Lima menit berlalu telepon itu kembali ketempatnya semula. Punggung yang sedari dari tegang kini mulai melemas. Setelah menyusun kembali air mukanya yang sejak tadi dipenuhi kabut Ryu balik menoleh kearahku. Senyum itu tampak jelas sangat dipaksakan dibuat untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Ryu melangkah menghampiri ku duduk tepat disamping ku sambil menahan sudut bibirnya agar tetap naik keatas.
"Apa semua baik-baik saja?." Tanya ku pelan.
"Tentu saja." Senyum itu terasa sangat hambar tapi tetap dipaksakan sebagai pelengkap kebohongan yang dibuat oleh Ryu.
"Telepon dari siapa?." Mulutku dengan tajam mengeluarkan kalimat itu rasanya tak mampu lagi untuk ku tahan.
Lenggang tak ada jawaban dari Ryu, jarinya saling bertaut satu sama lain menyilang menekan semua kepahitan yang tak ingin diungkapkannya.
Sudut bibirnya kembali ditarik keatas. "Dari paman ku dikota sebelah katanya dia sangat ingin menemui ku, jadi ku pikir jika ada waktu luang aku akan mengunjunginya."