"Mengapa kamu tertawa? Apakah ada yang lucu? Aku tidak akan toleransi terhadap kesalahan yang dilakukan oleh seseorang kepadaku meskipun engkau sudah membantuku dan melakukan observasi terhadap luka yang aku alami. Aku tidak akan pernah membiarkan kamu pergi dan meninggalkan aku dalam kondisi kehilangan barang-barang berharga milikku." Zee melotot. Ia segera menghentikan tawanya. Dipandangnya Afzal dengan intens untuk meyakinkan dirinya bahwa apa yang sudah ia lakukan terhadap Afzal bukanlah kesalahan besar. Apalagi saat ini sikap Arogan laki-laki itu tampak sangat nyata.
Melihat Zee diam, Afzal semakin yakin bahwa gadis itu yang mengambil dompet dan ponsel yang ada di saku celananya saat dia tidak sadarkan diri di ruangan itu.
"Kembalikan ponsel dan dompetku karena aku tidak akan pernah rela memberikan barang-barangku kepada gadis seperti kamu."
Zee menautkan kedua alisnya mendengar kata-kata seperti kamu yang diucapkan oleh Afzal. Ia ingin tahu macam apa dirinya menurut penilaian laki-laki itu. Ia pandang Afzal mencoba meyakinkan bahwa apa yang didengarnya bukan hanya omong kosong. Orang yang sudah diselamatkan mencurigainya sedemikian rupa.
"Gadis Seperti apa aku dihadapanmu, Tuan? Apakah aku tampak sangat miskin sehingga engkau berani menuduh aku mengambil dompet dan ponselmu? Kalau kamu mengatakan aku miskin mungkin itu benar karena Yang Maha kaya hanya Allah semata. Namun ketika engkau menuduhku dengan tuduhan yang tidak nyata, aku tidak akan terima begitu saja."
"Apakah itu artinya kamu akan mengadu juga kepada pemilik klinik ini? Aku tidak takut. Kalaupun pemilik klinik datang dan membantumu, aku dalam posisi yang benar dan mempertahankan hakku terhadap benda-benda yang aku miliki yang saat ini tidak ada di saku celanaku. "
Zee akhirnya menyerah dan memanggil salah satu perawat yang jaga di ruang jaga untuk masuk ke kamar Afzal. Amira yang sedang memainkan ponsel segera melangkah mendekati 2 orang yang kini sedang berseteru di hadapannya sambil mengerutkan kening. Antara percaya tidak percaya, Amira menyaksikan dua orang yang saling mengintimidasi.
"Ada apa, Dokter? Apakah ada yang bisa saya bantu?" Mendengar Amira memanggil Zee dengan dokter, Afzal diam, tidak melanjutkan tuduhannya. Ia lebih memilih untuk memandang interaksi dua wanita yang ada di depannya. Wanita yang sama-sama cantik namun memiliki perbedaan penampilan dengan yang lain. Amira tampil dengan sedikit lebih mewah, memakai beberapa emas di tangannya. Dua cincin tersemat di dua jari manisnya dan gelang emas di lengan kanan serta jam tangan di tangan kiri, sedangkan Zee tampak sangat elegan dengan menampilkan kesederhanaan yang tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang dokter. Tidak ada perhiasan sama sekali yang dia pakai di lengan dan jari-jarinya. Hanya ada jam tangan dan itupun Afzal tahu apa merknya.
Di mata masyarakat Indonesia, dokter adalah profesi paling tinggi yang dimiliki seseorang. Dia memiliki kekayaan diatas rata-rata dan bisa saja memakai barang-barang mewah yang lebih berkelas dibandingkan yang dipakai Amira, namun Zee sama sekali tidak melakukannya. Hal ini membuat Afzal semakin penasaran pada Zee.
"Kamu seorang dokter mengapa mencuri dan membuat profesimu tercoreng? Apakah kamu tidak kasihan kepada teman-temanmu yang memiliki profesi yang sama dan nama mereka akan kotor karena ulahmu? "
Amira melotot lalu memandang Afzal. Ia tidak percaya dengan apa yang dituduhkan oleh Afzal kepada pemilik klinik yang kini berada di depannya. Amira menggelengkan kepalanya lalu ia mendekat ke Afzal yang masih terus menuduh Zee melakukan pencurian. Ia ingin mengatakan bahwa Zee adalah pemilik klinik, namun ia segera mengurungkan karena ia melihat Zee menggelengkan kepalanya perlahan. Zee ingin selalu menyembunyikan identitasnya dan tidak mau jika orang baru seperti Afzal mengetahui identitasnya.
"Dokter juga manusia. Memiliki salah, namun aku sama sekali tidak akan mengakui tuduhan yang kau sematkan kepadaku. Aku tidak pernah diajari untuk menjadi seorang pencuri oleh siapapun. Meskipun kau menuduhku sedemikian rupa, namun aku tidak akan menerima begitu saja."
"Kamu seorang dokter? Aku sama sekali tidak percaya kalau aku tidak mendengar sendiri dari temanmu itu. Penampilanmu dengan penampilannya lebih menarik temanmu yang katanya hanya seorang perawat biasa. Tapi bagiku dia lebih pintar mengelola dirinya dibandingkan yang seorang dokter. Pantas saja kamu mencuri. Mungkin secara ekonomi jumlah uang yang kamu miliki lebih sedikit dibandingkan jumlah uang mereka itu sehingga engkau harus hidup sederhana seperti sekarang."
Zee tersenyum mendengar ucapan Afzal yang menghina dirinya. Kini penampilan yang menjadi masalah baru selain pencurian. Ia tidak habis pikir mengapa orang selalu menilai dirinya dan penampilan dan mengaitkan dengan miskin dan kaya.
Kalau boleh jujur, ia sebenarnya ingin membalas ucapan Afzal untuk membuka pemikiran laki-laki itu terkait caranya menilai seseoang, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Ia pandang Amira dan menatapnya dari atas sampai bawah mencoba menelisik bagian mana yang membuat Afal tertarik kepada gadis di hadapannya.
"Oke baiklah aku serahkan dia kepadamu. Dia sedang kehilangan dompet dan ponselnya. Kalau kamu bisa membantu menemukannya, aku akan sangat berterima kasih selamat malam."
Amira yang mendapatkan amanah dari Zee untuk melanjutkan observasi terhadap pasien, hanya menggelengkan kepalanya. Ia benar-benar seperti mati kutu di hadapan Afzal. Ia sudah membandingkannya sedemikian rupa dengan penampilan pemilik klinik.
Sebelum pergi Zee membisikkan sesuatu ke telinga Amira agar dia tidak membocorkan rahasia tentang identitas dirinya kepada siapapun karena ia menyembunyikan kepada orang lain selama ini.
Setelah Zee meninggalkan ruangan, Afzal akhirnya memandang Amira yang memegang alat tulis di tangannya yang baru saja ia terima dari Zee. Afzal ingin mengetahui semua tentang Zee dengan mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari Amira.
"Kamu dan dia sama-sama bekerja di klinik ini?"Amira yang masih diam sambil mencoba melanjutkan pekerjaan Zee segera menghentikan pekerjaannya lalu memandang wajah Afzall kemudian mengangguk.
"Iya."
"Berapa lama kamu mengenal wanita itu? Apakah dia masih sendiri atau sudah menikah?"
Amira mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Afzal yang bertubi-tubi. Ia diam lalu mengumpulkan keberaniannya untuk mengungkapkan cerita tentang Amira kepada laki-laki yang sudah merasa kecewa karena ulahnya.
"Apa yang ingin Tuan ketahui tentang dokter Lia? Katakan kepadaku mengapa Tuan melakukannya dengan tidak adil sama sekali? Dia dokter sekaligus Paztrooper terbaik di sini dan tidak ada yang memiliki kemampuan di atasnya. Kalau Tuan mengetahuinya dari awal, aku yakin Tuan akan berhati-hati saat memberikan tuduhan yang sangat keji kepada dokter..."
Amira menghentikan ucapannya lalu ia pura-pura melanjutkan pekerjaannya. Hampir saja ia keceplosan menyebutkan Zee adalah pemilik klinik. Afzal yang mendengar Amira menghentikan kalimatnya segera mencebik. Ia benci dengan orang yang menggantung kalimat seolah memintanya untuk menyelesaikan sendiri saat ini. Ia tidak bisa berbuat banyak karena kondisi yang sangat lemah dan tidak memungkinkan untuk mengintimidasi Amira agar mau melanjutkan kalimatnya