Chereads / LATHI (LIDAH) / Chapter 8 - Randu Tak Berdaya

Chapter 8 - Randu Tak Berdaya

Perjalanan yang dimulai itu dengan tangan kanan mengenggam Rindu sedangkan sebaliknya Putri, keakraban terjalin cukup erat membuat rasa cemburu di hati Tito.

Ketika dalam pertama melangkah Putri sedikit demi sedikit selalu mengeluh kecapekan hal itu tentunya membuat semakin lama untuk menemukan titik tujuan, Jono yang memiliki jiwa iba sangat tinggi mencoba menggendong.

"Ah... capek, istirahat sejenak ya?"

"Eh, Put. Masih jauh ini, baru juga beberapa langkah." Saut Tito.

"Diam saja kamu, kalau gak jadi cewek kamu gak bakalan paham."

"Apa lo kata? Gak paham? Lihat itu Rindu, dia juga santai saja selama perjalanan."

"Kalian bisa diam gak sih? Ribut melulu, kalau begini kita akan terjebak lama di sini."

Mereka yang berdiam diri dalam perjalanan tiba-tiba saja Rindu mengalami sesak di dalam dada, tentunya membuat Putri kesal karena berasa lain.

"Alesan."

Rindu yang langsung dicoba ditangani itupun masih merasakan sakit tentunya dengan berbagai cara telah terkerahkan namun justru pingsan, Putri yang mengomel tidak karuan meminta untuk meninggalkan itu membuat Jono kesal dan menurunkannya begitu saja.

"Gara-gara anak kampung ini makin lama kita, tinggalin aja kenapa sih? Dia itu cocok sama orang hutan di sini."

"Turun deh, Put."

"Kan kaki aku masih sakit, masak kamu tega?"

"Aku minta kamu turun, kalau enggak aku paksa."

"Iya, aku ngalah. Dasar gara-gara anak kampung."

Jono yang mencoba memberikan penanganan serius belum coba berhasil, Randu yang meminta pertolongan dengan ajiannya itupun justru terlontar.

"Coba deh, Put. Kamu kasihkan anget-anget atau minyak di dadanya."

"Ogah, nanti ketuluran kere."

Tamparan keras Randu lontarkan ke arah Putri, kedua temannya hanya melongo akan tindakan keseriusan.

"Kalian semua di sini gak pada becus ngurus Rindu, termasuk kau. Ini di hutan bukan sawah, Put."

"Siapa juga yang bilang sawah."

"Terus aja ngebantah, kau ini cewek dan temenmu belum sadar harusnya ngebantu. Apa sih repotnya cuma kasih minyak doang?"

"Kasih sendiri aja kalau mau, tanganku ogah pegang minyak segala macem."

"Sumpah kamu sangat keterlaluan."

"Putri, Randu... udah, kalian bikin lama. Biar Tito aja yang ngasih ribet amat, kalian gak usah ngintip."

Dengan tangan kosong Tito mencoba membuka jaket Rindu dan melonggarkan baju agar tangan kanannya bisa masuk ke dalam, tapi karena ketakutan justru semakin lama membuat kesal Randu.

Randu yang menggantikan posisi tersebut tentunya juga mengambil kesempatan dalam kesempitan, tetapi hanya dalam sebuah pemikiran tiba saja tangannya menjadi panas dan membuat Rindu langsung sadar.

Hari sudah sangat siang dan mereka belum juga berjalan menuju ke posko dua untuk menjamu makan siang, tentunya hal tersebut semakin membuat kacau ketika belum juga makan.

Rindu yang memiliki inisiatif sejak awal sempat membawa beberapa persediaan snack ataupun buah untuk perjalanan tentu membuat Randu dan teman-teman lain semakin kagum, tetapi hal itu tentunya membuat Putri mengira jika kelakuan tersebut hanya mencari muka saja.

"Nahkan, tadi alesan pingsan terus ini bawa makanan pasti cari muka."

"Aku gak alasan atau cari muka, Put. Aku beneran apa adanya, ini aku lihat mataharinya udah naik. Kalian makan ini dulu aja, baru nanti kita jalan lagi ke posko satu."

"Lebih baik aku gak makan sebulan ketimbang makan makanan kampung begituan, ih jijik banget."

Rindu yang menahan air matanya itu membuat Randu semakin tak kuasa akan kelakuan tersebut dan tentunya membuat kesal, ia yang dibungkam dengan handuk dan diikat di pohon.

Mereka yang mencoba meninggalkan Putri mengira jika itu alasan, dan benar jika itu hanya sebuah hukuman sesaat. Rindu yang meminta untuk melepaskan akhirnya terlepas, tetapi hal tersebut tidak membuatnya menjadi baik malah justru sebaliknya.

Menjelang petang tentunya membuat kepanikan tersendiri, seharusnya mereka sudah tiba di posko siang tetapi justru mutar-mutar.

Saling menyalahkan itu terjadi diantara satu per satu pada mereka hingga akhirnya hujan telah mengguyur dan membuat jalur peta dengan arah yang dibuat meluntur, tidak itu juga dengan lubang yang tak terlihat membuat Jono terperosok.

Mereka yang berusaha membantu dengan sekuat tenaga belum juga berhasil, kepanikan tertambah dengan adanya suara gemuruh. Rindu yang ketakutan itupun menangis, Putri yang mengomel dan para lelaki terus membantu Jono.

"Sial, sangat sial." Ketus Randu

"Sudahlah, bro. Bantu ini Jono dulu, kasihan kakinya keseleo."

"Tolong, sakit ini." Seru Jono.

"Sabar bawel." Randu yang terus menarik akhirnya mereka bisa berhasil.

Mereka yang selesai menarik tersebut tentunya cukup lelah, Putri dan Rindu berteduh itupun membuat geram para lelaki karena terus memberikan ketakutan.

"Terpaksa kita harus menghentikan perjalanan ini teman-teman, hujan cukup lebat dan tentunya petunjuk di pohon maupun tanah pasti meluntur."

"Gak makan malam dong."

"Makan melulu kerjaanmu." Ketus Randu.

"Iya itu makan melulu, salah siapa tadi gak mau makan siang." Jono yang berjalan sedikit terseret karena sakit itu berusaha agar nampak biasa saja.

"Maafkan gara-gara aku pingsan jadi lama kita tadi."

"Gak papa." Senyum Randu.

"Nah itu sadar siapa yang salah, lagian sih pakai acara drama ini itu banyak bergaya. Udah tahu anak kampung, sok-sokan ikut mencari jejak. Jejak kebo itu dimakan."

Sebuah gubuk setengah layak itu telah membuat mereka berusaha bermalam untuk beristirahat, tentunya Putri mengeyel ingin melanjutkan perjalanan tetapi dengan kelembutan Randu kali ini berhasil meluluhkannya.

Dengan mencoba tidur akhirnya mereka saling bersandar, tetapi rasa lapar dan haus selalu dirasakan Randu.

Tak ada makanan yang tersisa membuatnya harus mencari sendiri di hutan, ketika di dalam perjalanan ada sebuah bangkai hewan telah dimakannya secara utuh. Tidak hanya itu saja Randu mencoba mencari makan untuk temannya dan malah justru diserang beberapa hantu.

Penyerangan yang berupa pukulan maupun tendangan itu sangatlah membuatnya sangat kewalahan, tidak hanya itu saja dirinya telah merasakan demam cukup serius. Randu yang hujan-hujan kembali ke gubuk tua dengan terhuyung-huyung dan pingsan di depan pekarangan tempat temannya beristirahat.

Hampir tengah malam hujan sudah mereda, seperti kebiasaan Randu kembali pulih dan harus mencari tumbal untuk membangkitkan kekuatannya. Kali ini ia tidak sendiri, dengan bantuan Putri yang sudah terkendali menuruti semuanya.

Dan benar ada perkampungan tak jauh dari mereka berdiri, tentunya Randu meminta Putri untuk kembali bersama lainnya agar tidak merepotkannya.

"Aku harus mendapatkan makanan buatnya, dan hadiah yang diidamkan Rindu harus bisa aku dapatkan untuk sebuah perjuangan cintaku terhadapnya. Aku gak peduli yang lain kelaparan yang penting aku kuat dan bisa menjadi pemenangnya, perlombaan memanglah secara berkelompok tapi sang juara hanyalah aku Randu Wisanggeni. Geni yang terus membara."