Chereads / Guardians of Shan / Chapter 105 - Kisah Rama - 1

Chapter 105 - Kisah Rama - 1

Aku selalu penasaran akan dunia di luar panti.

Kami hidup di sebuah panti. Tempat ini tidak begitu tua, tidak juga tampak baru dibangun. Hanya bangunan luas biasa dengan cat cokelat mendominasi serta lapangan kecil untuk kami bermain dan belajar.

Panti ini hanya terdiri dari tiga tingkat dan semuanya terbuat dari kayu. Meski demikian, penghuni tempat ini tidak lebih dari lima puluh anak saja. Itupun setiap tahun akan bertambah adik bagi kami.

Aku bukan anak tertua, melainkan baru berusia sepuluh tahun dan termasuk yang termuda di antara mereka.

Mama menamaiku Rama yang artinya "yang membahagiakan." Tapi, aku tidak yakin apakah aku benar-benar mencerminkan nama ini. Ada juga yang bilang jika namaku diulang dua kali, artinya akan menjadi "kupu-kupu" dan kebetulan juga aku suka serangga lucu itu.

Meski dianggap yang termuda, aku tentu ingin sekali mengikuti jejak para pendahuluku yang kini tampaknya memulai hidup baru di luar dengan bahagia. Kalau tidak salah, di usia delapan belas tahun barulah kami diizinkan meninggalkan panti ini. Tetapi, sebagian besar dari mereka tidak pernah berkunjung lagi.

"Rama, tidur!" tegur Mama malam itu.

Aku kepergok membaca buku hingga larut malam. Biasanya tidak ketahuan lantaran cahaya lilin cukup membantu. Namun, entah bagaimana malam ini Mama tiba-tiba mendobrak pintu kamar. Lantas aku melatah tepat ketika dia menyeru namaku.

"Mama!" latahku yang refleks menutup buku yang tengah kubaca.

Mama menghela napas, sengaja mengeraskan suara agar aku tahu kalau ini teguran. "Kamu bisa baca nanti pagi, sekarang tidurlah!"

Aku takut melawan, akhirnya mengalah dan berbaring.

Mama mendekat lalu memadamkan lilin. "Jangan begadang lagi, ya." Dia mengecup keningku.

"Iya, Ma." Aku tersenyum jahil, menertawakan kejadian barusan baru kemudian terlelap di alam mimpi.

Sebentar lagi, aku akan menginjak usia kesebelas dalam kurun waktu sepuluh bulan lagi.

Aku tidak sabar menengok dunia luar.

***

"Rama! Rama! Bangun!"

Louis membangunkan. Dia beberapa bulan lebih muda dariku. Gadis ini memang tidak sekamar dengan aku maupun anak lain karena kami memang disuruh tidur di kamar sendiri. Tapi, Louis yang paling dini bangun dan biasa menjadi alarm alami selain Mama.

Aku mengerjapkan mata, meski terasa berat, berusaha melihat wujud Louis. "Hm?"

"Ayo!" Louis menarikku kencang hingga aku nyaris terjatuh.

"Hei!" Aku berusaha menegur gadis kecil ini, tapi tentu saja tenaganya jauh lebih kuat dibandingkan orang yang baru saja bangun.

Begitu pintu kamar terbuka, aku disambut dengan kehebohan teman serumahku. Bukan hal aneh lagi. Setiap jam makan kami memang selalu ribut. Dari yang cerewet sampai pendiam.

Bruk!

"Hati-hati!" Seruan Mama dari ruang tengah terdengar ketika salah seorang dari kami jatuh.

Tentu ia tidak menangis, karena sebentar lagi sarapan.

Duk!

"Aduh!"

Seseorang mendorongku dari belakang hingga jatuh. Aku menggerang pelan selagi mencoba bangkit kembali.

"Rama!" Louis membantuku bangkit.

"Maaf, ya!" Seorang anak lelaki yang lebih tua dariku membantu berdiri. Sepertinya dia yang tadi mendorongku.

Aku mengiakan. "Tidak apa-apa."

Kami meneruskan langkah sambil menjaga diri kalau ada yang meliar lagi.

Kulihat di depan meja dan kursi sudah tertata rapi. Makanan pun sudah duduk manis di meja siap disantap.

"Eits!" Mama berdiri di depan kami, menghalang jalan. "Yang tertib, ya!"

Aku berada di antrean tengah, jadi tidak perlu berlama-lama menunggu saudaraku.

Maju selangkah.

Maju selangkah lagi.

Beberapa langkah lagi.

"Rama tidak mengantuk, 'kan?" Mama menatapku ketika aku berdiri tepat di depannya.

"Tidak, Ma." Aku menggeleng. Tidur jam sepuluh bukan masalah bagiku. Tapi, terkadang aku memang tidak bisa membuka mata sama sekali jika tidur terlalu lama.

Mama tentu saja tidak senang mendengar kebiasaanku. Tapi, hanya dengan menegurlah yang bisa dilakukan.

Aku pun dibiarkan lewat lalu duduk di antara saudara-saudaraku.

Kutenggok jendela. Meski bintang dan bulan tidak bersinar malam ini, setidaknya kami masih bisa menyantap sarapan andalan Mama, daging.

***

Biasanya seusai sarapan kami akan bermain di lapangan hingga Mama memanggil. Belajar pun hanya berlangsung selama tiga jam baru kemudian kami bebas bermain. Aku biasanya bermain petak umpet bersama saudaraku meski sebagian ada yang memilih untuk membaca.

Tapi, sepertinya aku malas bergerak sekarang dan lebih memilih menatap saudaraku bermain dan saling bertukar pendapat maupun kisah.

Ternyata hari ini yang kami tunggu.

"Anak-anak, ayo, masuk!" Seruan Mama sontak membuatku yang melamun langsung berlari masuk.

Dalam setahun sekali, ketika langit begitu gelap tanpa sinar bulan maupun bintang, bakal ada satu saudara kami yang akan dilepas. Kami tinggal menunggu giliran kapan diizinkan keluar dan menyaksikan dunia luar yang ditunggu-tunggu.

Tahun ini, ternyata giliran pemuda yang tadi tidak sengaja menyenggolku.

"Nak, pamit dulu dengan adik-adikmu." Mama membelai bahu pemuda tadi.

Lelaki itu tersenyum. "Terima kasih, Mama, adik-adikku, atas segalanya. Aku janji akan terus mengirim kabar pada kalian jika sudah tiba di luar sana."

Aku lirik saudaraku yang lain. Sebagian dari mereka kulihat berlinang air mata. Aku hanya tersenyum, membayangkan cerita apa yang akan ia sampaikan kepada kami nanti.

"Kalian jangan khawatir," katanya. "Mama sudah memberitahuku cara bertahan di luar sana. Siapa tahu nanti akan aku ajari kalian."

Mama menepuk bahunya, tampak penuh kasih.

Pemuda itu lantas melambai. "Sampai jumpa nanti!"

Mama pun menggandeng kakak kami. Menuju pintu luar yang gelap.