Chapter 2 - Kejanggalan

"Astaga!!"

"Bikin kaget aja, ish. Ngapain berdiri di situ?" tanya Anya yang langsung menyingkirkan tubuh laki-laki tersebut ke samping.

Tatapan mata tajam menusuk dengan bibir datar tanpa ada sedikit senyum di sana berhasil membuat Anya merasa terintimidasi. Anya tersenyum kikuk pada laki-laki tersebut, tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Melihat Anya yang tersenyum seperti itu membuat laki-laki tersebut menghela nafasnya, lagi-lagi penyakit milik Anya yang tidak bisa disembuhkan kembali kambuh.

"Jangan bilang lupa?" Anya seketika menghentikan senyumnya dan mulai berfikir kembali, apa yang dimaksud lupa?

Dengan polosnya Anya mengedipkan matanya beberapa kali dengan tawa cengengesan. "Hehehe, emang apa?" ucapnya yang langsung dihadiahi sentilan di dahinya.

Anya mengusap dahinya yang terasa sakit lalu menatap malas laki-laki di depannya. "Kurang ajar!"

"Anterin gue latihan," ucap laki-laki tersebut seketika membuat mata Anya terbelalak.

Ia memukul dahinya dengan cukup kencang hingga berwarna merah. Benar saja, ia baru ingat dengan janjinya.

"Astaga, lupa. Ya udah keluar dulu nanti gue anterin," ucap Anya mendorong laki-laki tersebut hingga sampai di depan pintu dan menyuruhnya ke luar.

Anya melihat jam yang terpampang di dinding, ternyata jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, pantas saja laki-laki itu sudah masuk ke kamarnya.

Tetapi bukan Anya namanya jika ia langsung menuruti perkataan adiknya yang bahkan terasa seperti kakaknya itu. Bukannya langsung menuju ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk mengantar adiknya, melainkan ia kini tengah berjalan kembali ke arah kasur kesayangannya dan membaringkan tubuhnya di sana.

Ia tak begitu peduli dengan perkataan adiknya tadi, toh hari ini adalah hari minggu, sebuah hari di mana adalah waktu yang pas untuk tidur sepuas hati, apa lagi semalam habis turun hujan yang membuat udara semakin terasa sejuk dan mata kembali terasa kantuk.

Anya menggigit bibir bawahnya, kembali mengingat mimpi yang selalu terasa janggal itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Apakah ia terkena sebuah sindrom? Atau ada gangguan mental pada dirinya? Anya begitu pening jika memikirkan mimpi aneh itu.

Sudah tiga tahun berlalu mimpi ini selalu hadir, bahkan ia sendiri sampai lupa sejak kapan mimpi ini hadir. Anya membangunkan dirinya, mengambil sebuah telpon genggam di atas meja yang terdapat di samping kasurnya.

Ia membuka sebuah room chat miliknya, begitu banyak pesan yang belum terjawab bahkan belum terbaca. Melihat dari atas sampai bawah, kini matanya terpaku pada sebuah nama di sana, dengan sigap ia langsung menelpon pemilik nama tersebut.

Tak lama telpon pun tersambung, sebuah suara dari seberang sana mulai terdengar di gendang telinganya.

["Hei?! Ada apa sih?"] tanya seseorang tanpa basa-basi.

"Kau ada waktu? Aku mau bercerita lagi," ucap Anya membuat seseorang di sebrang sana berdecak.

["Jangan bilang mimpi lagi?"] Anya memang hanya memiliki satu orang teman untuk ia ceritakan tentang mimpinya, padahal ia bukanlah tipe orang yang canggung ataupun introvert. Anya memiliki banyak sekali teman untuk bercerita, tapi entah kenapa hanya satu orang ini yang bisa mengerti dirinya jika ia bercerita pasal mimpi aneh itu.

"Iya, kau bisa tidak hari i—"

["Okeh, okeh. Kita ketemuan di cafe seperti biasa, atau mau aku ke rumahmu?"] ucap orang itu dengan memotong perkataan Anya.

"Enggak usah! Kita ketemuan di cafe!" ucap Anya dengan nada menekan dan langsung mematikan sambungan telpon tersebut.

Ia langsung keluar dari room chat tersebut, jarinya kini menekan sebuah aplikasi media sosial miliknya, tetapi lagi-lagi ia terkejut bukan main bahkan sampai ponsel miliknya terjatuh ke lantai.

Brakkk!!!

"Cepetan! Gue buru-buru nih!!" ucap adiknya yang bernama Arya, seraya membuka pintu dengan sangat kencang.

Tatapan garang dilayangkan oleh Anya pada adiknya itu, mengapa ia menjadi seorang kakak merasa tidak dihormati sama sekali. "Hei! Kurang ajar banget! Pergi lo!!" Anya melemparkan bantal miliknya tepat ke wajah Arya membuat Arya menatap Anya dengan kesal dan langsung menutup pintu kamar itu lagi.

Anya menghela nafasnya, berusaha menahan amarah yang sepertinya sedikit lagi akan meledak. Ia berdiri dari duduknya, kembali mengambil ponsel dari lantai dan menaruh ponselnya pada meja di samping kasur.

Ia menghentak-hentakkan kakinya, berjalan keluar dari kamar seraya menarik handuk dari gantungan baju. Anya membuka pintu kamar mandi dan berniat untuk mandi. Hancur sudah rencananya untuk tidur hingga waktu janjian tiba.

*****

Sebuah mobil berwarna silver kini tengah terparkir di halaman rumah dengan keadaan menyala. Anya selaku pemilik mobil tersebut saat ini tengah berdiri tepat di samping pintu mobil seraya menunggu adik laki-lakinya itu.

Anya hanya memiliki satu saudara yaitu adiknya seorang, dan kedua orang tuanya pun tidak tinggal bersama mereka, melainkan tinggal di kampung bersama dengan neneknya.

Ia melihat pintu rumah yang tengah terbuka lebar, tapi tak kunjung melihat batang hidung adiknya itu. Merasa kesal sudah dibuat menunggu, akhirnya mau tak mau Anya harus mengeluarkan suara indahnya yang bahkan tetangga pun bisa keluar marah-marah jika mendengarnya.

"Lama banget!! Katanya buru-buru!!" teriak Anya membuat seorang laki-laki keluar dari dalam rumah dengan wajah masam yang ia lontarkan pada kakaknya itu. Tak lupa laki-laki itupun juga membawa sebuah tas yang seharusnya ia gendong, akan tetapi ia seret di lantai.

Arya menatap Anya dengan wajah datar, dan melemparkan tasnya pada Anya membuat ia yang tak siap pun akhirnya hanya bisa menghindar, hal hasil tas itupun jatuh menyentuh tanah.

Suara decak kini terdengar dari mulut Arya, sedangkan Anya hanya tertawa gembira melihat adiknya yang semakin kesal akan dirinya.

"Udah ayok!" ucap Arya yang langsung menutup pintu mobil dengan kencang, tak lupa ia pun membawa masuk tasnya.

Melihat Arya yang kini sudah masuk ke dalam mobil, Anya lantas memasuki mobil tersebut, bersiap untuk mengantar adiknya ke tempat latihan.

Mobil yang dikendarai oleh Anya kini tengah melaju membelah jalanan. Walaupun hari ini adalah hari libur, tetapi itu tak membuat jalanan menjadi sepi, justru jalanan jadi semakin ramai dipadati oleh para kendaraan yang berlalu lalang.

Anya memberhentikan mobilnya tepat di depan lampu lalu lintas yang saat ini tengah berwarna merah. Ia menoleh ke samping melihat sang adik yang sedang fokus bergulat dengan ponselnya.

"Jadi adik nyusahin banget. Udah tau hari minggu masih aja nyusahin," sungut Anya berniat menyindir adiknya yang duduk bersebelahan.

Arya menoleh, melihat sang kakak yang saat ini sedang menjulurkan lidahnya dengan maksud mengejek. Kesal dengan ulah kakaknya, lantas ia menarik rambut Anya yang langsung dihadiahi pukulan telak di kepalanya.

"Rasain!" ucap Anya terlihat begitu puas. Arya pun hanya bisa memasang muka masam pada kakaknya.

"Gimana gak nyusahin. Orang mobil aja punya lo," ucap Arya tak mau kalah. Anya yang mendengarnya hanya mengabaikan begitu saja, sebab lampu lalu lintas kini telah berubah warna menjadi hijau, yang artinya ia harus kembali mengendarai mobil tersebut.

Setelah mengantar adiknya dengan selamat sampai tujuan, Anya pun berniat menjalankan mobil tersebut langsung ke tempat di mana ia janjian dengan salah satu sahabatnya.

Awalnya perjalan menuju kafe aman terkendali bahkan tak ada masalah sedikit pun. Akan tetapi ketika mobil tersebut sampai tepat di tengah jalan pertigaan menuju kafe, seketika Anya menginjak rem-nya secara mendadak, mata Anya terbelalak dengan lebar pada saat ia melihat seseorang yang kini tengah berdiri di depan mobilnya secara tiba-tiba.

Ia melihat melalui kaca spion, ada beberapa motor yang saat ini ikut memberhentikan lajunya, tetapi anehnya dengan santai para pemotor itu melajukan kembali kendaraannya seperti tak merasa aneh ketika seseorang tiba-tiba berdiri di tengah-tengah pertigaan.