Prolog:
Gwen dan yang lainnya buru-buru ke rumah sakit ketika mendapati kabar bahwa omanya sudah siuman. Gwen langsung menghambur dalam pelukan sang nenek melampiaskan segala kegelisahan yang sedari malam ditahannya. Wajah yang biasanya ceria dengan segala intimidasi bekas jiwa kepemimpinannya itu sekarang terbaring lemah. Gwen sakit melihatnya. Omanya yang terbiasa kuat, menjalani hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan sekarang berwajah pucat.
"Gwen, Oma punya permintaan." Wanita itu berujar lemah. Gwen melepaskan pelukannya kemudian menatap sang nenek. Omanya juga sama menatap Gwen dengan pandangan teduhnya. Pandangan Oma kemudia beralih pada Prince. Wanita itu menggenggam tangan sang cucu kemudian menyatukannya dengan Prince. "Kamu mau kan menikah dengan Prince? Oma takut kehabisan waktu untuk melihat kamu bersanding dengan Prince."
Dar!! Rasanya dunia Gwen meruntuh seketika. Begitu juga dengan Tara yang sedari tadi berada di dalam ruangan itu yang belum sempat ternotice kehadirannya. Laki-laki itu kemudian mundur teraktur untuk benar-benar menyingkir dari sana. menajuh dari tempat yang tidak mengharapkan kehadiran Tara disana. memang seharusnya dia tidak menginjakkan kakinya disana.
Oma, wanita yang belum tahu apa yang terjadi dengan cucunya tersenyum. Menatap Prince untuk memberikan pesan-pesannya untuk menjaga Gwen. Senyum bahagia mengembang dengan teramat kentara oleh wajah pucatnya. Oh Tuhan! Apakah Gwen sanggup membuat Omanya collapse lagi?
Gwen tidak tahu harus bereaksi apa saat ini selain memaksakan senyumnya. Pandangan oma beralih pada kakak Gwen. Menatap cucu laki-laki yang sedari tadi hanya memperhatikan interaksi nenek dengan cucu kesayangannya. Pandangannya juga sama seperti adiknya. Getir menatap saudara satu-satunya yang baru saja menemukan kebahagiaan dihidupnya.
Sanggupkah dia menuruti permintaan sang neneknya untuk menikahkan Gwen dengan Prince? Sanggupkah dia memutuskan lagi sinar-sinar ceria yang lalu baru hidup kembali? Sanggupkah dia kembali melihat Gwen dalam luka yang tidak kunjung sembuhnya. Manakah yang harus dipilihnya, bakti seorang anak atau justru cinta seorang kakak? manakah yang harus dikorbankannya? neneknya atau kebahagiaan adiknya? Sanggupkah dia membunuh salah satunya?
Dia memejamkan matanya. Membayangkan seperti apa curamnya jurang yang akan terjadi. "Oma kenapa ngomong gitu sih? Oma pasti bisa bertahan. Kalau perlu kita cari rumah sakit terbaik. Dimanapun. Kita bisa berobat di luar negri."
"Umur tidak ada yang tahu. Mau secanggih apapun kalau semesta tidak mengizinkan Oma bertahan lama juga percuma." Wanita itu menatap laki-laki yang tengah berada dalam pilihan yang sulit tersebut. Pandangannya beralih pada sang adik yang menundukkan kepalanya sedari tadi.
"Yang penting kamu harus kuat dulu. Gimana kamu mau melihat Gwen menikah jika terbaring seperti ini." Opa turun tangan. Mencegah dua orang itu untuk tidak bersitegang urat.
"Cucu kamu, Mas." Oma mengadu sama suaminya yang membuat Opa hanya bisa mendesah.
"Bahkan terbaring sakit ini kalian masih berantem?" Dia kemudian menatap putra sulung dalam keluarga yang masih terssisa itu menunduk. Tidak terbayangkan frustasinya saat ini. Oma kemudian kembali menatap cucunya dan Prince.
"Oma ngerti kalian berdua masih terlalu muda. Oma juga masih ingat bagaimana impian Prince untuk Gwen. Kalian nggak perlu mengiyakan permintaan Oma sekarang sayang. Nggak mau juga nggak apa-apa. Mungkin memang bukan takdir Oma melihat kamu menikah dengan laki-laki yang Oma percaya."
'Yang Oma percaya'
Ya Tuhan, betapa berat kata-kata tersebut. Bagaimana bisa Tara masuk jika kondisinya serumit ini? Berbicara tentang kondisi yang sebenarnya dengan oma saat ini sama saja dengan membunuh nenek yang sudah sangat menyayanginya itu.
Kembali lagi. Gwen adalah cucu perempuan satu-satunya yang dilahirkan dalam keluarga setelah beberapa generasi. Semenjak kelahirannya memang sudah mendapat perhatian yang sedikit lebih dari Omanya. Apalagi sedari dulu Oma memimpikan anak perempuan. Sayang dia hanya melahirkan ayah Gwen yang berjenis kelamin laki-laki. Inilah yang menjadi alasan dia sangat menyayangi mendiang menantunya. Dan ketika Gwen dilahirkan tidak terkira kebahagiaan Oma melihat ada seorang perempuan tersebut.
Sekarang putri kecil yang dulu sangat sering ditimangnya itu sudah mulai beranjak dewasa. Oma juga tidak mau merenggut masa muda Gwen secara keseluruhan. Tapi status mereka sekarang sudah bertunangan. Tidak salah menurut Oma mereka melanjutkan untuk ke pernikahan. Lagipula Prince adalah laki-laki yang dia percaya walaupun Oma tahu laki-laki itu masih suka berhura-hura seperti pemuda pada umumnya.
Gwen keluar dari kamar itu. Membiarkan Oma berbicara dengan Opa dan kakaknya. Dia mencari keberadaan laki-laki yang seharusnya berada juga dalam ruangan itu. Gwen tidak tahu kapan Tara keluar dari sana.
Dia kemudian melangkahkan kakinya menuju laki-laki yang sedang terduduk di salah satu bangku di lorong rumah sakit tersebut. Mereka sama-sama menunduk. Tara tahu kehadiran kekasihnya tapi tidak berniat untuk mengangkat wajahnya. Dalam beberapa jeda mereka sama-sama bungkam dengan kesedihan masing-masing.
"Segitu susahnya bagi kita untuk bersatu ya, Gwen? Ternyata begini cara mainnya semesta. Mau gimana pun kita menentangnya pada akhirnya dia selalu punya seribu satu cara untuk menaklukkan kita." Tara berujar sembari mengusap wajahnya. Matanya memerah. Mungkin tadi laki-laki itu menangis. "Dan kali ini Oma." Tara berbisik. Tercegat dengan sesuatu yang tiba-tiba berada di tenggorokannya.
Gwen menangis. Sama seperti Tara dia juga merasakan kesedihan yang sama. Namun kondisi Oma sangat tidak stabil saat ini. "Prince," Hati Tara sangat panas menyebut nama laki-laki pilihan dari nenek wanita yang sangat dicintainya itu. "Dia pasti bahagiaan Loe, Gwen. Gue mungkin sedikit lebih tenang dibandingkan Loe menikah dengan bajingan lainnya. Turuti saja perintah Oma." Setelahnya Tara berdiri. Tidak ada lagi urusannya disana. Mungkin memang seharusnya dia tidak bersama dengan Gwen.
Gwen merangkul laki-laki itu dari belakang. Menahan pria itu untuk tidak meninggalkannya lagi. Gwen sudah pernah merasakan neraka tanpa Tara dalam hidupnya. Untuk bisa berjalan ke depannya Gwen tidak akan pernah tahu jadi seperti apa. "Aku maunya kamu…" bisiknya dengan air mata yang tidak berhenti dari matanya.
Tara menghela nafasnya. Rasanya sangat sakit ketika mendengar ucapan itu keluar dari mulut Gwen. Seandainya dia bersikap egois, ingin rasanya ia membawa Gwen saat ini. Mengatakan pada wanita yang terbaring sakit itu betapa Tara juga sangat mencintai cucunya. Tapi setelah itu apa? Mungkin malaikat maut langsung mencabut nyawa wanita tua itu saat itu juga.
"Gue pernah kehilangan keluarga, Gwen. bukan hanya sekali. Gue sangat paham gimana rasanya kehilangan keluarga. Gue nggak mau Loe merasakan hal yang sama yang gue rasain. Jika itu bukan permintaan Oma Loe gue mungkin akan berjuang. Restu abang Loe pasti akan bisa gue perjuangin. Tapi ini permintaan terakhir dari nenek Loe yang sedang sakit. Gue nggak sanggup bunuh orang yang Loe sayangi."
Gwen masih bersikeras memeluk Tara. Bahkan makin mengeratkan pelukannya. "Oma hanya mau kebahagiaanku. Mungkin jika Oma membaik dalam dua hari kita bisa berbicara pelan-pelan."
"Jika membaikkan?" Tara mendongak ke atas menahan laju air matanya. "Loe sedang diberi kesempatan untuk membuat bahagia keluarga Loe, Gwen. Kita sama-sama tidak memiliki orang tua. Tapi Loe masih beruntung Loe masih punya beberapa anggota keluarga yang tersisa. Jaga mereka." Setelahnya Tara melepaskan pelukan itu pelan. Meski dengan hal tersebut dia merasakan kehilangan separuh nyawanya lagi.
Gwen terduduk dilantai. Terisak-isak dengan takdir cintanya yang sangat tragis. Tidak berapa lama Prince yang mungkin panik juga gadis itu tidak kembali-kembali mencarinya. Sedikit terkejut mendapati Gwen tersedu-sedu di marmer rumah sakit.