Chereads / Guardians of Shan / Chapter 84 - Pertemuan – 9

Chapter 84 - Pertemuan – 9

Aku bangun terlalu dini. Langit malam masih menyelimuti tanah Ezilis Utara. Kuputuskan untuk berjalan keliling rumah. Berusaha untuk tidak membangunkan siapa pun.

Rencananya, aku mau menjenguk. Tapi, aku harus makan dulu.

Di tengah ruang makan, aku menemukan beberapa untuk mengisi perut. Sayangnya, tidak ada manisan.

Kalungku memancarkan cahaya biru.

"Remi?"

Itu ...

"Papa!"

Aku mendekat sambil memeluknya. Tubuhnya kini terasa hangat.

"Sudah makan?" tanyanya sambil mengelus rambutku.

Aku mengiakan. "Kalau Papa?"

"Sudah."

Meski mengaku sudah, aku masih saja merasa lapar. Kuraih beberapa makanan yang ditata di meja. Ada semangkuk buah pencuci mulut yang bisa kunikmati.

Arsene duduk di depan, hanya mengamati makanan tanpa menyentuh.

Tanpa sadar, kugumamkan lagu yang biasa kunyanyikan sejak kecil. Dengan itu, hatiku semakin senang.

Kutatap sekeliling.

"Eh?!" Aku dikejutkan akan penampakan.

Sosok itu sedari tadi berdiri di dekat lemari. Menatap dalam diam. Mata merah menyala, menusuk hingga ke relung jiwa.

"Nemesis?"

"Killearn?"

Aku dan Arsene panggil bersamaan.

Pria itu hanya merespons dengan suara kecil, seolah bicara saja sangat membuang tenaga.

"Nemy sudah mendingan?" Aku tersenyum. Lega setidaknya dia selamat.

Nemesis mengiakan.

"Um, mau?" Kutawari buah anggur kecil yang kupegang.

Tindakanku rupanya tidak terduga, ia sampai tersenyum tipis. "Tidak, terima kasih."

Aku jelas heran. "Kenapa ..." Baru aku sadar kalau Guardian-ku adalah vampir.

Nemesis mengusap sikunya. "Kamu ... Pangeran tidur nyenyak malam ini?"

Aku mengiakan.

Ia melanjutkan. "Aku bermimpi tentang sosok Guardian dari Shan. Aku tidak tahu siapa itu."

"Kamu ingat wajahnya?" tanya Arsene.

Nemesis tidak menjawab, ia duduk di sisi kanan Arsene lalu bertutur.

"Aku tidak tahu siapa yang benar atau salah. Ketika kutengok ingatan Zibaq, tiada bedanya antara hitam dan putih."

Hening sesaat.

Kutatap kalungku. Barulah ingat. "Nemesis, kamu ... Yang membuat kalung ini, kan?"

"Di Shan dulu, ya." Nemesis mengangguk. "Aku dulu seorang pandai besi juga penyihir."

"Lalu, kamu jadi vampir–"

"Itu karena si brengsek Zayn!"

"Jangan ucapkan itu di depannya!" tegur Arsene. "Jaga mulutmu!"

Aku tersentak, suara mereka begitu keras hingga menggema. Bahkan, saat menginggat kembali, masih terdengar jelas seolah ia berdiri di sisiku saat ini.

"Maaf." Nemesis melembutkan suara. "Karenanya, Mister Perrier juga begitu. Bukan begitu?" Ia tatap Arsene.

Pria itu diam, tidak mengiakan atau membantah.

"Kamu yakin?" tanya Arsene pada akhirnya.

Nemesis tertegun. "Bisa jadi."

"Penampilan kalian berbeda dengan yang dahulu?" tanyaku lagi.

"Tentu saja." Arsene bersandar di bangku.

Aku berpikir sejenak. "Saat Nemy dirasuki Zibaq, apa yang kaurasakan?"

Nemesis menatap sekeliling. "Kamu tahu, seperti duduk di depan jendela menyaksikan seseorang bergerak, dengan sudut pandangmu. Kamu melihat segalanya. Tapi, tidak bisa bergerak."

Aku belum pernah mendengar kisah tentang kesurupan. Seingatku, aku bahkan tidak tahu jika itu bisa terjadi. Mungkin, di usia sepuluh tahun ini, masih terlalu samar. Kuharap, suatu saat aku menemukan kebenarannya.

"Tapi, hebat juga, kamu bisa melihat sedikit memori Zibaq," pujiku tulus. "Menurutmu, Zibaq itu siapa?"

"Ia jin," jawab Nemesis. "Kurasa, ia juga yang merasuki Raja Suryanta. Ada penggalan ingatan berhubungan dengan para Guardian, kerajaan dan juga urusan dengan para jin, terutama Ratu Zabuz, Yamlica."

"Yamlica?" Baru tahu aku kalau ratu jin benar-benar ada. Hanya Zahra yang kutahu. Tapi, dia hanya separuh.

"Perihal jin, sebaiknya kamu tanyakan ke Zahra," saran Nemesis. Ia lalu berdiri menjauh.

"Mau ke mana?" tanya Arsene.

"Jam tidurku telah tiba. Aku sudah lama tidak tidur."

***

"Pangeran!" Gill terkejut begitu aku membuka pintu. "Ah, kukira siapa. Oh, hei, Arsy!"

Arsene hanya mengiakan lalu duduk di kasur tepat di depannya.

Aku duduk di sisinya. "Terlalu dini, ya?"

Gill bersandar di dinding. "Bagaimana kabar Nemy?"

"Mau tidur lagi katanya," jawab Arsene.

Gill membalas, "Wajar, ia biasa bangun di malam hari. Tapi, kuharap Nemy juga bisa berlatih. Ia butuh adaptasi."

Aku membenarkan. Tidak mungkin Nemesis bisa banyak membantu kalau ia sendiri tidur di siang hari.

Fakta kalau Gill memanggilnya Nemy, entah kenapa terkesan lucu bagiku. Kurasa, Gill punya gelar untuk orang lain. Sama halnya dengan memanggil Arsene–Arsy.

Aku jadi teringat kembali. "Kalau kalian menunggu kami sedari dulu, bagaimana caranya?"

"Aku hanya sampai ke batas Ezilis Selatan," lapor Arsene.

"Kalian bisa merasakan keberadaan kami?" tanyaku.

Gill mengiakan. "Walau tidak terlalu kuat. Kalung itu hanya untuk memastikan."

"Apa ayahku memilih kalian?" tanyaku lagi. "Atau kami yang memilih?"

"Putri minta tiga belas orang," jawab Gill. Tidak kusangka saudariku ingin sekali punya banyak teman. "Ada beberapa orang dipilih. Saat diseleksi, ada yang terbunuh atau melakukan tindak kejahatan sehingga gugur."

"Terbunuh?" Aku jelas curiga.

"Remi seharusnya tidak tahu," sahut Arsene, terdengar menegur Gill.

Gill mengubah topik. "Anu ... Kita akan pindah ke rumahku nanti."

Aku tahu Count tidak mungkin mengizinkan orang asing berdiam di wilayah kekuasaannya. Meski salah satu dari mereka adalah adiknya.

Rumah Gill cukup luas, mungkin bisa ditinggali kami semua. Aku lupa bertanya dari mana ia mendapatkan harta. Barangkali seperti Arsene, melalui warisan. Atau mungkin ia bekerja di suatu tempat yang belum pernah diceritakan.

Aku membuka mulut, hendak bertanya.

"Kakek rencananya akan memburu Zibaq," kata Gill. "Aku dan Nemy disuruh menjaga kalian. Setelah ditaklukan, kamu dan Putri akan disekolahkan."

Aku mungkin pernah sekolah, usiaku lebih dari cukup untuk memulai pendidikan. Tapi, ilmu apa saja yang kupelajari? Segalanya seakan muncul begitu saja.

Pintu diketuk.

Tanpa menunggu respons kami, langsung dibuka. Kepala dua gadis kembar. Ah, Delisa dan Delina.

"Aku Delisa." Gadis yang berambut dominan hitam, membungkuk hormat. "Ini saudariku."

Gadis berambut dominan biru mengangguk. "Aku Delina."

"Aku meramal masa depan," ujar Delisa.

"Aku membaca masa lalu," timpal Delina.

Hening sejenak.

"Eh, halo." Gill menyapa meski dengan nada gemetar, aku tahu ia pemalu meski sedang bicara dengan gadis kecil sekali pun. "Um, ada ... Keperluan apa?"

Si kembar saling pandang. Mereka duduk di depan kami dengan bersila. Mata biru itu tampak bagai samudra di bawah sinar mentari. Namun, juga misterius seperti kekuatan mereka.

"Soal masa depan," kata Delisa.

"Dan masa lalu kalian," timpal Delina.

"Mau yang mana dulu?"

"Biar kami yang jawab."

Aku melirik Gill. Sorot matanya seakan menyuruhku memutuskan terlebih dahulu. Begitu juga dengan Arsene.

"Soal masa laluku," jawabku. "Kalian tahu?"

Delina menggeleng. "Aku tidak bisa. Ingatanmu kosong."

Aku menunduk. Berarti Delina tidak bisa membaca memori orang yang hilang ingatan atau am ... Am ... Am apa, ya?

"Kalau masa depanku?" tanya Gill.

Delisa menyentuh dagu. "Hm ... Hm ... Masa depan ... Yang kulihat seseorang melempar kursi ke arahmu."

Mata Gill terbalak. "Eh? Eh? Kok bisa?"

"Entah." Delisa mengangkat bahu. "Kamu bandel, mungkin."

Gill menunduk. Aduh, aku malah kasihan dengannya.

"Kalau untukku?" tanyaku.

"Hm ... Hm ... Aku melihat sesuatu. Mungkin semacam ... Kamu seperti dilempar gitu." Delisa tampak bingung menafsirkan.

Aku dengan sabar menunggu.

"Uh, aku sebenarnya malas membantu, tapi Ayah nyuruh, sih!" keluh Delisa.

"Kenapa?" tanya Arsene. "Kenapa Count?"

"Entahlah." Delina mengangkat bahu.

"Kata Abi, demi masa depan, walau aku tidak melihatnya," kata Delisa.

"Kata Abi, demi keluarga. Tapi, kami tidak peduli," sambung Delina.

"Kami hanya patuh."

"Walau tidak ikhlas."

"Kalau begitu jangan," balas Arsene, suaranya mengeras. "Kalau tidak sudi, kenapa repot-repot ke sini?"

Delisa dan Delina saling tatap. Keduanya tampak bingung harus balas apa. Aku tahu, Arsene pasti tersinggung.

"Tapi, aku melihat bakal terjadi sesuatu pada kita semua," kata Delisa.

"Dan kata Delisa, itu ada hubungannya dengan masa lalu kalian," sambung Delina. "Aku sepertinya dapat menebak siapa yang dimaksud."

"Itu antara aku dan Kyara?" tebakku.

Delina menggeleng. "Eh, mungkin. Eh, tidak. Um, barangkali. Sepertinya."

Duh!

"Oh, ya. Mana kakakku?" tanyaku. "Guardian lain?"

"Mereka semua sedang mencari Zibaq," jawab Delina. "Kamu tadi tidur, makanya hanya Gillmore, Killearn, dan Perrier yang disuruh tinggal menjaga."

Gill rupanya tidur kembali setelah disuruh. Berarti ia bisa jadi bangun lebih awal. Tunggu, jadi mereka pergi saat larut? Niat sekali.

"Dan entah kenapa, aku merasa tidak nyaman sedari tadi," ujar Delisa. "Makanya kami sekeluarga memilih menetap alih-alih membantu."

Aku, entah kenapa, juga merasa tidak enak.

KRAK!

Saat itulah, sebuah kayu memisah jarak antara kami.

Krak!

Aku terjatuh.

"Pangeran!"