Chereads / Guardians of Shan / Chapter 77 - Pertemuan – 2

Chapter 77 - Pertemuan – 2

Di depan, berdiri sebuah lubang besar hasil ledakan. Tampak dua gadis. Berambut ungu dan satunya hitam. Aku kenal keduanya.

"Butuh bantuan?" Nisma menyeringai, memamerkan gelasnya.

Nisma berdiri sambil menumpahkan gelas ke tanah. Seketika itu pula, sekumpulan mayat mencuat dari tanah laksana bayi yang baru saja dilahirkan.

"Ayo!" Nisma memandu pasukannya. Dia rupanya menyuruh mereka menyerang beberapa makhluk tak kasat mata tadi.

Aneh, mereka bisa bertarung dengan mudah. Tanpa perlu melihat wujud lawan, sudah mampu menyisir habis entah-makluk-apa yang menyerang.

Dur! Dur! Dur!

Bola api berjatuhan ke tanah, menciptakan ledakan kecil mengelilingi halaman berumput.

Zahra melambung di udara, menciptakan ledakan baru. Aku heran, apa yang diserang? Tidak ada apa pun sejauh mata memandang selain kobaran api merah dan hitam.

Aku berlari sambil mencengkeram jubah Arsene. Gill terus memegang bahuku sambil sesekali bergumam entah karena panik atau sedang berpikir.

"Apa yang dia lakukan?" tanyaku, merujuk pada Zahra dan Nisma.

Belum sempat menjawab, para mayat tadi tampak mengacak-acak udara disertai geraman dan erangan. Beberapa benda hitam berhamburan, entah apa itu. Bagai cipratan air disertai bau anyir.

Kutatap Gill, ia melototi keanehan itu, seperti Michelle. Aku tahu gadis itu lebih merasa marah dibandingkan takut.

"Mana Evergreen?!" tanya Michelle. Astaga, dia benar-benar marah.

Hening. Aku bahkan tidak sempat memikirkan pria itu.

Nemesis berlari. Tanpa disuruh, kami menyusul. Tidak disangka, vampir itu meloncat hingga lenyap dari pandangan. Sepertinya ia berniat ikut bertarung.

Michelle berlari, hendak menyusul Nemesis sambil menyeru nama vampir itu.

"Nem–"

Duak! Michelle terjatuh tengkurap entah kenapa.

"Bangsa–" Michelle menutup mulut, dia nyaris saja mengumpat.

"Maaf, aku yang mengajarimu itu," ujar Mariam. "Aku ingat malam ketika Khidir menghajarku dengan prosa ungu."

Ah, aku jadi penasaran dengan kisah mereka. Seberapa dekat Mariam dengan Michelle? Kalau dari bahasa tubuh, mereka tampak jelas akrab.

"Mariam!" Gill beralih menunjuk Mariam. "Jaga mulutmu! Tugasmu mendidik Putri. Tapi, bukan yang ini! Preman saja tampak bagai balita di matamu!"

"Memang kenapa?" Mariam bersedekap. "Tidak sengaja, toh."

"Itu bukan alasan!" balas Gill. Tidak kusangka ia bisa meninggikan suara.

Gill mengatur napas, tidak ada yang melawan. Ia berdehem. "Remi, tolong tutup telingamu hingga tidak bisa mendengar apa pun."

Aku berpura-pura menutup telinga, sebenarnya ingin mendengar ucapannya. Aku janji tidak akan mengumpat asal tahu apa saja kata-katanya.

"Kalau kamu mengumpat, sama saja denganku!" Mariam bersedekap. "Jangan sok! Kamu sebaiknya evakuasi Putri dan Pangeran. Lagipula, Guardian sepertimu bukan contoh yang baik–"

Gill merampas botol Mariam dari tangan Michelle.

Prang! Ia empaskan ke tanah. Begitu kuat hingga benda itu pecah seketika.

Buk! Wanita berambut putih terduduk di tanah, matanya melototi Gill.

Mariam tampak menatap ngeri Gill yang bagai iblis di bawah sinar purnama.

Gill menarik napas. "Dengar, ya, Telur-Dadar-Gulung-Lipat-Tiga! Aku sudah lelah mengurus Johansen Everdeen dan sekarang harus mengurus makhluk sepertimu. Kalau mengajak gelut terus nanti banyak yang mati!"

DUAR!

Tepat ketika Gill mengucapkannya, rumah Evergreen diledakkan. Beberapa benda berserakan di udara dan tanah, beruntung tidak mencapai kami.

Yang marah tadi, justru bungkam. Tidak ada yang berani berkomentar selama beberapa saat.

Michelle pegang tanganku. "Remi."

Aku tidak tahu harus balas apa selain membalas tatapan.

Sulur dan dahan perlahan menguasai rumah yang terbakar, dengan sia-sia membungkus api dan membakar dirinya sendiri. Sepertinya, pengguna sihir ini tidak tahu kelemahan tumbuhan.

Dum!

Dentuman keras bersahutan, menggetarkan tanah. Aku dan Michelle berpegangan erat, saling menjaga keseimbangan.

Muncul sosok naga ungu, meraung di kegelapan malam, antara kobaran api. Ia melambung, membiarkan rumah runtuh beserta isinya.

Dur!

"Pangeran!"

Gill menarikku bersama Michelle sebelum tangan hewan menghantam tanah. Begitu mendongak, aku terkesiap melihat naga tadi. Menatap kami dengan mata hijau-merahnya.

Gill mendekap kami. Mencoba berdiri, entah kenapa gagal. Aku juga begitu, tidak sanggup menggerakkan kaki kala menatap makhluk itu.

"Evergreen," bisik Gill. "Mau apa dia?"

Aku tidak bisa menjawab. Begitu pula dengan saudariku.

Naga itu meraung. Menggetarkan bumi.

Klang! Klang! Klang!

Puluhan rantai emas mengikatnya. Kulihat seorang wanita berambut hitam lurus, menyeringai selagi menyegel Evergreen. Mata hitamnya memancarkan kematian.

"Mati kau! Mati!" seru wanita itu sambil tertawa lepas.

Di antara ikatan rantai, kulihat sosok itu menari sambil mengayunkan pedang. Ia tampak berkali-kali mencoba menusuk sisik Evergreen. Anehnya, malah menembus meski hanya beberapa sela lalu kemudian ditusukkan ke bagian lain.

Hingga berhasil menggores leher naga itu.

Evergreen meraung, ia kebaskan tangan ke arah kami.

Aku berusaha berdiri, tapi dekapan Gill yang ketakutan mengekang.

"Gillmore!" seru Michelle yang berjuang berdiri.

"Eh?!"

Syaat!

Sosok tadi melindungi kami. Ia belah tangan naga Evergreen. Darahnya muncrat mengotori tanah dan sedikit bajuku. Beruntung wajahku dilindungi Gill.

Aku mengenalnya, Guardian yang kami jumpai di rumah Wynter. Sosok yang ditunggu-tunggu.

Evergreen meraung. Ia terhuyung, tubuhnya ditahan rangkaian rantai wanita itu. Ketika kutanya siapa namanya di suatu ketika, dia Arsya Ferant Elzalis Wynter, anak pertama Count Wynter. Pengendali rantai, besi dan sejumlah batu mulia.

Tak kusangka, keluarga yang tadi menakuti bahkan hampir membunuh kami, kini membantu. Aku kian heran dengan niat mereka. Apa hanya sekadar usil? Kalau benar, itu tidak lucu!

Ekor Evergreen terkibas ke arah kami.

Syat!

Sosok itu memotongnya dengan mudah. Kudengar Gill terkesiap begitu darah mengotori kepalanya. Kasihan ia, harus terkena darah dua kali di wajah. Untung pemuda ini bersabar.

Sosok itu berpaling. "Kalian baik-baik saja?"

Ia mendekat, serta merta membersihkan wajah Gill dengan jubah hitamnya. Pemuda itu tidak sempat melawan, suasana seketika jadi canggung.

Pria itu memiliki kulit sawo matang dengan mata merah serta rambut hitam nyaris sebahu. Ia tampak seperti orang luar yang entah dari mana tahu kabar kami. Aku tidak tahu dari mana bangsanya saat itu dan mengira kalau ia bisa saja suku pedalaman lain di Ezilis.

Namun, ada hal yang membuatku bertanya-tanya. Ada apa dengan wajahnya? Di bagian kiri wajahnya terdapat luka dalam yang hanya menyisakan mata merahnya yang menyala. Kendati demikian, wajahnya masih utuh sehingga itu hanya tampak seperti luka biasa.

Aku hendak bertanya–

–Malah terpotong oleh bunyi raungan.

Begitu menoleh, kulihat Evergreen mengamuk di tengah jeratan rantai Arsya yang tebal sekaligus tampak mahal.

Arsya berlutut, tampak tidak kuat menahannya. "Abi!"

Api hitam perlahan muncul dari permukaan tanah. Pandanganku dikuasai kegelapan bagai halimun.

Guardian itu membantu kami berdiri. "Ayo!"

Kami berlari bersamanya. Ia memandu kami keluar dengan selamat, meski hanya sebatas beberapa meter dari kobaran api merah dan hitam.

Gill dan aku terkapar begitu tiba. Michelle tetap berdiri dan mengatur napas.

Guardian itu mendekat dan memeriksa kening kami, kecuali Michelle.

"Kalian sakit?" tanyanya dengan nada cemas, jelas membuatku merasa canggung.

Aku lantas menggeleng dan berdiri. "Ada ... Apa?"

Ia tatap Evergreen yang mengamuk dalam wujud naga, terangkap di antara kobaran api dan jeratan rantai.

"Kalian tangkap jiwa mereka!"