"Ilvira!" panggilku dengan suara tidak terlalu lantang dan tidak terlalu kecil. Aku memanggil adikku yang sudah berusia 15 tahun itu, sekarang dia pasti sedang bemesraan dengan kekasih Elf-nya. Akhir-akhir ini mereka sudah terlihat seperti pasangan.
"Iya, sebentar!" sahutnya dengan suara bergema. Aku tidak tahu di mana tepatnya dia berada, tapi sepertinya dia tidak jauh dari kamarku.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya dia datang. Dengan santainya dia membuka pintu kamarku kemudian menghampiriku. Rasa-rasanya aku semakin tidak dihormati sebagai kakak.
"Ada apa, Ilya? Kamu memerlukan sesuatu lagi? Bilang saja pada kakakmu ini." Dia tersenyum dengan percaya diri.
"Akulah kakakmu, Ilvira! Bukankah sudah kubilang aku lebih tua darimu?"
"Usiaku 15 tahun dan kamu baru 10 tahun. Jadi sudah pasti aku yang jadi kakak, bukan?" Ilvira mencubit kedua pipiku.
"Hey!" aku menangkis cubitan itu.
"Usiaku sudah lebih 20 tahun! Kenapa sih kamu ini? Tidak pernah mengerti ucapanku, dasar!"
"Haha, ya sudah. Aku malas berdebat dengan adik kecilku di siang bolong begini, apalagi kamu masih belum sembuh dari penyakitmu itu. Papa dan mama juga sedang pergi, aku mengerti perasaan kesepian yang kamu alami. Sebagai gantinya aku yang akan merawatmu sampai sembuh. Katakan, apa yang kamu inginkan, Ilya adikku?" dia membelai rambutku dan memperlakukanku seperti seorang adik. Dasar keras kepala! Padahal aku lebih tua darinya.
"Aku ingin bertanya, Ilvira. Apakah buku itu ada padamu? Aku sudah mencari-carinya di rak buku, tapi aku tidak menemukannya."
"Buku itu? Hmm … ah! Benar juga! Aku lupa mengatakannya padamu, Ilya. Minggu lalu kak Meisha meminjam buku itu untuk dijadikan bahan. Aku juga tidak mengerti apa maksudnya. Kemudian kak Roppy membujukku untuk meminjamkannya pada kak Meisha, karena katanya itu sangat penting. Memangnya kamu perlu apa, Ilya? Mau kuambilkan bukunya di tempat kak Meisha mengajar?"
Aku yang sedari tadi berbaring mencoba untuk duduk. Meski aku masih sedikit pusing karena efek Resonansi Eirixon, Ilvira begitu ringan tangan membantu mendudukkan tubuhku.
"Buku itu … aku pernah sekali membacanya dengan Eirixon saat di Altar. Memang bukan buku fisik, akan tetapi aku merasakan sesuatu yang sama dengan apa yang kurasakan saat pertama kali melihatnya di Altar. Aku ingin membacanya sekali lagi untuk memastikan apakah benar buku itu adalah buku yang sama dengan apa yang kubaca lewat Eirixon."
"Kamu ini, ya. Dulu kamu tidak tertarik dengan buku semacam itu, sekarang kamu malah terlihat seantusias ini. Memang, adik perempuan itu sulit dimengerti," ucapnya dengan nada mengejek.
"Hey! Siapa yang kamu bilang adik?"
"Tapi, Ilya. Apa kamu yakin ingin membacanya? Aku saja belum pernah membacanya sama sekali. Kata mama itu adalah buku masa lalu yang mengisahkan tentang perjuangan papa dan mama. Namun rasanya aku tidak pantas membuka buku itu meskipun ada rasa penasaran. Apa kamu tidak merasa seperti itu juga?" Ilvira mendudukkan badannya di sisi kasurku.
"Mungkin lebih seperti tidak sanggup membacanya. Tidak hanya mengisahkan perjuangan papa dan mama, tapi juga mengisahkan tentang tujuh anak yang diberkahi. Lagipula mama sering menceritakannya sebelum kita tidur, benarkan? Kita sudah tahu bagaimana akhir ceritanya, tapi …," rasanya aku tidak bisa melanjutkan kata-kata itu.
"Tenanglah, Ilya. Jangan terlalu dipikirkan, maaf karena telah bertanya masalah ini. Jika kamu ingin membacanya, aku bisa mengambilkannya ke akademi. Aku yakin kak Meisha masih berada di sana setelah mengajar anak-anak . Dia juga pengurus panti asuhan, jadi sudah pasti dia berada di akademi sekarang."
Aku menghembuskan napas berat, "baiklah. Kalau begitu aku minta tolong ambilkan buku itu, oke? Aku masih harus menstabilkan Resonansi Eirixon yang ada di mataku ini."
"Yah, karena kamu adalah seorang Ilya, kurasa tidak apa-apa meninggalkanmu bermeditasi. Tapi untuk berjaga-jaga, Tina akan menemanimu sampai aku kembali."
"Kamu ini! Bagaimana caraku fokus jika ada seseorang menemaniku? Setidaknya biarkan aku sendirian," aku mengomeli adikku itu dengan nada sedang, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Walaupun dia selalu membuatku kesal, dia tetaplah adik laki-lakiku.
"Ilya! Di istana yang luas ini aku tidak tega meninggalkanmu sendirian. Kamu boleh meminta apapun padaku, aku pasti akan menurutinya. Tapi kumohon, Ilya, turutilah satu permintaanku ini. Tolong jangan pernah sendirian. Setelah papa dan mama pergi ke suatu tempat, hanya kamulah satu-satunya keluargaku."
Astaga! Wajah dan ucapannya itu begitu manis. Dia benar-benar tahu titik lemahku, tapi ya sudahlah. Demi adikku, aku akan menuruti satu permintaannya itu. Aku pun membalas ucapannya dengan senyuman tipis.
"Baiklah, akan kukabulkan permintaanmu itu. Jadi cepatlah ambil buku itu dan bawa padaku!"
Dia menepuk-nepuk kepalaku, "kakak pergi dulu, ya."
Dasar, padahal akulah kakakmu, Ilvira. Aku hidup lebih lama dari yang kamu duga. Mungkin karena dia laki-laki, aku seakan-akan berbicara dengan papa ketika berhadapan dengannya. Kenapa sih wajahnya sangat mirip dengan papa? Rambut emas dan mata birunya mirip dengan mama, tapi bentukan wajah dan sifatnya sungguh mirip dengan papa. Nada dan cara bicaranya benar-benar mengingatkanku pada papa ketika berumur 15 tahun.
Aku tahu papa dan mama sekarang sedang berada di Dungeon untuk persiapan ke Abyss beberapa tahun ke depan. Mereka berdua ingin merubah sesuatu di masa lalu melalui lorong waktu di salah satu lantai Abyss. Hanya itulah satu-satunya cara agar tidak terlahir Alternative World. Apa kalian mengerti maksudku? Jika seseorang berusaha mengubah masa depan dengan pergi ke masa lalu, maka saat itu juga dunia terpecah menjadi dua bagian dengan takdir yang berbeda pula. Dunia asli sebut saja Real World, sedangkan dunia yang muncul karena masa lalu berubah adalah Alternative World.
Alternative World dapat membawa kepada dua takdir. Takdir pertama adalah takdir perdamaian dan takdir kedua adalah kehancuran. Saat penjelajah waktu kembali ke masa depan, dia tetap tidak akan bisa mengubah takdir dunia aslinya (Real World). Karena masa depan hanya berubah di Alternative World, entah itu menuju perdamaian atapun kehancuran.
Akan tetapi masih terdapat dua cara agar masa depan berubah tanpa menimbulkan Alternative World. Pertama menggunakan Diverse Path, yaitu sebuah sihir dimensi yang membuat sebuah takdir palsu di dalam dimensinya sendiri. Bisa dibilang ini hanyalah sebuah imajinasi pengguna, karena masa depan yang dilihatnya di dalam dimensi tersebut adalah palsu. Kedua menggunakan lorong waktu yang berada di salah satu lantai Abyss. Cara ini tidak semudah yang dikatakan, karena harus menyelesaikan tiap bos lantai agar bisa pergi ke lorong waktu. Ini sangat berbahaya, tapi mau bagaimana lagi?
Jika menggunakan cara pertama, itu hampir sama seperti para pengidap Skizofrenia. Pola pikir pengguna Diverse Path menjadi terganggu sehingga kesulitan membedakan yang mana dunia nyata dan yang mana dimensi buatan imajinasinya. Namun jika menggunakan cara kedu—
"Ilya!" seorang perempuan mendobrak jendela kamarku dengan paksa. Hampir saja aku berteriak karena kaget.
"Hai, hai! Kudengar kamu sedang sakit mata, ya?"
"Secara umum, iya, aku sedang sakit mata. Tapi sakit mata ini hanya terjadi pada anggota kerajaan saja, Tina."
"Oh! Benarkah?" Dia langsung duduk di sisi kasur, bekas Ilvira duduk tadi. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah dia memang sengaja duduk di tempatnya Ilvira duduk tadi?
"Sekarang kamu terlihat makin mirip dengan Liya. Rambut emas yang terurai, mata biru yang memikat hatiku dan sifatmu juga mirip-mirip dengannya. Yah walau kamu sedikit pemalas sih," ucapnya sambil menggodaku.
"Hey!" seruku. Oh iya, aku tadi menjelaskan tentang apa, ya? Karena Tina membuatku kaget, ingatanku rasanya jadi plong.
"Wajar kok, wajar. Izza juga sedikit pemalas orangnya, hihi. Duh! Saat di dekatmu aku jadi teringat pada Liya. Saat berada di dekat Ilvira, aku jadi teringat Izza. Kalian memang anak mereka berdua, ya."
"Hey, Tina. Apa hanya perasaanku saja, ataukah kamu memang sudah berubah?" tanyaku.
"Hmm? Apa maksudnya?" dia malah bertanya balik.
"Sejak pertama kali bertemu, kamu bukan tipe perempuan yang ceria seperti ini. Tina yang kukenal memiliki sifat anggun layaknya seorang puteri dari kerajaan Elf. Sekarang kenapa sifatmu berubah?" aku yakin pertanyaanku ini akan memojokkannya.
"Ilya, kamu akan mengetahuinya jika kamu berumur lebih dari 200 tahun. Manusia dan Elf itu berbeda. Selain perbedaan usia, para Elf perempuan juga memiliki beberapa lubang di hatinya yang tidak bisa dijelaskan pada siapapun. Kamu pasti tidak akan mengerti perasaanku. Karena kamu adalah manusia."
Wajah Tina berubah jadi muram. Telinga panjangnya itu terlihat layu dibarengi kepala yang menunduk. Tina adalah seorang Elf berambut perak. Bagi para Elf, rambut adalah simbol kedudukan. Rambut anggota kerajaan akan berwarna emas, para bangsawan akan berwarna perak, dan rakyat biasa akan berambut cokelat atau hitam. Bagi seseorang perempuan dari ras Elf yang mempunyai perasaan pada papa, dia pasti sudah melalui banyak hal untuk berada di posisi sekarang. Benar apa yang dia katakan, aku tidak mengerti perasaannya.
"Maaf sudah bertanya, Tina. Aku hanya—"
"Tidak! Tidak apa-apa! Karena yang bertanya adalah Ilya, akan kumaafkan. Aku juga menyayangimu, loh. Kuharap kamu juga memiliki perasaan seperti itu padaku, aw! Jadi malu sendiri." Tina memegangi kedua pipinya. Dia kembali ke mode ceria.
Sebagai permintaan maafku, aku pun memeluknya. Aku masih ingat jelas ketika papa jatuh dari kapal dan mama yang mengalami trauma, hanya Tina yang menemaniku. Dia membantuku untuk memberikan mama semangat. Banyak hal yang kami lalui saat itu. Kalau diingat lagi, sepertinya itu kenangan yang seru. Melakukan banyak hal, memikirkan rencana ini itu, membersihkan rumah, dan lain-lain.
"Tina, aku bersyukur bertemu dengan orang sebaik dirimu. Aku hanya bisa berdoa semoga kamu diberikan kebahagiaan lebih dari yang kamu harapkan."
Dia membalas pelukanku, "hehe … Ilya, kamu ini masih saja menggemaskan seperti dulu."
"Kamu juga. Kamu masih secantik dulu, kakak ipar," ucapku sedikit menggodanya.
Refleks dia melepas pelukanku dan melompat beberapa langkah, "a-a-apa yang kamu katakan b-barusan?"
"Wajahmu memerah tuh, hihi. Apakah kamarku segitu panasnya bagimu, Tina?"
"H-hee … panas banget." Dia memalingkan wajahnya agar tidak terlihat olehku.
"Begitukah? Hmm?" aku mengernyitkan alis.
"S-s-sudah cukup, Ilya. Jangan membicarakan itu lagi," ucapnya. Dia berjongkok dan memegangi kedua pipinya yang merona itu.
"Ilya, kakak pulang!" seru Ilvira yang tiba-tiba mendobrak pintu kamarku. Hanya mereka berdua yang berani mendobrak jendela dan pintu kamarku seperti ini. Matanya terfokus pada Tina yang masih berjongkok di lantai.
"Eh, Tina? Kamu sedang apa di situ?"
Menyadari hal itu, Tina bergegas melesat keluar jendela dan pergi begitu saja. Tirai yang menutupi jendelaku juga ikut terbawa olehnya.
"Ahaha, dia pergi," ucapku.
"Memangnya apa yang terjadi? Kelihatannya seru," tanya Ilvira dengan lugu. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar tidak bisa membaca situasinya atau bagaimana?
"Tidak ada, kok. Laki-laki tidak perlu mengetahui obrolan perempuan. Jadi buku itu sudah dapat, belum?"
Dia tersenyum, "Jeng-jeng!"
Dia mengeluarkan sebuah buku dari belakangnya. Buku tersebut terlihat kusam dan masih ada beberapa debu yang tertinggal. Sebenarnya apa tujuan Meisha meminjam buku itu? Apakah hanya untuk sekadar dibaca saja? Tapi karena kak Roppy memihaknya, kurasa tidak ada yang perlu kucurigai.
"Sini! Aku mau lekas membacanya," titahku.
"Aku bertanya sekali lagi, apa kamu yakin membacanya secara langsung? Kalau buku itu ternyata berbahaya bagimu, kemungkinan aku tidak bisa menyelamatkanmu, loh. Apalagi jika ini ada hubungannya dengan reaksi Eirixon."
"Tenang saja, aku sudah memutuskan ini sejak menyuruhmu mengambilkan bukunya. Aku memiliki firasat bahwa cerita yang didongengkan mama sebelum tidur masih mempunyai cerita lain yang belum ku ketahui. Kamu juga tahu kalau aku ini memiliki sifat penasaran seperti papa," sahutku.
Dia terkekeh, "baiklah, baik. Nih bukunya!"
Dia melempar bukunya tepat di pangkuanku, "hey, Ilvira! Itu tidak sopan!"
Tapi dia hanya berpaling dan keluar dari kamarku. Kenapa sih anak itu? Sungguh tidak sopan. Aku mengalihkan pandanganku ke cover buku. Judul buku ini adalah The Beginning of Apocalypse, kalau tidak salah artinya Sebuah permulaan dari kehancuran. Apa yang dimaksud kehancuran? Di dalam cerita mama, akhir ceritanya memang agak sedih. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan kehancuran yang dimaksud judul buku. Aku makin penasaran,berapa banyak cerita yang disembunyikan mama dariku? Aku membuka bukunya kemudian mulai membacanya. Tidak seperti buku pada umumnya, buku ini langsung pada cerita. Tidak ada daftar isi, tidak ada pendahuluan, dan bahkan tidak ada tanda-tanda penulis buku.
Cerita bermula pada seorang anak perempuan yang tersesat di dalam hutan karena mengikuti seekor kupu-kupu cahaya. Dia terus berlari dan berlari hingga akhirnya masuk ke kedalaman hutan yang berbahaya. Dia bertemu dengan seekor monster yang menyamar menyerupai pamannya sendiri. Menyadari hal tersebut, seorang anak laki-laki datang dengan sebilah pedang kayu yang dilapisi sihir. Dia membunuh monster itu tepat di depan matanya. Anak perempuan itu sangat ketakutan karena melihat pamannya terbunuh. Untung saja anak laki-laki itu segera menyadarkannya dari sihir ilusi yang diperbuat oleh monster itu.
Mereka berdua pergi ke istana sambil bergandengan tangan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku ada di sini," ucap laki-laki itu seraya tersenyum.
Setelah kejadian itu, si anak perempuan mengetahui bahwa anak laki-laki yang menyelamatkannya adalah seorang Putra Mahkota kerajaan Tanah Cahaya. Dia pun sering mengunjungi Pavilliun Pangeran, tapi anak laki-laki itu selalu tidak ada. Karena dia selalu berlatih pedang di halaman istana bersama beberapa Panglima Perang. Gadis kecil itu setiap hari datang ke istana dengan tujuan bertemu Pangeran, tapi Pangeran selalu tidak ada waktu untuknya.
Melihat hal tersebut, dua Putri kerajaan, sekaligus kakak dari Pangeran, mengajak gadis itu bermain di istana. Raja dan Ratu pun menganggap gadis itu seperti keponakan sendiri. Hidupnya bahagia sejak saat itu, hingga suatu tragedi terjadi di istana. Tragedi yang bersumber pada masalah politik, pengkhianatan para petinggi kerajaan dan pembantaian anggota keluarga kerajaan. Malam yang dipenuhi darah itu berhasil membuat Pangeran menaruh dendam dengan para bangsawan yang telah membunuh keluarganya. Ia berhasil kabur bersama kedua kakak perempuannya ke dalam hutan dan meninggalkan gadis kecil di istana. Gadis kecil itu sedih, bukan hanya karena ditinggalkan oleh sang Pangeran. Tapi juga karena ayah dan ibunya yang melakukan kudeta pada Raja. Akhirnya mau tidak mau, gadis kecil itu menjadi Puteri Kerajaan di atas pemerintahan yang baru. Cerita yang sebenarnya pun dimulai.