Aku menemukan sebuah baju seragam berwarna kelabu gelap dengan tulisan yang tidak kukenal.
Penasaran, aku coba membaca surat berian kakak pendahulu, Yasha.
Mama,
Ini pakaian dari musuh yang telah membunuh kedua kakakku. Aku berhasil menghabisinya dengan racun racikannya sendiri. Ha! Senjata makan tuan! Mamam tu racun!
Lihat, Mama, makhluk menjijikkan ini akan dipukuli keluarga kita yang mati di tangannya. Lihat wajah keluarga tidak bergunanya yang menangisi sampah ini!
Sangat puas! Aku sangat puas, Mama!
Yasha
Tapi, aku tidak melihat ada bekas berkelahi di sana. Biasanya bakal ada robekan dan setidaknya darah. Tapi, apa efek racun itu? Aku sungguh tidak tahu. Mungkin sakit kepala? Lalu, kenapa bisa mati?
"Rama?"
"Eh?!" Aku tersentak.
Mama berdiri tepat di depan pintu, bersedekap. "Sedang apa?"
"Um, baca surat dari kakak-kakak," balasku.
Mama tampaknya tidak puas. "Ayo, waktunya makan!"
Dia berpaling tanpa senyuman.
"Mama! Tunggu!"
Tanpa merapikan bekasku, aku bergegas menyusul Mama.
Aduh, aku benar-benar takut! Apa aku akan dihukum?
Aku berdiri di sisi Mama, takut mendahului tapi takut menatapnya sekarang.
Hanya derap langkah Mama yang cukup keras terdengar. Justru membuat jantungku kian meliar saking takutnya.
Mama memegang kepalaku, jemari lembutnya perlahan menyusuri rambut emasku. "Rama tidak sabar melihat dunia luar?"
Aku tentu saja jujur. "Iya, Ma. Sangat."
Mama lantas mendekap lalu menggendongku. "Ya, sudah. Nanti kalau sudah cukup umur, ya."
***
Aku berdiri di depan cermin dengan pakaian terbaikku, daster krem dengan motif bunga serta rambut dikepang dua yang pendek, belajar dari Mama.
"Rama, sedang apa?" Louis melotot, tampak ngeri melihatku yang sedang berdandan ini.
"Tidak apa, Louis, hanya sementara." Aku memasang kancing kemudian memandangi bayanganku di cermin. Sempurna.
"Kalau ketahuan gimana?"
Pertanyaan Louis sukses membuatku membeku. Aku meliriknya melalui pantulan cermin.
"Ada benarnya." Aku mengakui. "Tapi, jika tidak pernah mencoba, apa gunanya?"
Berhasil, Louis terdiam mendengar ucapanku. Terus memandangiku yang sibuk berpikir di depan cermin. Selagi menunggu siang hari.
Mengapa siang? Biasanya saat kami disuruh mengurung diri di panti, Mama akan keluar. Katanya ada urusan dan kadang beli makanan. Tapi, tentu saja janggal. Mama seakan tidak punya jam tidur seperti kami. Kadang kulihat dia tengah terlelap saat kami asyik bermain di luar.
"Kamu mau ikut?" tanyaku.
"Hah? Memang bisa?" Louis tampak lucu ketika bingung.
Aku tersenyum, lebih tepatnya tersirat kenakalan. "Aku perhatikan, biasanya saat kakak kita akan keluar, Mama sediakan banyak barang. Kita sembunyi di antara barang-barang itu."
"Ta ... Tapi, Rama ..." Dia menggantung kalimatnya.
"Kenapa?" heranku.
Louis menggeleng. "Anu, tidak jadi."
Aku jadi sedikit kesal. "Mau ikut tidak?"
"Mau!" Louis sedikit meninggikan nada suara. Jelas kami tidak boleh ketahuan. "Tapi, aku takut ketahuan."
Aku menepuk bahunya. "Jangan takut. Aku ada rencana. Kita akan menengok dunia luar. Sebentar saja. Dengarkan saja aku. Jadi, begini caranya."
***
"Mana Rama?" tanya saudariku. Tatapan kami seketika bertemu. "Ah, sudah siap."
Ya, rencana yang nekat. Tapi, aku yakin kakak-kakakku akan membawaku pulang segera setelah menengok dunia luar.
Yang membawaku ini bernama Mika. Dia salah satu kakakku yang sama antusiasnya dengan aku tentang dunia luar.
Rencananya, dia akan memasukkanku dan Louis ke dalam tas bawaannya lalu diam-diam akan menjemputku kembali ke panti tanpa sepengetahuan Mama. Ide yang brilian bagiku.
Sementara Louis akan diangkut oleh Raka, saudaraku yang keluar bersamaan dengan Mika.
Keduanya membawa dua tas yang terbuat dari kayu, cukup untuk tubuh mungil kami sekaligus lumayan dingin dan nyaman.
"Baik, sekarang Rama dan Louis harus diam selama kami masih di panti." Mika akhirnya mengintruksi. "Akan kami beri aba-aba setelah semua aman. Paham?"
"Iya, Kak," jawab aku dan Louis.
Kami lantas masuk ke tas masing-masing. Berbekal tekad, tentunya.
Dengan ini, rencana kami akan berhasil!
***
Gelap.
Tidak sempit, tidak pula luas.
Yang pasti, di tas ini hanya ada aku dan beberapa baju serta benda kecil dibungkus menemani.
Mika berpesan kepadaku untuk tetap diam di tempat. Jangan bersuara, apapun yang terjadi.
Kini, aku dilanda rasa takut lagi ngeri.
Membayangkan dunia luar yang bisa jadi lebih suram dari dugaan. Menginggat saudara-saudaraku harus dilatih sebelum keluar. Sementara aku tidak lain hanya penumpang gelap yang diseludupkan dalam tas.
Hanya derap langkah dan sedikit guncangan akibat langkah Mika yang tak diduga.
"Mi ..." Ucapanku terhenti, sadar akan janji. Jika aku bersuara, kami akan ketahuan.
Terdengar suara pintu terbuka.
Suara Mama menyertai. "Mika, Raka."
"Mama." Mereka berdua menyahut, kecuali aku dan Louis.
"Ketika keluar nanti, pastikan tidak ketahuan!" pesan Mama. "Jangan biarkan mereka tahu tempat ini, jika didesak, melawanlah!"
"Iya, Mama."
"Kalau bisa, pastikan tidak ada di antara mereka yang masuk ke sini apalagi sampai mencium bau adik-adik kalian," lanjut Mama.
"Berarti saat keluar kita akan memakai pewangi secara rutin?" tanya Mika.
"Bau kalian sudah berbeda dari adik-adik kalian."
Tunggu, berarti ...
"Mama bisa membedakan bau kami dan adik-adik kami?" tanya Raka.
"Mereka tahu," jawab Mama. "Berhati-hatilah, karena mereka bisa datang dari sudut manapun!"
"Kalian sudah bawa barang-barang yang dibutuhkan?" tanya Mama.
"Sudah," jawab Mika dan Raka.
"Kalau ada yang ketinggalan, kembali ke sini," pesan Mama. "Pastikan adik-adikmu tidak melihat."
***
Agak sakit harus di posisi kaki terlipat seperti ini, apalagi ruang sempit.
Memang, tidak pengap dan aku bisa bernapas dengan bebas, tapi tetap rasa takut ketahuan membuat jantungku terpompa cepat hingga membuatku sesak.
Mika maupun Raka tidak bersuara, sepertinya masih berjalan berdampingan tapi memilih diam.
Aku bahkan tidak bisa mengintip, lantaran ini tas kayu yang masih baru dan kuat.
Aku menarik napas. Berharap agar lekas melihat dunia luar meski sedetik.
Hingga guncangan keras mengagetkan.
Kepalaku terasa berputar.
Tubuh terentak ke kiri dan kanan, membuat tubuh terasa remuk.
Aku menggerang pelan, menahan diri agar tidak ketahuan dan menenuhi janji kakak-kakakku.
Harus diam atau bertindak?
Kenapa tidak ada suara?
Kenapa yang kudengar hanya geraman?
Apa yang terjadi di luar?
Brak!
Aku terjatuh.
Tas terbuka lebar.
Sosok itu tidak lebih tinggi dari Mika, namun cukup rendah dibandingkan Mama. Ia menatapku dengan netra ungunya, di bawah sinar rembulan. Dengan dingin mengarahkan pedang ke leherku.
Dia seorang gadis, seperti Mika. Tapi, aku melihatnya sebagai makhluk yang asing lagi aneh.
"Ini salah satunya?" tanyanya, entah ke siapa.
Dia seperti Mama, tapi entah kenapa aku gelisah ketika tatapan kami bertemu.
Senyumannya entah kenapa membuatku ngeri. "Kamu tersesat?"
Aku diam saja.
Mana Louis?
Mana kakak-kakakku?
"Mencari mereka, hm?" Dia terkekeh.
Jangan-jangan ...
Aku mencoba bangkit, tapi langkahku dihalau makhluk ini. Dia tampak ingin menangkapku!
"Mau kabur?"
Syat!
"Akh!"
Berhasil! Aku sukses menciptakan goresan di pipi mulusnya.
Dia terduduk, mengusap pipinya yang berdarah, meringis kesakitan.
Aku berlari.
Jangan sampai tertangkap!
"Dia lepas!" Seruan makhluk itu membuatku memacu langkah. Pasti dia pergi berkelompok seperti kami tadi.
Sepanjang jalan yang kulihat hanya pohon, pohon, dan pohon. Serta langit gelap yang perlahan memutih. Seperti ...
"Itu dia!"
Suara tanpa raga. Tidak jelas di mana sosok itu berada.
Aku tidak akan menghentikan langkah sampai tiba di ...
Kenapa depannya hanya ada lubang besar memanjang?
"Itu dia! Itu dia!"
Aku menoleh. Langit perlahan tampak memutih, semakin terang ...
Dia berdiri tepat di depanku. Menyeringai. "Jadi, ini salah satu peliharaan Hara?"
Siapa ... Mama?
"Hei, Nak, di mana rumahmu?"
Untuk apa aku menjawab pertanyaan yang tidak bisa dijawab? Aku bahkan tidak tahu rutenya, hanya kegelapan dan guncangan sepanjang jalan.
Memilih diam adalah jawaban terbaik.
Di ... Mana dia? Mana Louis dan kedua kakakku?
Mereka kehilangan jejak?
"Biasa, ya. Mereka akan mengorbankan satu saudara mereka agar tidak tertangkap."
Biasa? Tapi, bukannya aku ...
Semakin terang langit, tampak semakin jelas apa yang dia kenakan.
Seragam yang dikirim Yasha.
Cahaya kuning memenuhi pandangan.
Gadis itu melesat ke arahku.
Dunia terasa berputar, sebelum akhirnya aku mendarat, menghadap kakiku.
Tampak badanku roboh. Perlahan terkikis menjadi abu.
Hal terakhir yang kudengar, hanya suara gadis itu.
"Peternakan Iblis, di manakah itu?"