Aku dan Raka terlahir kembar. Kami dibesarkan di Panti Graves sejak berusia empat tahun. Sama seperti anak panti lainnya, kami memiliki nama kecil di sana yang hanya terdiri dari satu nama.
Namaku Mika, tapi di dunia luar namaku akan berganti sesuai pemberian Bapak.
Bapak adalah teman baik Mama yang membantu mengurus panti sejak lama, entah berapa tahun. Yang pasti, keduanya saling percaya dan menjaga.
Begitu aku keluar, aku merasa beruntung langsung bisa melihatnya tanpa mencemaskan keberadaan Pemburu Iblis. Bapak yang tahu rute yang aman, sehingga kalau ada dia, sudah dipastikan tidak ada gangguan.
Di bawah naungan pohon, kulihat dia sedang menungguku. Wajahnya tampak jelas ketika disinari rembulan. Sambil mengenakan pakaian hangatnya yang biasa dia pakai saat menyusuri hutan. Begitu mendekat, tinggiku sudah hampir sebatas wajahnya. Dulu, aku bahkan tidak bisa meraih tangannya. Dialah Bapak, orang pertama yang kami kenal di panti Graves.
Berbeda dengan Mama, Bapak cukup jarang ke panti. Sekali datang hanya untuk menuntun kami menjelajahi dunia luar. Harusnya, memang sejak awal kami sebaiknya menunggu Bapak alih-alih langsung keluar dan malah bertemu Pemburu Iblis.
Sambil menarik napas, aku memberanikan diri menatapnya. Meski sudah lama mengenal, aku tetap saja segan dengan Bapak.
"Ayo." Tanpa berbasa-basi, Bapak berpaling. Memberiku isyarat untuk mengekor.
Tanpa babibu aku teruskan langkah, memastikan tidak begitu dekat jaraknya dengan Bapak. Melihatnya membuatku teringat hari di mana semua rencana kacau, dan aku hingga saat ini merasa bersalah.
Tarik napas, semua akan baik-baik saja.
Selagi kami berjalan, Bapak tidak mengucapkan sepatah kata sama sekali. Tapi jelas dari langkah kakinya dia berusaha agar tidak berjalan terlalu cepat agar aku bisa menyusul.
Jalan yang kami telusuri sedikit berbeda dari sebelumnya. Anehnya, tidak ada suara atau bau manusia yang berniat memburu kami. Dari sinilah aku benar-benar yakin Bapak tahu betul rute yang aman.
Aku kira, Bapak akan membahas soal Rama dan kesalahanku seperti yang Mama lakukan. Tapi, dia diam saja. Harusnya aku bersyukur, meski di sisi lain takut.
Bapak bukan tipe yang pendiam maupun banyak bicara. Dia sesekali ke panti hanya duduk dan membiarkan anak-anak bermain bersamanya, tapi memang sangat jarang mendengarnya mendongeng atau bercerita seperti yang Mama lakukan.
Aku ingat betul dulu pernah mengepang rambutnya. Dia diam saja, tidak bereaksi sama sekali. Tapi, kudengar dari Mama, dia tidak melepas kepangan itu selama beberapa hari.
Mama dan Bapak memang sangat dekat, tapi aku tidak yakin apakah mereka benar-benar berpacaran karena keduanya tidak tampak seperti pasangan.
Sebaiknya aku fokus pada keadaan saat ini.
Saat suasana dirasa aman, aku pun bertanya. "Bapak, mana Raka?"
"Di rumah." Hanya itu jawabannya.
Kami semua tahu di mana rumahnya, tapi kami tidak akan melihatnya langsung kecuali setelah keluar dari panti.
Anak yang baru keluar, akan dijaga Bapak selama beberapa hari di kediamannya, baru benar-benar dilepas. Untuk kasusku, aku sedikit terlambat akibat kekacauan ini.
Raka juga mendapat hukuman yang sama, tapi aku terlambat sehari karena aku tidak mau menampakkan diri kemarin akibat rasa bersalah.
Louis, syukurnya, selamat. Sehingga bocah itu hanya mendapat hukuman berupa ceramah dan jeweran, sama dengan Raka. Sementara aku terlebih dahulu menyembunyikan diri di kamar saking takutnya. Pecundang memang, tapi aku benar-benar takut waktu itu.
"Bapak," bisikku. "Mika minta maaf soal Rama."
Bapak tidak merespons.
Aku menelan ludah. Dia pasti sama marahnya dengan Mama.
"Mika janji tidak akan mengulang," tambahku.
"Mengulang apa? Mengulang nyawa?" balasan Bapak membuatku terdiam. "Andai aku datang setengah jam lebih cepat, adikmu itu tidak akan masuk ke tas itu."
Aku tidak bisa membalas. Ternyata dia yang merasa bersalah juga.
"Kukira urusan ini sudah selesai," ujar Bapak. "Bagaimanapun juga, kamu akan tetap keluar dari panti dan menjalani hidup dengan atau tanpa penyesalan itu."
Sudah kuduga Bapak tidak akan memihak. Yang mana membuatku makin ragu harus menyesal atau tidak.
Rama memang yang minta dibawa terlebih dahulu.
Tapi, aku juga yang memilih untuk membawanya pergi.
Semua itu juga bisa dicegah jika Bapak tidak datang terlambat.
Andai saja kami lebih sabar menunggu, tapi Raka juga yang melompat keluar. Mau tidak mau, aku menyusul.
Harusnya, Mama juga yang menyadari bahwa isi tas ini ada adik kami.
Tidak ada gunanya menyalahkan, semua telah terjadi. Rama tidak akan kembali.
Aku dan Bapak terus melangkah, menuju kegelapan.
***
"Hai, Mika!"
Raka, sama sepertiku, memiliki rambut dengan mata kelabu yang sedikit lebih gelap. Dia dua senti lebih tinggi dariku.
Raka rupanya sedang duduk santai di kursi setibanya kami di rumah Bapak.
Rumah ini terbuat dari beton dan pagarnya dipenuhi duri yang besar lagi tajam demi mencegah dari ... Pemburu Iblis. Logikanya, Bapak yang seharusnya menghindari kami.
Bapak tidak menunjukkan ciri yang biasa dialami iblis ketika mencapai usia dewasa. Ketika hendak bertarung, dia tidak menunjukkan taring, kuku tajam, bahkan hasrat memakan daging seperti kami. Tapi, dibilang manusia pun juga bukan karena dia sendiri membantah waktu itu.
"Kaki!" Bapak memukul pelan kaki Raka yang berada di meja. "Ini meja makan!"
Raka langsung melipat kaki. Tidak protes.
Bapak kemudian duduk di depan Raka.
Aku lalu duduk menghadap mereka berdua.
Kami saling tatap dalam waktu yang lama.
Akhirnya, Bapak buka suara.
"Mulai sekarang, nama kalian menjadi Mikael dan Mikayla," ujar Bapak. Tanpa basa-basi, langsung saja ke inti.
Raka tersenyum cerah. "Kami pakai nama berianmu dulu?"
"Aku kehabisan ide," jawab Bapak. "Kalian pilih saja marga."
"Durov!" Raka langsung menyebut.
"Dari sekian banyak marga, itu yang kaupakai?"
"Ayolah, kami ingin menghargai kebaikanmu," ujar Raka. "Bapak yang memberi kami nama, toh."
"Sebagian anak panti kuberi nama," sahut Bapak.
"Memangnya tidak boleh pakai margamu?" tanyaku. "Bapak tidak pakai marga itu lagi, 'kan?"
Bapak tampak berpikir sesaat, terlihat tidak ikhlas.
Ya, dia tidak serta merta datang ke Danbia dengan nama yang dia pakai saat ini. Dulunya Bapak memang punya nama dan marganya Durov. Kami hanya tahu itu dari Mama, sementara asal-usulnya masih samar.
Bapak pun kemudian bicara. "Ya, sudahlah."
"Terima kasih, Bapak!" Raka tersenyum.
Bisa dibilang, Raka adalah anak panti yang tampak paling cari perhatian dengan Bapak. Tentu saja, karena Bapak orang pertama yang membawa kami ke panti.
Mulai sekarang, nama kami menjadi Mikael dan Mikayla Durov.
Bapak pun kemudian memberikan kami dua gelas minum malam ini. Meski hanya teh, kami tetap menikmatinya.
Barangkali, anak seusia kami sedang minum minuman keras sambil bercanda ria. Tapi, Bapak tentu tidak menerima orang seperti itu di rumahnya.
Bapak sendiri memang terbukti tidak pernah minum, yang mana mungkin janggal bagi orang dewasa di lingkungan ini.
Seusai minum, Bapak kemudian berdiri.
"Mulai besok, kalian belajar berbaur dengan sekitar," katanya. "Jangan sampai ketahuan!"