Aku tidak ingat apa pun sebelum tinggal bersamanya. Saat itu, aku duduk di kereta dan memulai perjalanan bersama sekelompok orang yang wajahnya tak terlihat. Kami tampak akrab bersama. Kuhabiskan waktu sambil mengobrol dengan gadis yang barangkali sedikit lebih tua. Kami tampak saling kenal karena saling bertukar kisah tanpa ragu. Tidak tahu persis apa yang mereka tuturkan. Kami memakai kalung yang sama, biru muda berpendar menghias kegelapan. Sayangnya, aku lupa ciri-ciri gadis itu selain dia berambut hitam.
Beberapa jam berlalu dengan cepat, tanpa kusadari sebuah cahaya kemerahan mengarah ke kereta.
DUAR!
Api menjalar ke mana-mana.
Aku sempat menghindar, sementara gadis itu terkapar. Aku berusaha bernapas, mulutku turut berjuang sementara dada terasa berat. Tanganku mendekati gadis itu, berniat membopongnya.
Tubuhku dihalau seorang pria dengan tatapan tajam.
Aku tidak bisa melihat wajahnya. Yang kudengar hanya suara.
"Masih hidup rupanya!"
Aku sungguh tidak paham. Aku termasuk anak yang selalu mematuhi peraturan. Meski bakatku bisa dibilang antara rata-rata. Begitulah yang kuingat, walau semua masih samar.
Duk!
Belum sampai kusangkal, sosok itu memukulku hingga ambruk.
Aku berusaha bangkit dan mencoba melawan, malah ditendang hingga menimpa dahan.
Dengan bibir bergetar, aku coba menanyainya. "Ke ... Kenapa?"
Dia tidak menjawab. Malah memegang bahuku-
Bruk!
Tubuhku masuk ke lubang kecil di tanah, meski tidak begitu dalam. Ia berdiri di atasku, matanya merah menyala. Siap mencengkeram leherku.
Bayangan hitam membelah hutan.
DUAR!
Aku menutup mata dan telinga. Suaranya bagai petir menggelegar. Tercium aroma kayu bakar.
Dengan gemetar, kubuka mata dan melihat seorang pria berlari, mendekati lubang tempatku duduk.
Siapa dia?
Sihir itu menciptakan bunyi gemuruh petir, membuat suasana semakin mencekam. Aku hanya duduk di lubang dangkal tadi sambil menyaksikan bayangan hitam menyerang daerah sekitar. Tak lama, suasana semakin senyap bagai kuburan.
Pria yang tadi menggubrisku kini berdiri tepat di depan. Tatapannya tertuju pada kalungku.
Aku menunduk, melirik kalungku yang entah bagaimana bersinar mengeluarkan cahaya biru.
"Pangeran, kamu kembali?" Ucapannya jelas membuatku heran. Kalung yang selama ini kuanggap biasa saja, kini bersinar di tengah kegelapan malam.
Dia mengangkatku keluar lalu memeriksa. Meski tidak terluka, jantung ini nyaris copot. Rasa bingung dan takut terpadu menjadi satu. Aku bahkan tidak bisa berpikir jernih.
"Pangeran?" beoku, heran.
"Kalung itu sudah membuktikan," jawabnya singkat.
Kubalas dengan jujur. "Aku ... Tidak tahu. Kalung ini muncul sejak kecil, seingatku."
"Pulanglah, aku akan mengobrol denganmu besok." Ia menjauh, seakan tidak memedulikan.
"Tunggu!" seruku. "Tunggu!"
Tidak kusangka, ia berhenti. Melirikku yang berjuang menyusulnya. Ah, cepat sekali jalannya!
Rambutnya kelabu, mata emas bagai kemilau dalam kegelapan, serta kulit putih sepertiku. Ketika kulirik wajahnya, pria ini kelihatan dingin, tapi juga memancarkan kehangatan di saat yang sama. Aku rasa, dia bisa dipercaya.
"Kamu siapa?" tanyaku. "Terima kasih sudah menolong."
"Aku hendak menanyakan hal yang sama," sahutnya. "Aku Arsene Perrier, Pemburu Sihir yang tinggal di kota, tak jauh dari sini."
Ia lalu meneruskan langkah. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, bahkan nada bicaranya terkesan datar.
Aku menyusul di sampingnya, tidak tahu harus ke mana lagi.
"Sekarang giliranmu," ujar Arsene. "Siapa namamu? Bagaimana bisa ke sini?"
"Aku lupa namaku," balasku jujur. "Hanya beberapa kisah yang kuingat."
Arsene berpikir sejenak. "Aku tidak mungkin memanggilmu dengan kata 'kamu.'"
Aku tidak membalas.
Ia lalu memberiku nama 'Remi.'
Tidak berlebihan jika aku memakai nama itu sekarang dan selamanya. Demi mengenangnya.
Aku lalu menceritakan pengalaman seadanya. Jauh sebelum kereta itu, segalanya pupus menjadi abu. Menyisakan kenangan berupa rasa aneh di kalbu.
Sebagian berupa potongan gambar atau bayangan, ada pula ilmu yang kudapat entah dari mana. Salah satunya, aku lancar bicara bahasa yang Arsene gunakan. Aku penduduk negeri ini?
"Sebaiknya kauikut denganku," ujar Arsene. "Besok akan kuceritakan beragam kisah untukmu. Untuk saat ini, engkau butuh tempat berlindung."
Aku mengiakan sambil meneruskan langkah. Sepanjang jalan, ia tidak lagi mengucapkan sepatah kata. Hanya helaan napas yang kadang kala tertangkap di telingaku ketika suasana kian sunyi. Aku jadi teringat dengan sosok tadi.
"Kamu kenal sosok itu?" tanyaku. Merujuk pada lawan kami.
"Ya." Dari nadanya, aku tahu hubungan mereka tidak sebatas kenalan dan ia jelas tidak menyukainya.
"Dia penyihir?" Aku memastikan.
Arsene menjawab, "Itu vampir. Mayoritas penduduk Ezilis Utara adalah penyihir. Namun, lebih banyak pengguna Sihir Hitam."
Aku menyadari sesuatu. "Lalu, kekuatanmu itu ..."
"Kutukan."
"Kalau begitu, kamu termasuk Penyihir Hitam, bukan?" tanyaku gamblang.
Arsene malah mengalihkan topik. "Untuk saat ini, kamu tidak boleh jauh-jauh dariku. Kalungmu sudah memberitahu."
Aku mengamati jubah pendek yang melingkari bahunya. Hawa dingin telah menusuk tulang. Pakaianku terlalu tipis, hal itulah yang membuatku yakin aku bukan penduduk asli Ezilis. Aku meniup tangan dan menggosok berkali-kali.
Arsene menyerahkan jubahnya padaku. Terasa hangat bagai dipeluk.
"Terima kasih." Aku tersenyum.
Ia hanya mengiakan.
Suasana kembali canggung seperti sedia kala. Aku makin kesulitan mengejarnya. Ia berjalan seperti dikejar setan. Begitu cepat sampai aku tidak boleh lengah barang sedetik.
Aku berhenti untuk mengatur napas. Beberapa detik kemudian, Arsene berada jauh di depan seakan mengabaikan keadaanku.
"Arsene! Tunggu!" Aku menjerit panik sambil memanggilnya. "Arsene!"
Buk!
Aku terjatuh entah kenapa. Kakiku terasa sakit. Ada benda yang menusuk. Rupanya, aku tidak sengaja menendang dahan besar.
Arsene bergegas menghampiri lalu memeriksa lukaku. Tidak ada yang lecet atau berdarah, hanya goresan kecil.
"Maaf," bisikku.
Wajahnya yang dingin menatapku. Ia berpaling lalu menawarkan punggungnya padaku.
"Eh?" Aku jelas ragu. Untuk usia seperti ini-sepuluh tahun? Itulah yang kuingat-jelas bukan pilihan yang tepat.
"Naiklah!" Meski memerintah sekalipun, suaranya tetap datar.
Aku duduk di punggungnya.
Ia kembali berjalan cepat. Aku harus memeluk lehernya agar tidak mudah jatuh.
Suasana lagi-lagi canggung. Aku memutuskan untuk berbasa-basi.
"Awalnya kukira benda ini tidak berguna." Aku memulai obrolan lagi.
"Hanya jika Pangeran dan Putri dari Shan yang memakai. Benda itu bisa menyala dan membedakan mana Guardian dengan orang lain," kata Arsene. "Walaupun aku di sampingmu, jika kamu bukan Pangeran, benda ini hanyalah kalung biasa."
"Memangnya benar aku pangeran dari Shan?" heranku. "Aku tidak ingat apa pun."
"Aku turut kebingungan," balasnya. "Para Guardian, seingatku, tidak banyak hilang ingatan. Mereka ingat beberapa pengalaman di masa lalu tentang Shan."
"Aku tidak sama sekali," balasku. "Ceritakan tentang Shan padaku!"
Arsene menegurku untuk diam. "Jangan berisik! Hutan ini penuh dengan makhluk buas."
Aku mengiakan lalu berbisik. "Kamu bisa ceritakan tentang Shan padaku?"
"Nanti," balas Arsene. "Aku lelah."
Meski mengaku lelah, ia tetap berjalan cepat dan kuat mengendongku seperti ini. Sepanjang jalan, aku mengamati lanskap hutan yang memancarkan keindahan sekaligus kesuraman di saat yang sama.
"Remi." Arsene memanggil nama baruku. "Mulai saat ini, namamu Remi. Anggap saja kamu anak yang kupungut dari panti asuhan, agar tidak mengundang banyak kecurigaan."
Aku mengiakan. "Lalu, kamu memburu Sihir Hitam, ya?"
"Meski darah warlock mengalir di tubuhku, aku akan menghancurkannya. Aku ingin menjadi manusia."
Aku menelan ludah. "Apa tidak masalah?"
"Menurutku, manusia itu lebih santai hidupnya," balasnya masih dengan nada datar. "Sepertimu."
"Aku tidak santai," tukasku. "Tapi, ucapanmu ada benarnya. Namun, kami termasuk kasta rendah di mata kalian."
"Itu bagi beberapa orang," ujar Arsene. "Selama dia tulus jadi temanku, kasta tidak penting lagi."
"Aku mau jadi temanmu," balasku polos.
Arsene tidak membalas. Entah mendengar atau berpura-pura tidak mendengar sama sekali.
Tanpa kami sadari, ada yang mengintai di balik kegelapan.