Chereads / Jovaca & Rivaldi / Chapter 2 - Selingkuh

Chapter 2 - Selingkuh

"Valdi, kamu cepat pulang ya. Ini ada tamu spesial buat kamu, jangan lama-lama ya!"

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak oleh Arina. Wajah Rivaldi berubah menjadi muram, padahal ini adalah waktu yang seharusnya dia pakai untuk membuat Jovanca bahagia, agar gadis itu tidak memikirkan masalahnya.

Rivaldi mengusap kepala Jovanca. "Vanca, maaf ya. Aku harus pulang sekarang gapapa 'kan? Soalnya tadi Mama bilang ada tamu," jelasnya dan dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.

"Iya, gak papa. Hati-hati ya!" pesan Jovanca.

Setelah mendapat ijin dari Jovanca, Rivaldi segera meninggalkan bukit tersebut. Sementara Jovanca, pulang dengan berjalan kaki. Karena dirinya memang tidak diberikan bekal yang banyak oleh kedua orang tuanya.

***

Motor ninja berwarna hitam yang Rivaldi kendarai, telah sampai tepat di halaman rumahnya. Kemudian, cepat-cepat Rivaldi turun dari motornya dan memasukki ruang tamu. Di sana ada seorang gadis yang sudah tidak asing lagi di penglihatannya.

Gadis bersurai panjang berwarna kecokelatan, dengan kulit putih, juga pipi tirus. Dia adalah Veronika, Anak dari sahabat dekat Arina, yaitu Sarah. Sudah sejak lama Arina dan Sarah berencana untuk menjodohkan Rivaldi dan Veronika.

Menyadari kehadiran Rivaldi di ambang pintu, Arina segera menyambut dan mengiring anak tunggalnya itu untuk duduk tepat di samping Veronika. Keduanya tampak sangat serasi, tidak salah Arina memilih Veronika sebagai calon Istri untuk anak lelaki semata wayangnya.

Arina menatap Rivaldi dan Veronika dengan tatapan kagum. "Woah, cocok nih kalian. Gimana kalau kalian tunangan bulan depan?" usul Arina.

"Enggak, apa-apaan si mah. Emangnya sekarang jaman Siti Nurbaya apa, seenaknya main jodoh-jodohan," tolak Rivaldi cepat.

Wajah Rivaldi berubah menjadi datar, dan menatap ke arah lain. Sementara Arina melihat sikap Rivaldi jadi merasa tidak enak kepada Sarah, sahabatnya. Tapi Sarah maklum, mungkin untuk saat ini Rivaldi masih belum bisa menerima perjodohan itu.

Sarah tersenyum. "Udah, gapapa kali. Kita tetap laksanakan pertunangan itu. Nanti juga lama-lama pasti Rivaldi bisa terima Vero kok," jelas Sarah dengan lembut.

"Mih, gak mau ih. Aku juga kan masih punya pacar," protes Veronika.

Beragam cara telah Sarah pikirkan matang-matang, agar bisa membuat Veronika menikah dengan Rivaldi. Biarpun Veronika protes, tidak mau untuk dijodohkan dengan Rivaldi. Tapi Sarah tidak peduli, yang terpenting satu misinya harus segera berhasil. Yaitu menguasai semua kekayaan keluarga Arina.

"Tau ah, aku permisi." Kemudian, Rivaldi meninggalkan ruang tamu, diikuti oleh Veronika.

Sampailah Rivaldi dan Veronika di halaman belakang rumah mewah milik keluarga Rivaldi. Di sana suasananya berhasil membuat mereka berdua merasakan ketenangan. Banyak tanaman hias tertata rapi di pinggir taman, juga sebuah kolam ikan.

Veronika menatap lurus ke arah depan, lalu bertanya, "Gimana kalo kita terima perjodohan ini? Untuk sementara aja kok, siapa tahu nanti Mamih aku sama Mamah kamu bisa berubah pikiran," tanyanya.

Rivaldi terdiam, tidak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan Veronika. Jika dia menerima perjodohan itu, bagaimana nasib Jovanca? Tidak, Rivaldi tidak ingin dicap oleh orang-orang sebagai lelaki brengsek.

"Gimana?"

"Enggak, gue gak akan pernah mau terima perjodohan, dan pertunangan ini. Lagian, gue juga gak cinta sama lo," tolak Rivaldi cepat.

"Ralat, gak akan pernah suka," koreksinya.

Kehadiran Veronika, membuat Rivaldi semakin merasa pusing. Rivaldi berdiri, lalu memutuskan untuk memasukki kamarnya saja dan menenangkan diri dengan melakukan ritual mandinya. Sementara Veronika hanya bisa terdiam, ternyata seperti ini sifat Rivaldi yang sebenarnya.

"Lah, dia pikir gue mau gitu sama dia? Ya kagaklah, Gavin lebih ganteng kali," cibir Veronika.

***

Baru saja Jovanca pulang sekolah dan memasukki rumahnya. Suara keributan dari kedua orang tuanya sudah menyambutnya. Padahal, Jovanca butuh ketenangan agar penyakit yang dideritanya bisa cepat sembuh. Berulang kali Jovanca menarik dan mengembuskan napasnya secara kasar, menenangkan dirinya agar tidak memikirkan masalah kedua orang tuanya. Karena Jovanca masih ingin sembuh.

Kedua kaki Jovanca melangkah memasukki ruang keluarga. Di sana ada Caesa, Bundanya dan Arya, Ayahnya tengah berdebat secara besar-besaran. Bahkan Jovanca melihat sendiri ada sebuah koper besar berwarna merah di samping Caesa. Diam-diam Jovanca mendengarkan masalah apa yang diperdebatkan kedua orang tuanya. Ternyata, Arya selingkuh dengan wanita lain.

Wajar saja jika Caesa ingin berpisah dengan suaminya itu. Tapi, bagaimana nasib Jovanca? Karena di dunia ini tidak mungkin ada anak yang menginginkan perpisahan kedua orang tuanya. Semua anak pasti ingin memiliki orang tua yang lengkap dan keluarga yang damai, termasuk Jovanca. Kedua bola mata Jovanca seketika membelalak, saat melihat Arya melayangkan tangannya, hendak menampar Caesa.

Cepat-cepat Jovanca berdiri tepat di depan Caesa, sehingga tamparan itu meleset, dan mendarat dengan mulus di pipi kanan Jovanca. Perih rasanya, Jovanca memegang pipinya yang baru saja terkena tamparan Arya.

"Ayah! Jangan kasar sama Bunda!" teriak Jovanca.

Arya menatap Jovanca nyalang. "Jangan ikut campur urusan orang tua, bocah!" bentaknya.

Cairan bening mulai berjatuhan satu-persatu membasahi kedua pipi Jovanca. Caesa yang melihat Jovanca menangis rasanya tak tega. Ingin sekali Caesa membawa Jovanca ke dalam dekapannya, tapi tidak bisa. Karena nantinya hak asuh akan dirinya berikan kepada Arya. Agar kehidupan Jovanca bisa lebih baik.

"Bunda, Ayah. Jovanca minta kalian jangan pisah, ya? Kalian gak mau lihat Jovanca menderita 'kan?" Jovanca menatap kedua orang tuanya bergantian.

Caesa menatap Jovanca lekat. "Maaf, nak. Ini udah keputusan terbaik kami berdua. Bunda harap, kamu jangan pernah pikirkan masalah ini, ya. Karena Bunda gak mau kamu sakit," nasihat Caesa dengan suara serak khas orang menahan tangis.

Jika seperti ini, bagaimana bisa Jovanca semangat untuk hidup? Justru seharusnya di saat kondisinya semakin drop, banyak orang yang memberinya semangat. Jujur, Jovanca kecewa dengan keputusan yang diambil oleh Caesa dan Arya. Menurutnya, mereka tidak berpikir panjang dan memikirkan bagaimana nasib Jovanca ke depannya.

"Terus, kalau Bunda sama Ayah pisah. Aku sama siapa? Aku gak bisa hidup tanpa salah satu dari antara kalian ..." lirih Jovanca.

"Kamu sama Ayah." Kemudian, Arya menarik Jovanca agar lebih dekat dengannya.

Karena Jovanca tidak ingin menambah beban bagi kedua orang tuanya. Maka mau tak mau Jovanca menerima apapun keputusan kedua orang tuanya. Jovanca lakukan itu demi kebahagiaan dan ketenangan Arya, juga Caesa. Dan Jovanca juga yakin, seiring berjalannya waktu pasti dirinya bisa menerima perpisahan kedua orang tuanya.

Jovanca kembali menatap Arya dan Caesa bergantian. "Apa alasan kalian mau pisah?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Bunda kamu hamil anak lelaki lain," jawab Arya cepat.

Jovanca semakin dibuat bingung, sebenarnya apa alasan kedua orang tuanya harus pisah? Apakah karena Arya selingkuh? Atau karena Caesa hamil anak dari lelaki lain? Ah pusing jika dipikirkan, lebih baik Jovanca berdiam diri saja. Biarlah waktu yang memberi tahu semua kebenaran itu.