya menjawab. "Ikut wali gadis ini."

Jawaban ketus seperti itu memang membuat perasaan tidak nyaman, tapi aku tidak bisa melawan di saat seperti ini.

"Hei, Reem!" panggil Ariya sambil menatapku. Rupanya dia masih mengingat nama itu. "Sudah siap bertarung di sisi walimu?"

Aku tidak pernah memikirkannya selama beberapa hari ini. Seketika diam. Memang selama ini berusaha membantu dengan tidak menampakkan diri di hadapan lawan meski aku sendiri yang diincar. Dalam beberapa kasus aku bahkan mencoba melempar batu dan sedikit berhasil.

Menyadari diri ini terlalu lama menggantung jawaban, akhirnya kujawab sebisanya.

"Aku akan selalu mendampingi waliku," ujarku. Tidak ada niat melanjutkan apalagi menambah dengan kata-kata mutiara.

Rupanya, jawabanku bisa dibilang sukses.

"Begitu." Hanya itu balasan Ariya. "Ya, sudah. Kau ikut kami mengurus jin itu."

"Oke." Jawaban yang mengandung kecanggungan, tapi hanya itu yang bisa kubalas.

"Kalau ragu, katakan saja," ujar Ariya. "Jangan jadi beban!"

Aku simpan kata-katanya untuk nanti.

"Kau sendiri punya nyali melihat jin itu?" balas Safir. "Oi, Ezekiel saja belum tentu berani."

"Kenapa?" heran Ariya. "Kukira dia lebih sakti dibandingkan kalian semua."

"Makanya." Safir pun merapikan bekas makanannya. "Kalau kamu yakin bisa menahan jin itu dengan melotot, silakan. Tapi, aku ragu orang macam kau bisa."

"Kau meragukanku, hm?" Ariya tentu saja tersinggung. "Aku bisa mengajak Arsya sekalian, dia sama kuat bahkan lebih dariku."

"Undang saja," balas Safir. "Tapi, sekali lagi, aku meragukan kehebatan kalian. Keluarga Wynter memang sering diceritakan sebagai kaum bangsawan yang kuat dan disegani. Tapi, mana pernah aku melihat kalian bertarung langsung dengan kami."

Baru kali ini kulihat dia lebih banyak bicara apalagi dengan urusan yang seharusnya dibahas oleh Guardian. Dan untuk poin terakhir, aku seharusnya menceritakan hal itu kepada Safir nanti. Sayang sekali kalau dia tidak pernah melihat keluarga bangsawan ini berkolaborasi dengan para Guardian-ku saat di Aibarab bahkan sampai Ezilis.

"Mohon maaf, kami pernah."

Nah, sekarang aku diwakili Ariya.

"Aku pernah membekukan Sakhor alias Zibaq dan kami berhasil menyimpan orangnya di rumah," lanjut Ariya.

"Cuma menyimpan, bukan menyegel," sanggah Safir. "Pantas saja kabur."

Aduh, debat ini tidak akan selesai kalau keduanya tidak akan menutup mulut.

Aku melirik Darren. Dia sudah makan dan kini bersandar di sofa, tampak mengantuk selagi menyimak perdebatan ini.

"Darren, lakukan sesuatu!" bisikku. "Debat ini tidak akan berakhir kalau tidak kamu tegur."

Aku yakin Safir lebih mau mendengar suara seorang Guardian ketimbang aku, melihat beberapa pengalaman di masa lalu.

Darren perlahan berdiri. Meski postur badannya hampir tampak membungkuk, dia tetap terlihat lebih tinggi dibandingkan kedua wanita itu. Safir tampak mungil di antara mereka sehingga dia langsung terdiam begitu melihat bayangan Darren berdiri di antara dia dan lawannya.

"Sudah." Darren terdengar tertekan,  tidak kulihat ekspresi apa pun melainkan kejenuhan. "Kalian berisik."

Itu kalimat terpanjang sejauh ini yang keluar dari mulut Darren.

Baik Ariya maupun Safir bungkam. Seluruh tatapan tertuju padanya.

Darren, tanpa berucap lagi, langsung berpaling dan duduk kembali di sisiku. Kembali ke pengaturan awal.

"Sebaiknya kau tangkap jin itu sebelum aku terlambat makan siang hari ini!" ancam Safir yang kembali memulai perkara.

"Terserah, Rubah!" balas Ariya. "Sekarang saja kalau begitu!"

"Ayo!" Safir tampaknya antusias.

Kembali ke Darren, kulihat dia menarik napas dan mengeluarkannya, seperti tidak terima tapi tidak bisa menolak.

Ariya pun menatap Darren. "Sekarang, katakan kapan munculnya jin itu!"