Chereads / Guardians of Shan / Chapter 91 - Pertemuan – 16

Chapter 91 - Pertemuan – 16

Ah, Hayya baru saja bicara dengan Idris.

Mereka muncul begitu Hayya lepas genggaman.

Idris hampiri ia yang tidak lagi bergerak.

Azya tetap mematung dengan ngeri, memandang jasad musuh kami.

"Maaf terlambat," ujar Idris. "Mereka berhasil kabur dari Zibaq."

"Hampir saja!" Nemesis melompat turun dari pohon sambil memastikan aku berpegang erat di sisinya.

Aku diturunkan lalu menatap ketiganya. "Kalian terjebak?"

"Bisa dibilang begitu." Hayya menatap sekeliling, malah mengagumi keindahan purnama. "Ho ..."

Idris mengikuti arah pandangnya. "Indah, ya."

Azya ikut menatap purnama.

Ketiganya diam memandangi rembulan sementara aku dan Nemesis tidak tahu harus berbuat apa.

"Hei!" tegur Nemesis. "Kalian tahu cara keluar dari sini?"

Idris menghela napas. Ia tatap pedangnya yang bersimbah darah. "Kurasa tidak."

Kudengar Nemesis mengatupkan rahang. "Di mana ini?"

"Duduk dulu." Idris tunjuk sebuah batu. Letaknya di sebelah kanan Nemesis. Cukup besar untuk dijadikan bangku. "Untuk saat ini, kita aman."

Aku duduk di samping Nemesis. Hayya dan Azya berada di sisi sang ayah sambil menatapku dengan pandang berbeda ; senyuman dan tatapan serius.

Idris tanpa ragu duduk dekat kami sambil memandang langit malam.

"Bisa dijelaskan?" tanya Idris.

Nemesis menyahut. "Soal apa?"

"Dirimu." Idris menatapnya. "Aku tahu, memusuhi kaum sendiri bukan perkara mudah. Aku ingin dengar kisah dari sudut pandangmu."

Nemesis menggerutkan kening, terlihat tidak nyaman mendengarnya. "Kamu ... Tidak ada topik lain?"

"Kamu ingin bahas apa?" tanya Idris.

Nemesis terdiam sejenak. Ia melirikku. "Ingat namaku dulu?"

"Kayn Zadoc?" tebak Idris.

Nemesis mengiakan. "Baguslah. Berarti ingatanmu tidak sepenuhnya terhapus. Aku ingin bertanya hal lain kalau begitu. Kudengar kamu sudah lama menikah. Ingat?"

Idris elus rambut kedua putrinya. "Iya, benar."

"Di mana dia sekarang?" Jelas Nemesis menanyakan perihal istri Idris.

Kalau kulihat dari ciri fisik Hayya dan Azya, terasa aneh kalau mereka anak kandungnya. Tapi ... Kenapa dengan istri?

"Kamu ingat waktu itu?" tanya Idris. "Wanita berambut hitam yang sering kupajang, itu untuk mengenangnya."

"Kurasa, aku tahu pelakunya," ujar Nemesis. "Hanya tebakan."

"Siapa?"

Nemesis mendongak. "Yang membunuh istrimu dan mencoba menghabisi kita sebelum keruntuhan." Ucapan Nemesis jelas membuat suasana kian mencekam.

"Siapa istrimu?" tanyaku pada Idris dengan polos.

Idris tersenyum. "Hawa. Kami dijodohkan sejak kecil."

Begitu.

"Kalian punya anak?" tanyaku lagi. Maksudku, kalau sudah menikah, otomatis punya anak, bukan?

"Sebenarnya ... Hanya berlangsung beberapa bulan." Idris memelankan suara. "Dia terbunuh malam itu."

"Aku ingat betul reaksi kakaknya," ujar Nemesis. "Hiwaga salah satu lawan yang paling tidak kusangka."

"Hiwaga?" beoku. "Maksudmu?"

Idris mengelus rambutku. "Hawa itu adiknya Hiwaga."

"Oh." Aku melirik semua orang.

Nemesis meneruskan. "Aku hanya berteori siapa pembunuhnya. Terasa aneh kalau pelakunya kakaknya sendiri, dilihat dari reaksinya kala dengar berita duka itu."

Idris diam selama beberapa saat. Ia terlihat tidak mau membahasnya lebih jauh.

"Tugas kita hanya terus hidup," ujar Idris. "Aku tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Aku tidak suka cara Mariam bicara soal Hiwaga."

"Dia bilang apa?" tanya Nemesis.

"Betapa tidak pedulinya dia terhadap ibunya," ujar Idris. "Aku tahu, Shan runtuh karena Hiwaga, tapi ..."

Ia tidak melanjutkan. Meski masih berusia sepuluh tahun, aku paham maksudnya.

"Kenapa?" tanya Nemesis. "Kalau boleh bertanya."

"Aku ..." Idris memelankan suara, tatapannya tertuju ke tanah. "Aku yakin ia tidak bermaksud ..."

Nemesis tampak lelah menunggu pria itu melanjutkan. "Aku bisa saja membunuhnya kalau sempat!"

Idris diam saja. Tatapannya jelas menunjukkan kalau ia tidak setuju. Aku mengerti jika Nemesis dendam kepada Hiwaga, tapi aku masih belum sepenuh nya tahu kisah wanita itu dan mengapa dia begitu dibenci. Aku jadi semakin penasaran akan sosok Hiwaga sesungguhnya. Begitu membuka mulut–

"Kiran-san!" panggil Hayya. "Memangnya hanya kamu yang bisa membunuhnya?"

Hayya sepertinya cadel atau memang kesulitan menyebut nama belakang Nemesis, Killearn.

"Kelemahannya sama seperti kita kebanyakan." Nemesis menatapki. "Dan kau, Pangeran, jangan ulangi kesalahanmu dulu!"

"Yang ... Mana?"

"Di Shan dulu, kamu malah memercayainya," jawab Nemesis. "Kini, kamu tahu siapa ia sesungguhnya."

Aku mengangguk patuh. Meski tidak begitu paham.

"Otōsan, di mana kita tidur?" tanya Azya dengan nada pelan seperti biasa. Kurasa, gadis itu memang tidak ingin suaranya terdengar selain oleh Idris.

"Kita cari tempat berlindung," jawab Idris. "Sebenarnya, kita bisa berbaring di sini sambil memandang bintang. Namun, ketika matahari terbit, Killearn bisa terbakar. Kita cari saja tempat berlindung lain."

Nemesis berdiri. Ia menatap sekitar. "Aku lebih senang di sini."

"Ada apa?" tanyaku.

Nemesis mendesis. "Aku tahu Zibaq menjebak kita di negeri yang menjijikan!"

"Dan ... Ini tempat baru?" Ucapan Idris refleks membuatku gemetar.

"Aku lebih senang kalau kita tidak diketahui oleh orang sini," sahut Nemesis. Ia berdiri lalu menatap tajam sekitar. "Di mana ini? Ezilis Selatan? Aku bisa mati dibakar! Orang tuaku–"

"Tenangkan dirimu!" Idris pegang bahu Nemesis, tampak berusaha menenangkan. "Kita cari perlindungan di sini."

Kutatap lagi hutan ini. Begitu indah tapi seram di saat yang sama. Aku yakin di dalamnya terdapat beragam harta tak ternilai serta hal-hal di luar nalar yang siap menyambut kala engkau masuk ke sana. Meski hanya terdiri dari warna gelap seperti kehitaman, aku justru takjub. Namun, kesannya seperti penjara karena pepohonan.

"Kalau itu Ezilis Selatan, tidak akan sesulit itu," lanjut Idris. "Di sana juga banyak sihir."

"Untuk tempat tinggal, ada?" tanya Nemesis. "Maksudku, apa lagi?"

"Aku tahu ini tidak masuk akal," ujar Idris. "Dari kisahmu dulu ketika dirasuki Zibaq, aku yakin ia bisa jadi reinkarnasi Raja Suryanta."

"Raja bereinkarnasi?" Nemesis bersedekap. "Bukannya kita, para Guardian, saja?"

"Aku tahu, seorang raja tidak akan sebodoh itu," jawab Idris. Ia memelankan suara. "Aku bersahabat dengan Khidir sejak lama dan aku tahu, sekonyolnya seorang raja, ia tidak akan sebodoh rakyat jelata."

Nemesis diam saja.

Idris melanjutkan. "Ia bisa jadi menyelinap hingga bisa bereinkarnasi."

Nemesis ternyata ingat melihat dari jawabannya ini. "Ah, waktu di mana kita, Putri, dan Pangeran–"

"Killearn." Idris menatap Nemesis dengan sorot tajam.

Tatapan Nemesis menegang, diganti perlahan menjadi kengerian. Ia langsung diam.

Idris menatapku, sorot matanya melembut. "Tugas kita menjaga mereka, 'kan?"

Hening sesaat.

Aku melirik kedua Guardian itu tanpa tahu harus berbuat apa. Kubiarkan kalungku memancarkan sinar biru terang menghiasi malam bagai lentera.

"Ayo, kita cari tempat berlindung!"

Idris memimpin jalan disusul Hayya dan Azya.

Aku dan Nemesis hanya bisa mengekori tanpa banyak komentar. Lebih tepatnya, tidak tahu harus berbuat apa.

Kami meneruskan langkah dalam diam.

***

"Itukah?" Nemesis menunjuk ke depan.

Tidak jauh dari sini, terdapat sebuah lubang yang menjorok dari bawah tanah, lebih tepatnya di dekat pohon hingga menjelma bagai sarang.

"Biar kuperiksa."

Tanpa menunggu komentar lagi, Idris maju. Aku tidak tahu dari mana ia menilai, ia tampak sangat yakin meski aku ragu.

Idris berhenti dekat lubang. Tanpa menunggu lebih lama, langsung melompat ke dalam.

Tak lama, ia muncul kembali.

Idris memberi isyarat kepada kami untuk mendekat.

"Bagaimana?" tanya Nemesis.

"Ini aman, sejauh yang kuamati," jawab Idris. "Kita bisa tidur dengan hangat tanpa selimut."

Kami berempat lantas masuk.

Di dalam, tidak banyak yang menarik. Hanya satu tempat kecil yang bisa dijadikan tempat tidur dan semua jenis ruang dalam rumah sekaligus.

"Tanpa alas?" Nemesis menatapku. Ia pasti ragu jika aku bersedia tidur di sini.

Aku melirik tanahnya. Begitu sentuh, jelas sangat kotor.

"Killearn!" Idris memanggil. "Bantu aku mencari alas!"

Nemesis mengiakan. "Kalian jaga diri!"

Keduanya lantas keluar.

Aku pun menunggu bersama kedua gadis ini. Tak lama, kantuk menyerang.

***

Aku dibangunkan beberapa detik–kurasa–setelahnya oleh suara Nemesis.

"Remi!" Ia menepuk pipiku.

Aku mengerjapkan mata.

Ia serta merta menarikku.

"Eh?! Eh?! Ada apa?" Aku jelas kaget.

Ia menyeretku keluar dari tempat yang ternyata telah kosong. Begitu berhasil mencapai permukaan, aku terkesiap mendengar suara itu.

"Mau ke mana kalian, he?"

Itu ...

"Bunuh mereka!"