Chereads / Guardians of Shan / Chapter 120 - Guardian dan Gigantropy – 5

Chapter 120 - Guardian dan Gigantropy – 5

"Hah?"

Hanya itu tanggapanku.

"Gue curi pas masih di Shan dulu, ingat?" balas Ezekiel, terdengar tidak berdosa. "Saat itu kepepet banget. Gue butuh itu buat bantu kita selamat. Yah, meski ujungnya meledak, tapi bisa mencegah, sedikit."

Aku tentu saja tidak tahu apa yang dia bicarakan. Maksudku, kejadian sebelum tragedi Shan saja belum jelas. Dan dia bertingkah seakan aku tahu semua ini.

"Jadi, ini senjata perang?" tebakku.

"Enggak salah, sih," jawabnya. "Yang pasti, mereka enggak cari gue lagi meski sudah nyolong. Kayaknya ini benda paling hina di sana."

Jika benda ajaib ini disebut hina di sana, lalu apa kabar dengan negeri kelahiranku? Atau dunia ini?

"Kejadian mana yang kaumaksud?" tanyaku. Merujuk pada Shan sebelum runtuh.

Ezekiel memakan sebungkus permen lagi. Mengunyah dan mengecap. Sesekali terdengar bunyi retakan dari permen yang hancur akibat gigitannya. Begitu saja terus selama beberapa menit. Seakan menghindar, bahkan aku hampir lupa apa yang tadi kutanyakan padanya.

Aku mencari Safir lagi, dia sudah pergi. Tampaknya tidak mau terlihat lagi atau barangkali sedang menyendiri.

"Putri mau jalan-jalan?" tanya Ezekiel.

Aku balas. "Dari tadi."

Ezekiel berdiri. Dia tampak memeriksa kantong penuh permen tadi. Masih banyak sisa, telah banyak pula yang dimakan. "Okay, gas!"

Aku pun berpaling, siap untuk pergi.

Dia menggenggam tanganku. Rupanya berniat mengambil kembali benda ajaibnya, maka aku serahkan saja.

"Apa nama bendanya?" Aku bertanya.

"Gatau." Ezekiel menyimpan kembali benda ajaib itu ke kantong. "Kukasih saja namanya jadi 'Benda.' Biar lebih enak."

Aku masih asing dengan sebutan "benda" ini. Meski demikian, mulai sekarang dan seterusnya akan kusebut saja begitu.

Ezekiel kemudian menarik pelan tanganku. Aku tahu ia pasti akan mengajak ke tempat yang sesuai dengan kepribadiannya, kalau bukan tempat umum, ya, warung.

Ia menuntunku keluar dari rumahnya. Tidak kusangka tempat ini lebih kecil dari dugaan. Kami hanya perlu melangkah beberapa kali hingga sampai ke pintu luar.

Begitu pintu terbuka, aku melihat sebuah kereta dengan bentuk yang aneh.

Benda itu memiliki dua buah roda, tapi tidak dari kayu melainkan seperti kaca dan berwarna kebiruan. Badannya berlapis seperti besi dan terbuka lebar bagian atas, layaknya perahu.

"Apa ini?" Aku menunjuk benda itu ketika Ezekiel membangunkannya.

"Kereta Es," jawabnya. "Lo sebut aja kereta, sama aja."

Jadi, ini sejenis kereta? Kenapa tidak pernah kulihat?

"Jangan bilang hasil mencuri," tebakku. Mana ada benda seaneh ini?

Ezekiel tertawa pelan. "Enggak, kali ini bikin sendiri. Masuk dulu, nanti gue nyusul, lo duduk di belakang."

Ketika ia duduk, aku melihat ada pembatas antara punggungnya, layaknya sebuah kursi. Warnanya juga biru krisyal, menyamai tempat duduknya. Tapi berlapis lembut, sama seperti tempat duduk tadi.

"Untuk apa ini?" tanyaku lagi.

"Biar dada lo enggak kena gue."

Dada? Apa karena aku bakal memeluk punggungnya?

Ah, sudahlah. Aku masih bisa memeluknya dari belakang meski terhalang. Ini kulakukan agar tidak jatuh saat melaju. Aku tidak tahu seberapa besar kecepatan kereta ini, tapi sepertinya bakal lebih dari kereta biasa.

Aku melingkari punggung Ezekiel. Siap bepergian.

Benda itu menggeram, melaju melebihi seekor kuda.

Aku refleks mempererat pelukan. Angin seakan menampar wajahku berkali-kali, ditambah bunyi yang menganggu akibat terlalu cepat.

Benda yang aneh. Tentunya dari sosok yang unik pula.

Anehnya lagi, Ezekiel bisa membuatnya. Padahal benda ini sangat berat. Dengan apa kendaraan ini bergerak?

"Ezekiel," bisikku.

Ia tidak menanggapi. Pasti tidak mendengar akibat angin.

"Ezekiel!" seruku.

"Ya?" Ia membalas, agak berteriak juga.

"Benda ini pakai sihir?" tanyaku, sedikit keras.

"Iya," jawabnya. "Pakai mana lebih tepatnya."

Baik, aku paham kali ini. Wajar saja bisa dipakai kapan pun dan di mana saja. Meski ...

Kenapa membuatnya?

Oh, bisa jadi ini senjata untuk Shan dulu.

Berarti musuh kami masih ada dan bisa jadi jauh lebih unggul?

Aku jadi merinding. Bagaimana jika ...

Kereta berhenti.

"Sudah sampai!" Ezekiel langsung berdiri. Dia menghadapku dan menyodorkan tangannya.

Aku sambut genggamannya lalu turun.

Aku bahkan tidak sempat melihat pemandangan. Langit malam tanpa bintang hari ini membuat suasana tampak mencekam, disertai angin menusuk hingga ke tulang.

Aku amati sekitar. Memastikan Arosia tidak seabsurd benda ajaib tadi.

Nyatanya, tidak ada bedanya dengan Ezilis maupun Aibarab.

Rumah-rumah tetap terbuat dari kayu atau batu bata. Ada yang setingkat, maupun dua. Sementara beberapa tempat makan juga demikian. Orang-orang di sana juga berpenampilan seperti yang biasa kulihat.

"Benda ini dibuat untuk ..." Belum selesai pertanyaanku, Guardian ini sudah beberapa langkah di depan.

Menyadari kalau ia tidak mau membahasnya, aku mau tidak mau memilih tutup mulut daripada menginterogasi yang mana kesannya tidak sopan.

Aku akhirnya bisa menyamai langkahnya. Aku merasa sedikit gatal akibay tidak mengganti baju dari tadi.

Maksudku, kami berdua memakai baju yang sama seharian ini dan bukan hal aneh lagi lantaran sudah jadi kebiasaan.

Saat kami masuk ke tempat itu, tidak banyak yang menatap, untungnya. Penerangan juga bagus sehingga cukup untuk melihat keadaan sekitar bahkan di jauh sana.

Ezekiel duduk di kursi paling pojok sementara aku duduk di depannya sambil menunggu.

"Sini, biar gue pesankan," ujar Ezekiel. "Mau apa?"

Aku pun menyebut makanan dan minuman yang aku inginkan.

Ezekiel berdiri dan melangkah ke barista. Jelas akan memesan.

Selagi aku menunggu, pandanganku tertuju pada seorang lelaki berambut segelap malam dengan sedikit warna jingga pucat di bagian bawah rambutnya, seakan membentuk lembayung senja. Matanya juga demikian, tapi hanya gelap tanpa hiasan warna jingga tadi. Kulitnya juga pucat seperti penduduk sekitar serta tingginya setara denganku.

Lelaki itu terus melirik ke sana ke mari hingga pandangannya tertuju padaku.

Entah kenapa, jantungku berdebar. Aku merasakan sesuatu yang janggal.

Tapi, kalungku tidak bercahaya. Kalung ini terselubung di bajuku sehingga hanya dengan sentuhan saja aku bisa menebaknya. Biasanya ketika bercahaya bakal terasa hangat. Tapi, ini tidak ada apa-apa.

Dia mendekat. Wajahnya pun tampak sama bingungnya denganku.

"Ha ... Halo."

Suaranya tidak jelas apakah dia perempuan atau lelaki. Tapi, dari penampilan aku sangat yakin dia lelaki.

Dari mana dia tahu aku? Sungguh aneh.

"Halo." Aku mencoba sedikit ramah. "Boleh tahu namamu?"

Lelaki itu berbisik, mendekatkan bibir ke telingaku. "Ascella. Putri sendiri?"

Aku, lagi-lagi, bingung harus menyebut nama asli atau berian. Dia bukan Guardian, tapi tahu siapa aku. Aku pun membuka mulut, hendak menjawab.

"Hei, siapa ini?" Ezekiel terdengar cukup ceria meski sukses membuatku merasa kepergok telah berbuat hal yang tidak semestinya.

Ascella menatap Ezekiel. Perbandingkan tinggi itu membuatku terkesan melihat bisa beragam wujud pelindungku kelak, meski ukuran Ascella bahkan tidak setinggi yang lain. Bahkan Gill yang paling rendah sejauh ini pun masih bisa melampauinya.

"Aku River," ujarnya. "Aku tahu siapa kamu baginya. Tidak perlu menyembunyikan sesuatu."

"Ah, begitu." Ezekiel duduk di bangkunya, menatap Ascella yang kini mengaku bernama River.

Lantas, mana nama asli?

"Jadi, River, ada apa gerangan?" Aku yakin Ezekiel waspada meski senyuman terukir di wajah.

"Aku ingin membahas Gigantropy yang meneror kota ini sejak lama."