Setelah bertemu dengan Om Juna dan
juga Bapak Arvin, Dean hanya bisa
termenung. Entahlah, dia memikirkan
kehidupannya yang seakan sekarang
sedang menertawakan dirinya. Dean
duduk terdiam di balik kemudi, sesekali
mengacak rambutnya, berharap ini cuma
mimpi meskipun takdir ini tentunya
sangat baik dan merubah hidupnya. Tapi
ini terlalu mendadak, apa tidak bisa
semesta memberikannya aba-aba terlebih
dahulu?
Dean memukul kepalanya sendiri ke stir
mobil, menenggelamkan kepalanya sambil
mengacak-acak rambutnya.
Dia? Penerus tunggal perusahaan
pertambangan batu bara dan minyak
terbesar?
Dean menatap berkas yang diberikan oleh
Om Juna dan juga Bapak Arvin. Seolah
masih tidak percaya dengan apa yang
sekarang dia pegang. Belum lagi beberapa
platinum card serta black card yang ada di
tangannya sekarang.
Kalau benar ini mimpi, tolong jangan buat
Dean melambung tinggi dan berakhir
dihempaskan secara kejam ke kerak bumi.
Mereka akhirnya berkumpul di kafe Beye.