Chereads / Guardians of Shan / Chapter 118 - Guardian dan Gigantropy – 3

Chapter 118 - Guardian dan Gigantropy – 3

"Astaga, lo beneran lupa kaya kata Khidir," komentar Ezekiel kala dengar aku terkejut.

"Khidir?" Terdengar aneh kalau dia tahu, tapi mengingat Mariam lantas membuatku pikir ini sedikit masuk akal. "Kalian sudah berapa lama berkomplot?"

Ezekiel langsung duduk di sofa. "Berkomplot? Kesannya rada anu."

Aku benar-benar bingung. "Maksudku, sejak kapan kalian saling kenal setelah bereinkarnasi? Tahu dari mana? Jangan bilang semua Guardian sudah saling bagi surat secara rahasia."

Ezekiel tersenyum, ia menepuk pelan sofa di sampingnya. "Duduk dulu."

Aku pun duduk di sisinya.

Aku tahu dia menatapku, tapi aku entah kenapa tidak membalas. Barangkali, sudah biasa bagiku malu terhadap lawan jenis. Kemarin Nemesis, sekarang Ezekiel. Ah, kuharap aku tidak berdebar lagi setelah melihat lelaki.

Aku tahu kenapa aku gugup. Tidak sengaja aku duduk terlalu dekat dengannya, tepat di bawah tangan kanannya yang seakan merangkul aku.

"Sudah lama kami bertukar kisah," kata Ezekiel. "Bahkan gue juga pernah kirim pesan ke Guardian di Danbia sana. Yah, kami cuma tinggal berkumpul di hari H saja."

Aku tercengang. Meski harusnya sudah menebak lantaran mereka sudah pasti menyusun rencana lebih matang dari dugaan.

Mereka lebih cerdas dariku dan aku tahu itu.

Harusnya aku sudah menebak.

Bahkan ketika hari itu tiba, aku semestinya tahu.

Tapi, ketika kami dipertemukan lagi ...

"Artinya kalian sudah saling tahu siapa dengan siapa?" tanyaku.

Ezekiel mengiakan. "Sebagian, tapi sebagian lagi mungkin butuh diingetin."

"Lalu, Charlie dan Safir tadi?" tanyaku. "Apa maksudmu dengan budak?"

Ezekiel lantas mengganti posisi duduk, jadi semakin jauh dariku beberapa senti. "Dulu lo beli mereka, yang pertama itu Katrina yang lo panggil Charlie itu, baru setahun kemudian kita dikasih budak sama kerajaan sebelah, namanya Sibil yang jadi Safir sekarang."

Tunggu, berapa umur Charlie sesungguhnya?

"Mereka ikut bereinkarnasi? Kenapa?" tanyaku.

"Kenapa tidak?"

Balasan teraneh tapi paling masuk akal di saat yang sama.

Kenapa tidak?

Jika mereka tidak mau, harusnya tidak terikat sejak awal. Tapi, sekarang aku mengerti. Tidak heran mereka mau disuruh apa saja.

Tak heran Charlie dan Safir tunduk pada para Guardian. Ternyata mereka masih ingat tugasnya di Shan.

Tapi, kenapa tidak satu pun mau membahas?

Kenapa tidak ada yang bercerita?

Kenapa mereka diam saja?

Atau aku yang mengabaikan beberapa kejadian?

Duh, harusnya aku tahu!

"Ngomong-ngomong, kalo mau jalan-jalan, kita bisa ke taman sambil menonton senja. Mau?"

Tawaran sederhana dan cukup menarik.

"Boleh," balasku, akhirnya memberanikan diri menatapnya.

Ezekiel tersenyum. Ia berdiri kemudian melangkah ke sebuah ruangan, menutup pintunya, membiarkanku diam di sini dengan benak penuh tanda tanya.

Ah, ia meninggalkanku. Aku entah kenapa tidak suka begitu.

Dulu memang wajar kalau Guardian sibuk, tapi aku saja tidak tahu status Ezekiel di masyarakat apalagi pekerjaannya.

Khidir punya kerajaan.

Idris punya wilayah.

Dan Mariam ditugaskan oleh Khidir.

Kemudian Arsene serupa dengan Mariam, menjelajah meski sebatas wilayahnya.

Gill juga, meski sebagian waktu dihabiskan di sebuah tempat makan untuknya bekerja.

Nemesis tidak meninggalkanku, ia justru mengajakku jalan-jalan hampir setiap malam saat kami pertama kali bertemu.

Ketika ia menggandengku di bawah sinar rembulan maupun bintang, di situlah pandangan kami hanya tertuju ke langit lalu sibuk dalam benak masing-masing.

Jika tidak, ia akan memainkan violin dan melantunkan lagu supaya aku tenang lalu terlelap selagi mendengar bisikan nada yang indah itu. Saat bangun, sudah disediakan sarapan bagi kami berdua.

Bukan, lebih tepatnya untukku seorang. Nemesis selalu bilang ia kenyang, padahal aku tahu apa yang ia jadikan makanan selama ini.

Ah, aku bahkan tidak menanyakan pekerjaan Nemesis sejak awal. Tapi, kutebak ia pun tidak beda jauh dengan yang lain. Dan sepertinya Ezekiel pun demikian.

Pikiranku lalu tertuju pada Tirta. Aku tidak kenal betul dengannya, tapi aku sudah yakin ia sosok yang baik. Apa pekerjaannya? Yang kutahu, ia tinggal di laut tapi aku tidak tahu pekerjaan di sana.

Tidak, terasa aneh kalau ia jadi nelayan, meski tidak menutup kemungkinan.

Aduh, kenapa harus memusingkan ini?

Merasa bosan, aku pun berbaring dan mencoba mencari cara agar tidak bosan.

Saat itu juga, mataku kembali terpejam.

***

"Oi, bangun!"

Mataku terbalak, seketika cahaya lampu menusuk hingga membuatku tersentak. Perih, aku pejamkan beberapa kali sambil menahan air mata.

"Aduh!" Aku menggerang.

Suara itu, entah kenapa aku kenal ketika telingaku menangkap suaranya. Sudah lama tidak mendengar suara itu.

Aku akhirnya bisa membuka mata dan melihat dengan jelas.

Panjang umur.

"Tidur di kasur khusus." Dia berkata seakan memerintah. "Hm, dia mengaku sangat sayang denganmu tapi membiarkanmu tidur dalam keadaan seperti ini?"

Mendengarnya, aku lantas mengamati sekitar.

Tidak ada yang aneh.

Aku hanya kembali dibaringkan di kasurku tadi, dengan selimut yang sama pula. Lampu juga masih dinyalakan seperti sedia kala. Barangkali aku diangkat kembali ke sini entah oleh siapa.

"Maksudmu?" sahutku polos. "Aku tidak masalah kalau tidur dengan lampu terang. Toh, aku memang kebetulan sangat mengantuk."

Seseorang yang selama ini kukira hanya mengabdi pada Aibarab hanya sebatas uang atau formalitas, kini semakin jelas motifnya.

Dia kini mengurai rambut biru safirnya, meski telinga rubah itu masih tampak manis menghias kepala, serta netra kuningnya yang masih memancarkan aura kejahilan.

Ya, rubah yang sama.

"Aku diupah untuk menjagamu seharian," ujarnya.

Berkat informasi dari Ezekiel, aku tidak kaget. Justru paham dan tahu betul ke mana arah bicara ini nanti maupun alasan di balik "penjagaan" untukku ini.

"Benarkah, Safir?" tanyaku, tanpa ragu menyebut namanya setelah beberapa waktu terpisah.

Safir menyahut. "Jangan panggil aku dengan nama Aibarab! Mentang-mentang kamu tahu identitasku."

"Lantas mau dipanggil siapa?" tanyaku.

"Nama Arosia-ku, Saskia Fox!" Safir membusungkan dada. "Dan kau sekarang bernama Thalia Stafford."

"Eh?" Aku jadi ingat. "Siapa yang memberiku nama ini?"

"Ya, pengasuhmu lah," balas Safir. "Sekarang, tugasku menjagamu dengan upah yang besar."

"Ya, ya, ya." Aku tahu Safir tidak berubah. "Safir–eh, Saskia, dari mana saja kau?"

Safir mengangkat sebelah alis. "Maksud?"

"Seminggu sebelumnya, kamu pergi dari Aibarab," kataku. "Ke mana saja?"

Safir terlihat tidak senang ditanya begitu, melihat wajahnya yang seketika jadi masam seakan mencibir. "Aku diutus Khidir untuk menemui Si Pirang."

"Ezekiel?" tanyaku gamblang. Maksudku, Safir wajar kalau tahu nama asli setiap Guardian, bukan?

Safir mengiakan. "Kamu tidak tahu?"

Tidak ada yang bercerita kalau Safir ternyata disuruh menemui seorang Guardian. Entah kenapa aku merasa dikhianati karena mereka merahasiakan hal penting seperti ini.

Aku kembali bertanya. "Kamu dengar kabar kalau Aibarab telah runtuh?"

"Ya," balas Safir. "Justru karena tahu itu, aku mau tidak mau tetap di sini."

"Lalu, ada apa dengan rakyat Aibarab?" Aku menanyakan ini karena memang tidak tahu nasib rakyat di sana.

"Rakyatnya kini disegel."