"Apa?" balas Akram dingin. Tangannya terulur, semakin dekat, tanda dia tidak sabar melepas benda itu dari tangannya yang mulus.
"Kamu kurir sekarang?" tanyaku, tersenyum menahan tawa. Bukannya mengejek, tapi ini tidak sesuai dengan diri Akram yang kukenal.
"Baru tahu?" balas Akram. "Sudahlah, baca pesan dari walimu itu."
Cukup senang rasanya diakui memiliki wali atau pelindung alih-alih kekasih seperti yang diucapkan Ascella sebelumnya. Ya, ini semua salah Ezekiel. Tapi, terlambat bagiku untuk protes.
Ketika kubuka kotak itu, tampak secarik surat bersama sebuah pisau kecil lengkap dengan ukiran namaku di Shan, Azeeza. Sangat aneh jika nanti orang lain mengetahui identitas asliku, berkebalikan dengan kebiasaan Guardian yang kerap menyamar.
Perihal surat itu, hanya tertulis :
Untuk Putri,
Pakailah pisau ini untuk berjaga diri. Gue mungkin enggak bakal pulang cepat, jadi gue takut lo bakal kenapa.
Tertanda,
Ezekiel
Sangat singkat, padat, namun tidak terlalu jelas.
Kenapa dia pergi? Katanya berjalan sebentar tapi malah menghilang sekalian.
Kenapa harus pisau kalau aku bisa memakai batu? Ah, mungkin untuk bertarung di ruang tertutup yang mana jelas tidak ada batu, kecuali di rumah kolektor batu tentunya.
"Sudah?" tanya Akram. "Ikut kami!"
"Hei, pelindungku berpesan untuk diam di sini!" tegasku.
"Dia tahu," jawab Akram. "Kami sudah ada perjanjian. Sekarang, ikut!"
Aku melirik Safir, wanita itu mengendikkan bahu.
"Terserah." Hanya itu balasan dari Safir. "Aku kunci dulu rumah ini."
Dia pun pergi selama beberapa saat.
Akram kini menatapku. "Kamu tampak pendek."
"Kamu bilang apa?" Aku melotot.
Beraninya dia! Mentang-mentang pertumbuhannya lebih cepat!
"Pendek," ulangnya. "Sudahlah, nanti semakin ribet urusannya."
Padahal dia yang mulai.
Safir kembali. "Nah, selesai. Mau ke mana kamu bawa kami?"
"Ke rumah Keluarga Wynter."
***
Rumah Keluarga Wynter tidak beda jauh dengan yang kulihat dulu di Aibarab. Kali ini lebih kecil dan semak belukar hampir menutupi jalan menuju rumah itu seakan memang sengaja disembunyikan dari khalayak ramai. Aku tidak yakin apakah keluarga ini memang hendak menyendiri atau tidak. Yang pasti, rumah mereka selalu didominasi warna gelap.
Akram hanya tinggal memegang tanganku dan Safir, saat itu juga kami berdiri di depan pintu rumah tanpa ukiran yang berarti.
Akram dengan mudah membuka pintunya dan menuntun kami masuk.
Rupanya rumah keluarga ini memang sengaja dirancang penuh dengan beragam ruang yang gelap seakan menyembunyikan sesuatu. Dari mana Wynter mendapatkan harta untuk membeli semua rumah cadangan? Di mana saja?
"Ada apa ini?" bisikku pada Akram.
Memang tidak aneh lagi kalau Keluarga Wynter bekerjasama dengan para Guardians, tapi aku tidak tahu motifnya kali ini.
Kalau pertama itu demi melindungi Idris dan kedua kalinya demi menyelamatkan orang yang sama pula. Apa yang ini ada kaitannya dengan Idris lagi?
"Temanmu butuh bantuan sementara dia berusaha menyelamatkan adik-adikku," ujar Akram sambil menuntun kami ke ruang tengah. "Dia akan melacak rumah pelaku sementara kami memastikan kamu aman dari cengkeraman Zibaq."
"Sebagai siapa Zibaq kali ini?" tanyaku.
"Seorang wanita," jawab Safir. Dia tersenyum, tampak tertarik. "Wanita dengan seorang adik lelaki."
Berarti benar dugaanku.
Akram mempersilakan kami duduk di sofa yang berwarna hitam lengkap dengan beragam kue kering dan cangkir teh yang masih hangat.
"Walimu punya banyak musuh dan masalah," ujar Akram, menatapku seakan akulah yang bersalah. "Hampir setiap orang punya musuh dan kebetulan sekali Stafford suka membuat kerusuhan."
"Stafford?" beoku.
"Ezekiel Stafford." Safir menyebut nama lengkapnya. "Hanya itu yang dia sebut kepadaku. Aku yakin tidak hanya itu namanya."
"Dia tidak mungkin membohongimu," sahutku tidak percaya. "Kenapa juga harus berbohong?"
"Aku tahunya dia dan abangnya itu punya dua marga," ujar Safir. "Benar begitu, Mister Lanchester?"
"Ya."
Aku tersentak, kenal suara itu. "Darren?!"
Begitu menoleh ke sudut kiri ruangan, terlihat di tengah lorong gelap berdiri seorang pria sambil bersandar di dinding. Mata birunya menatapku.
"Dia punya marga Lanchester, Darren Lanchester," kata Safir. "Jadi, keduanya menggabungkan marga ketika keluarga mereka bertemu."
Rumit sekali.
Darren kemudian mendekat dan tanpa bilang apa-apa langsung duduk di sisiku. Tidak berucap maupun menatap apa pun melainkan pahanya.
Suasana seketika jadi canggung.
"Darren?" panggilku.
Dia menanggapi serta menatapku.
Aku berpikir sebentar. "Mau apa ke sini?" Bukannya tidak tahu, hanya tidak ingin suasana semakin dingin.
"Melindungimu." Darren menjawab spontan, dengan nada tenang, tapi terkesan menggantung.
Aku tertawa kecil, lagi-lagi agar tidak terlalu tegang. "Tentu saja, semua Guardian akan melindungiku dan Adik."
Darren diam saja.
Aduh, gagal memancing.
Safir berdecak, meremehkan lebih tepatnya. Dia kemudian menatap Darren. "Hei, Lanchester!"
Darren menatapnya.
"Apa yang harus kita lakukan? Diam saja di sini atau urus Zibaq?" tanya Safir.
Darren menatap Akram.
Akram sepertinya bingung dengan reaksinya. "Aku di sini untuk menyelamatkan adik-adikku. Tapi, kami sudah mempercayakannya pada Stafford."
"Jadi, apa?" Safir menatapku dan Akram bergantian.
Akram berdiri. Dia menatap kami semua satu demi satu dan akhirnya bicara. "Kalian diam saja di sini sementara aku akan belikan camilan."
Hanya dengan itu, dia lenyap menyisakan serbuk hitam di lantai.
***
Waktu kami habiskan dengan saling menghindari tatapan, sementara Darren sudah terlelap di sisiku seakan kekurangan tidur. Dia tampak begitu tenang tanpa beban membiarkanku harus menghidupkan suasana agar Safir tidak merasa diabaikan.
Tunggu, dia juga tertidur.
Safir mendengkur di seberang, tidur dengan posisi seperti janin. Telinga rubahnya melipat ke bawah dan berselimut di antara rambutnya yang sebahu kini dibiarkan terurai saat tidur.
Aku melirik Darren, bisa-bisanya dia tertidur dalam kondisi seperti ini. Di rumah orang, tanpa siapa-siapa pula. Ke mana keluarga Wynter saat aku memerlukan?
Oh, dulu aku berusaha menghindari mereka dan sekarang berjuang mendekat layaknya kisah cinta.
Akram, di mana dirimu? Lama sekali belanjanya.
Aku menundukkan pandangan, kalung yang setia menemani selama empat tahun ini bersinar seperti biasa.
Bosan, aku panggil orang yang terlelap di sisiku. Nyaris saja dia jatuh ke bahuku. "Darren."
Darren masih memejamkan mata, tapi aku tahu dia mendengar. Maksudku, kalau tidak berjaga, percuma saja.
"Memang benar kalian terpisah sejak kecil?" Aku tahu ini personal tapi, toh, Safir sedang terlelap dan aku yakin dia tidak mendengar.
Perlahan dia membuka mata. Manik birunya menatapku lelah seakan dipaksa bangun. Diam saja selama beberapa saat.
Aku balas tatapannya. Menunggu lebih tepatnya.
Tidak ada jawaban melainkan tatapan.
Aku mendengkus dan berniat meninggalkan mereka, lebih tepatnya menjelajahi rumah ini.
Baru hendak berjalan menyusuri rumah keluarga Wynter, saat itu juga aku mendengar suara.
"La ..."
Darren lantas menarikku ke sisinya. Matanya tampak kembali segar, berbeda dengan beberapa detik lalu.
Suara yang kami dengar begitu cempreng, nyaring, lagi menganggu. Sampai-sampai Safir yang tertidur nyenyak pun bangun.
Safir menggeram. "Siapa itu?"
Aku tahu dan tidak mau memberi tahu langsung.
"La LA! La...! LA–la... La... 💙"
Terdengar lagi senandung itu. Lagu yang sama dia nyanyikan waktu kali pertama kami berjumpa. Suaranya sungguh menyakitkan.
Darren masih di posisi tadi, menjagaku dari hal yang tidak seharusnya dicemaskan. "Penyihir. Saghra."
"Eh? Tahu?" heranku.
Oh, malunya.
Aku mestinya tahu sejak awal. Bukankah mereka semua sudah saling bertukar kabar jauh sebelum mencariku?
"Darren," kataku. "Dia rekan kita sekarang."
Darren tidak menanggapi, masih menatap ke arah lorong tempat suara itu menggema.
Terlihat bayangan wanita berambut panjang dari lorong sebelah kanan mataku. Rambut biru terurai. Tampak indah seperti kali pertama kulihat. Wajah cantik tapi tidak punya kendali diri. Dialah penguasa Kota Batu Saghra, jatuh di tangan Mariam dengan mudahnya.
Aku yang pertama memulai obrolan. "Ariya."