Chereads / Pejuang LDR (Dissa Richard) / Chapter 2 - Prolog

Chapter 2 - Prolog

Dissa Richard adalah anak tunggal dari pemilik perusahaan Industri terkaya nomor dua di dunia. Dissa adalah seorang wanita berumur 24 tahun, dia lulusan dari jurusan manajemen bisnis di kampusnya. Dissa memiliki paras cantik dan tubuhnya yang menarik, dia selalu bersikap dingin kepada siapapun namun sebenarnya dia berhati baik. Ketika Dissa lahir dia selalu dimanja oleh kedua orang tuanya sehingga dia bersikap egois dan tak menghormati orang lain.

Daniel Saputra adalah seorang dokter muda yang berusia 27 tahun, berkat ketampanannya dan kepatuhannya dalam bekerja, dirinya banyak dikagumi oleh semua wanita. Daniel mencintai profesinya sebagai Dokter. Namun, kecintaan itulah yang membuat Daniel melupakan jika ia memiliki Dissa--wanita yang sudah 2 tahun ini menjadi kekasihnya.

Sejak pertemuan yang tak terduga di sebuah hotel ternama, ia menghadiri pesta pernikahan temannya. Dissa bertemu dengan seorang dokter muda yang bernama Daniel yang merupakan teman dari suami temannya. Mereka sempat berbicara dan akhirnya Daniel meminta nomor ponselnya. Hadirnya Daniel mengubah semua sikap Dissa hampir 99% menjadi wanita yang baik, ramah dan pengertian. Hari demi hari Daniel dan Dissa begitu dekat dan mereka berpacaran. Berkat keseriusan cinta Daniel memutuskan untuk menikahi Dissa sebagai istrinya.

***

Hari pernikahan Daniel dan Dissa tinggal beberapa bulan lagi. Mereka mulai menyiapkan banyak hal untuk pernikahan mereka, seperti salon, gedung resepsi, undangan, katering, dll. Saat ini persiapan mereka sudah 80% selesai. Tinggal 20% lagi sebelum hari pernikahan mereka tiba.

Hari ini Daniel dan Dissa pergi ke salon untuk melakukan fitting gaun dan jas pengantin. Berbagai gaun pengantin tersedia di lemari yang cukup besar.

"Menurutmu, gaun yang mana cocok denganku, Dan?" tanya Dissa seraya memeluk lengan Daniel.

Tatapan Daniel menyusuri deretan gaun pengantin di lemari itu. "Aku bingung, Sayang. Semuanya sangat bagus."

Aura—pegawai salon—bertanya kepada Dissa, "Ibu suka gaun yang seperti apa? Biar saya bantu mencarinya."

"Aku suka model yang simpel, tetapi terlihat elegan."

Aura mengangguk. "Oke, saya tahu maksud Ibu. Kebetulan ada beberapa gaun yang masih baru. Jika Ibu tidak keberatan, Ibu bisa ikut saya ke lantai 2. Di sana terdapat banyak pilihan model gaun yang mungkin Ibu sukai."

"Oke, aku setuju." Dissa menoleh ke sampingnya.

"Sayang, aku ikut Aura, ya. Kamu tidak apa-apa, 'kan, sendiri di sini?"

"Tidak apa-apa. Aku akan duduk di sini menunggu kamu," jawab Daniel.

Ketika Dissa dan Aura menaiki tangga, Daniel duduk di kursi tunggu sambil menonton siaran TV. Kebetulan, pemilik salon menyediakan TV agar pengunjung tidak merasa bosan saat menunggu.

Berita hari ini: Perang besar di Gaza mengakibatkan 255 orang terluka parah. Tidak hanya dewasa dan lansia, anak-anak pun ada.

Berita itu membuat hati kecil Daniel tersentuh. Dia melihat anak-anak yang menangis mencari orang tuanya. Entah orang tuanya masih hidup atau sudah meninggal.

"Kasihan sekali anak-anak itu! Jika diberi kesempatan, aku ingin sekali membantu mereka."

Dissa menuruni tangga dengan hati-hati, lalu berdiri di depan Daniel sambil menunjukkan gaun yang dipakainya. "Sayang, gaun ini bagus, tidak?"

Daniel tersenyum. "Apa pun yang kamu pakai pasti bagus di tubuh kamu, Sayang. Pilih yang ini saja. Sama seperti yang kamu inginkan tadi. Simpel, tidak terlalu terbuka, dan terlihat elegan. Aku yakin kamu akan menjadi perempuan tercantik di hari spesial kita nanti."

Respon Daniel membuat pipi Dissa merona. Dia menggenggam tangan Daniel. "Terima kasih, Sayang. Oke, aku akan pilih gaun yang ini. Sekarang giliran kamu yang mencoba jas pengantin. Aku mau lihat cocok atau tidak jas yang kamu pakai dengan gaun aku ini."

Tiba-tiba, ponsel Daniel berdering. "Tunggu sebentar, Sayang. Aku angkat telepon dulu." Daniel sedikit menjauh dari Dissa.

"Halo, Bud!"

"Daniel, apa kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang? Owner rumah sakit ingin rapat dengan kita dan dokter lainnya," jawab Budi—rekan kerja Daniel.

"Kenapa mendadak sekali, Bud? Memangnya, ada rapat tentang apa?" tanya Daniel melalui ponselnya.

"Aku juga tidak tahu, Dan. Sebaiknya, kamu segera datang ke sini." jawab Budi.

"Oke, aku pergi ke sana sekarang." Daniel menutup panggilan itu, lalu mendekati Dissa. "Sayang, maafkan aku, ya. Budi memberi tahu bahwa Owner rumah sakit ingin rapat bersama kami sekarang."

Raut wajah Dissa berubah kecewa. "Lalu, bagaimana dengan fitting jas pengantin kamu, Sayang? Kamu belum melakukannya, apalagi tanggal pernikahan kita semakin dekat."

Daniel memegang pundak dan menatap Dissa dengan lembut. "Aku tahu itu, Sayang. Aku tidak bermaksud mengabaikan pernikahan kita. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai dokter. Kuharap kamu bisa mengerti pekerjaanku ini."

Dissa menghela napas pendek. "Iya, aku mengerti, Sayang."

Dissa tersenyum lega. "Terima kasih atas pengertianmu, Sayang. Aku semakin cinta padamu."

"Bukankah itu yang membuat cinta kita bertahan hingga sekarang? Dari awal, kita sudah berkomitmen untuk saling mengerti satu sama lain, termasuk tentang pekerjaan kita." Dissa berusaha tersenyum di depan Daniel walau ia kecewa di dalam hati. Lagi-lagi, Daniel meninggalkannya di saat mereka sedang menyiapkan sesuatu untuk hari pernikahan nanti.

Sebelum melangkah pergi, Daniel memberi kecupan manis di dahi Dissa. "Setelah rapat ini selesai, aku akan melakukan fitting jas pengantin di sini. I'm promise! Aku pergi dulu."

"Hati-hati, Sayang. Kabari aku jika kamu sudah selesai rapat. Aku tunggu kamu di sini."

"Oke." Daniel keluar dari salon dan masuk ke mobilnya.

***

"Maaf, rapat ini diadakan secara mendadak. Saya baru mendapat kabar bahwa banyak korban jiwa akibat peperangan di Gaza. Tenaga medis yang tersedia di sana sangat sedikit, sedangkan jumlah korban semakin bertambah. Oleh karena itu, saya ingin dua orang dari kalian bersedia menjadi relawan untuk membantu tenaga medis di sana," tutur Agus selaku ketua tim dokter dan Owner rumah sakit itu.

Tanpa pikir panjang, Daniel mengangkat tangannya. "Saya bersedia menjadi relawan di sana, Dok. Ketika saya melihat berita ini di TV, hati saya tergugah untuk menolong mereka."

"Hatimu sangat mulia, Dokter Daniel," puji Agus.

"Saya terima keputusan Dokter. Bagaimana dengan yang lain?"

Jesika—rekan kerja Daniel—ikut mengacungkan tangan. "Saya juga bersedia menjadi relawan, Dok."

"Anda yakin Dokter Jesika? Keadaan di Gaza saat ini sangat memprihatinkan dan berpontensi akan ada perang susulan. Sangat berbahaya jika Dokter berada di sana."

Tersirat rasa cemas dari pertanyaan owner rumah sakit itu. Wajar saja. Jesika termasuk dokter perempuan yang paling diandalkan di rumah sakit itu.

Jesika mengangguk. "Saya sangat yakin dengan keputusan saya, Dok. Lagipula, ada Dokter Daniel yang menemani saya. Jadi, Dokter Agus tidak perlu khawatir."

"Baiklah. Mulai besok, kalian berdua harus menyiapkan segala keperluan untuk dibawa ke sana. Untuk dokter yang lain, saya harap kalian mau membantu persiapan Dokter Jesika dan Dokter Daniel besok."

"Baik, Dok," sahut Jesika, Daniel, dan dokter yang lainnya.

"Baiklah. Rapat ini selesai. Selamat bertugas kembali. Terima kasih." Owner sakit itu keluar dari ruang pertemuan usai mengakhiri rapat.

Ketika Daniel akan keluar dari ruangan itu, Budi memanggilnya.

"Ada apa, Bud?" tanya Daniel.

"Kamu yakin dengan keputusan kamu tadi, Dan? Bukankah tanggal pernikahanmu dengan Dissa tidak lama lagi?" Budi balik bertanya.

"Aku sangat mencintai pekerjaan mulia ini sejak kecil, Bud. Oleh karena itu, aku akan hadapi apa pun risikonya nanti. Mengenai pernikahanku, aku akan usahakan pulang lebih cepat." ucap Daniel.

"Semoga saja Dissa mengizinkanmu pergi ke sana, Dan."

"Aku harap begitu, Bud."

Di luar ruang pertemuan, Jesika mendengar semua percakapan antara Budi dengan Daniel. Dia tersenyum tipis. "Inilah kesempatanku untuk mendapatkan hatimu, Dan. Kamu dan Dissa tidak akan bisa bersatu." kata Jesika dalam hati.